Saya tahu hasyim ks itu sosok kerinduan. Sepanjang hari kemarin saya menerima empat panggilan telepon dan lima sapaan di whatsapp sehari setelah tuilisan “mesin tik hasyim” up. .
Semuaya wa..wa..wa.. Bercerita tentang lelaki kurus berambut keriting yang tingkahnya ya.. ampun itu. Mereka semua mengungkit memori pertemanan sembari tertawa ngakak tentang magnet lelaki itu.
Hasyim memang magnet di komunitas pertemanan. Magnet yang berasal dari ulah polahnya penuh kejutan. Ulah polah yabg menyeret teman-temannya tertawa bahak sampai terpingkal-pingkal. Hingga ada yang kuyup katoknya..
Atau pun di waktu lainnya ia bisa bikin hanyut perkawanannya jadi sentimentil.
Hasyim sering saya katakan seorang sutradara kawakan. Ya… yang dulunya sekali ia memang sutradara paruh waktu tanpa mengandalkan script dan skenario. Penuh kejutan…
Dari sembilan teman yang ber-wa..wa.. di sepanjang hari kemerin itu salah satunya bernama arminsyah. Ia sekarang tinggal di medan, Jalan krakatau ujung. Udah manula. Di awal tujuh puluhan. Umur tetirah.
Si armin, dulunya, bekerja sebagai sales di unilever. Perusahaan distribusi kebutuhan kamar mandi dan sebagainya.
Ia anak bangsawan dari garis turunan ulee balang di sebuah negeri bagian selatan aceh. Kakeknya raja kecil di desa lamainong.
Lamainong terkenal sebagai kawasan pertanian yang kini menjadi ladang sawit milik banyak pengguna hak usaha.
Lamainong yang dikenal sebagai puak lep lap. Campuran aceh jamee.yang berbahasa do da ida. Lamainong bergenre banyak legendanya.
Si armin ini, begitu saya akrab menyapanya, teman karib dari hasyim. Pertemanan di sebuah periode yang panjang ketika si keriting kerempeng itu memulai perantauan hidup.
Armin dan hasyim pernah terdampar sebagai manusia malam. Setengah gelandangan. Berbagi sebungkus nasi minang saiyo. Berebutan menyuap hingga menyisir pinggiran daun pembungkus di sebuah pojok jalan perdagangan.
Armin menetakkan plakat bahwa hasyim adalah guru kehidupannya. Guru bagaimana harus menjalani hari-hari pahit tanpa gumam keluhan.
Kemarin itu saya di telepon si armin dalam tukar percakapan yang panjang. Panjang sekali… sekali… membuat henpon saya memuai di genggaman dan kuping saya berdengung.
Percakapan itu sepertinya berjudul “sepanjang jalan kenangan.” Jalan kenangan hingga armin bisa menjadi penulis. Yang salah satu buku jalan kenangannya itu berjudul: bal la ap.
Ba la ap sebuah buku kutipan bagaimana armin mengangkat kisah-kisah unik perjalanan barat-selatan,
Perjalanan kampung terisolir oleh buruknya infrastruktur hingga tokoh-tokoh unik yang menjadi pelakonnya. Dan “ba la ap” itu sendiri adalah tokoh di buku itu.
Kalua anda pernah membaca tentang si “ba la ap” ini pasti kesimpulannya sama dengan saya. Manusia setengah gila… Gak gila penuh… hahahaha…
Di buku “ba la ap” ini saya juga termasuk salah seorang investornya. Investor dari foto-foto yang di share armin. Foto rakit dan jalan kubangan…..
Share saya di buku-buku tulisannya masih ada lagi. Setiap ia akan menerbitkan buku armin rutin minta saya untuk menulis “sekapur sirih.”
Dalam percakapan yang bertele-tele itu armin punya permintaan khusus. Permintaan aneh. Tentang bagaimana konstruksi nyanyian atau puisi hasyim yang pernah ia baca dalam sebuah antalogi..
Sebenarnya saya enggan menulis konstruksi sebuah puisi. Saya masih ukuran balita untuk membahas tentang puisi. Saya tahu betapa sulitnya untuk mengejawantahkan tulisan mengenai puisi.
Untuk sebuah puisi saja sulitnya ya.. ampun. Ingat tentang puisi “aku” milik chairil anwar. Hingga kini puisi milik si “binatang jalang” itu masih hang hing heng di bahas.
Saya tak tahu harus dari mana menuliskan konstruksi puisi-puisi hasyim. Ada kepanikan. Tapi saya tak bisa berdalih. Sebab dalih, atau daleh, dalam tata pergaulan kami di negeri di “naca” pantang.
Apalagi armin masih ngelesot dengan cerita tentang “stroke” ringan yang baru saja menghembatnya. Sehingga di hari saya saling menyapa itu ia masih terbata-bata merangkai kata.
Armin mengatakan, ia masih sulit bergerak. Bagian badan kanannya seperti lumpuh. Kebas. Ia dianjurkan berbaring.
Ya… sudah… Permintaannya saya iya kan… Saya yakin kalau tulisan ini tuntas dan langsung forward ke whatsapp-akan bisa jadi obat. Dari sini nanti ia akan bisa mengais-ngais masa indah pertemanananya dengan si hasyim.
Adios min……
Saya nukau saja…
Setahu saya hasyim produktif melahirkan banyak puisi. Namun bukan dengan semangat menegas-negaskan kepenyairannya.
Itu bisa di baca, ada banyak penyair lain, baik yang seangkatan maupun dari generasi di bawahnya.
Bagi hasyim, berpuisi seolah adalah pemenuhan kebutuhan untuk bercakap-cakap dengan dirinya; untuk mengekspresikan penghayatan personal atas pengalaman-pengalaman yang sangat pribadi.
Ia tak pernah meniatkan puisinya sebagai program pengubah kehidupan sosial.
Ia tak menunjuk kondisi patologi sosial yang merisaukan dan mendesakkan resep umum agar semua itu segera diperbaiki.
Menghayati sesuatu, apalagi yang intim, tidak cocok disajikan dengan berteriak
Nada rendah yang menyerupai gumam dalam puisi-puisinya juga terlihat dari pilihan diksinya.
Ia seperti tak berupaya keras untuk menemukan diksi tertentu yang khas atau “puitis”. Ia seolah menuangkan begitu saja kata-kata “biasa”.
Tapi di tangan si krempeng kriting itu kesederhanaan diksinya itu justeru kekuatan terbesar dalam karyanya.
Ia rupanya percaya bahwa kekuatan kata bukan terutama terletak pada makna kata tunggal itu sendiri, tapi pada hubungan dan kedudukannya di antara barisan kata lain.
Hasyim beda dengan banyak penyair lain.
Ia menyimpan kepercayaan semacam ini dan berani menyajikannya — dengan risiko tidak dianggap sebagai penyair, setidaknya penyair hebat
Mungkin dengan wataknya yang semacam itu maka puisi-puisi hasyim mendapat audiens di dilingkungan pertemanan generasinya.
Saya gak tahu apakah puisi-puisinya bisa melintasi waktu. Entahlah… Saya bukan penyair. Hanya seorang kolokan yang menyukai nyanyian-nyanyian sepi.
Dan saya juga tahu puisi hasyim menyajikan ungkapan dan imaji-imaji yang kuat dengan metafor yang sarat kontemplasi yang beraneka.
Kalau anda pernah membaca bait-bait puisinya, di sana akan ditemukan kompleksitas pemaknaan untuk “mencintai dengan sederhana”.
Sesederhana ketika saya pernah menulis di sebuah waktu tentangnya. Yang seorang hasyim sepertinya ingin mengembalikan ulasan atau kritik sastra pada rel aslinya
Menelaah sastra sebagai karya sastra, dengan disiplin yang dikenal dalam bidang itu — ringkasnya: sastra sebagai paparan tentang human condition
Jangan merujuknya ke berbagai arah yang jauh melampaui tujuan sastra “analisis”
Hasyim menurut saya enggan, bahkan cenderung heran, mengapa sastra diperlakukan sebagai alat analisis sosial dalam bingkai “cultural studies.”
Bagi hasyim , sastra sebagai cerita tentang kondisi manusia sudah merupakan ambisi yang memadai; tak perlu “ditingkatkan” dan dikaitkan dengan isu-isu mbalelo.
Saya tahu betul sebelum mematangkan karya-karya puisinya si krempeng itu dari awal sudah menjajal penulisan cerita pendek. Di sini sebetulnya ia seperti melakukan gerak melingkar
Sebagai kawan dekat saya mengritik banyaknya pemakaian ragam lisan dalam cerpennya
Terhadap kritik ini ia hanya bergumamdan menekukkan kepala sembari menopangan dengan siku yang telapank tangannya mengembang.
Hasyim dari dulunya selalau ngotot tentang bahasa. Asal muasal bahasa adalah bahasa lisan; jadi ia ingin mengembalikan kelisanan itu dalam banyak tulisannya.
Tentu saja argumen argument hasyim itu bisa dipersoalkan. Saya setuju bahwa bahasa bermula sebagai modus komunikasi lisan.
Untuk itu cara terbaik untuk mengembalikan kelisanan itu adalah dengan menyajikannya secara lisan
Hasyim memang sudah lama berpulang. Kita tak akan pernah lagi melihat langkahnya yang berserak. badan kerempeng dan rambutkeriting yang pas wajah tirusnya.