Simeulue bukanlah kasus pemekaran daerah otonomi baru (DOB) pertama yang mengedepankan prestise dan pressure politik. Masih ada dua kasus pemekaran sebelumnya di Aceh. Pertama, mekarnya Kewedanaan Sabang dari Aceh Besar menjadi kotapraja atau dikenal sebagai daerah swatantra tingkat dua di tahun 1965, dalam suasana yang adem, dan dimaksudkan untuk mengimbangi status lain dari Pulau Weh itu, daerah perdagangan dan pelabuhan bebas.
Kasus kedua, atau lebih dikenal pemekaran jilid dua adalah menyapihnya Aceh Tenggara dari Aceh Tengah di tahun 1974, di awal orde baru, setelah melewati status perwakilan kabupaten yang panjang dan disertai tuntutan yang gaduh dengan rapat umum pengumpulan massa yang besar disertai deklarasi ancaman untuk memindahkan kota kabupaten dari Takengon ke Kutacane, atau beri status daerah tingkat dua bagi Alas+Gayo Lues.
Tuntutan ini diakomodir dengan oleh pusat melalui pertarungan yang sangat berat karena sentralisasi kekuasaan masa itu sangat “pelit” dengan dengan kebijakan pemekaran. Praktis, sepanjang orde baru hanya ada dua pemekaran provinsi, Sulawesi Tenggara dan Bengkulu serta hitngan jaru pula kabupaten yang menjadi otonomi. Dan Aceh mendapatkan satu diantaranya, Aceh Tenggara.
Orde baru yang pemerintahannya sangat sentralistis menempuh kebijakan “blokir” bagi lahirnya otononi baru. Alasannya prgamatis, sulit mengontrol dan mengalokasikan anggaran. Tapi masih ada kecualinya, bila ada jaminan dari elite daerah untuk memenangkan salah satu kontestan partai politik dalam pemilu. “Kuncinya, kabupaten baru harus kuning. Artinya Golkar thok. Tak boleh campur aduk seperti “belangong gule,” kata mantan pinisepuh Golkar Aceh yang pernah menjabat Ketua DPRD Provinsi dan mendapat marga dari masyarakat Alas.
Bahkan Fachry Aly, penulis, pengamat sekaligus intelektual muda Aceh di Jakarta, kala itu, dalam sebuah artikelnya di Kompas, menyebut prasyarat lain yang, Aceh harus mendgradasikan warna hijau dengan lambang ka’bah untuk digantikan warna kuning dengan simbol beringin di puncak etalase politiknya. Waktu itu peta politik Aceh memang sedang menyempal dan menjadi satu-satunya provinsi yang tidak “tunduk” pada kemauan Jakarta.
Sejak dua pemekaran “politis” itu jalan gaduh tuntutan otonomi senyap selama 25 tahun Tapi nafsu untuk mempejuangkan otonomi, terutama bagi Singkil, Simeulue, Abdya, Bireuen, Gayo Lues tidak pernah padam. Perjuangan ini selalu disampaikan dalam bentuk deklarasi dan retorika kampanye di setiap pemilihan umum, sepanjang tiga puluh tahun era orde baru. Ada deklarasi yang disertai pula janji memenangkan salah satu kontestan sebagai sebuah prasyarat. Biasanya disahuti oleh jurkam, terutama menteri dari Jakarta, dengan menerima, mengepit, membawa dan kemudian membuang entah kemana bundel pernyataan itu.
Janji kemenangan salah satu kontestan itu harga mati dan pertaruhan dari setiap perwakilan kabupaten, kala itu untuk menuju tangga otonomi harus lewat status perwakilan yang kemudian ditambah dengan kabupaten administratif. Status ini pernah diemban oleh Simeulue, Singkil dan Bireuen yang secara berendeng merupakan prioritas utama ketika “kran” otonomi baru dilonggarkan di pasca reformasi.
Jejak pemenuhan janji itu meninggalkan tatahan di peta konfigurasi perpartaian di kabupaten pemekaran, baik yang mendapat status di masa orde baru mau pun pasca reformasi. Aceh Tenggara misalnya tetap di dominasi kuning. Tak terkecuali Singkil, Simeulue, Bener Meriah, Nagan mau pun Tamiang. Mungkin, untuk perkecualian hanya Bireuen yang agak complang karena warna hijaunya tak pernah pudar, kala itu, dan kini sudah dipelorotkan oleh merah menyala.
Pemekaran di pasca reformasi tak menemukan jalan terjal. Ada semacam “simbiosis” antara elite daerah dengan perwakilan DPR yang menjadikannya dalam satu kepentingan. Tidak hanya kepentingan politik, tapi uang. “Ada yang mengongkosi. Tujuan akhir, yang uang,” kata seorang teman LSM yang jengkel dengan permainan ini
Bahkan pemekaran menjadi semacam amuba, terutama setelah Singkil mempersilakan mendapat status otonomi kota. Singkil sendiri sebelumnya mekar dari Kabupaten Aceh Selatan. Yan mekar juga Gayo Lues dari Aceh Tenggara. Praktis sejak kemerdekaan tak ada kabupaten yang alpa dari pemekaran. Sehingga sejak awal ada 7 kabupaten kota, kini telah menjadi 24 kabupaten/kota.
Apa dampak pemekaran? “Plus minus,” ujar Soetardji M kepada kami ketika diajak mendiskusikan hasil pemekaran kabupaten dan kota di Aceh. Praktisi birokrasi yang mengajar di banyak perguruan tinggi mata kuliah ilmu pemerintahan itu mengakui ada yang untung dan ada yang buntung dengan otonomi baru.
Masih bijak dang cermat mengamati perkembangan pemerintahan, terutama di Aceh pasca pemekeran kabupaten/kota, Soetardji mengatakan, ada kabupaten yang sampai “kiamat” pun tidak akan sanggup membiayai dirinya, kecuali ada berkah minyak atau pun mineral di dalam perut buminya. “Anda pasti punya catatan kabupaten dan kota mana yang saya maksud.”
Ia enggan menyebut kabupaten atau kota mana saja. “Tapi secara umum persentase yang berhasil mendekatkan kesejahteraan sebagai syarat awal tuntutan pemekeran hampir tidak ada. Bahkan kabupaten induknya yang dulunya memang minus, kini kini ada yang sedang sakarat membiayai pembangunannya dan masuk dalam kategori minis-minus,”ujarnya berseloroh.
Dengan sedikit merendahkan suaranya, Soetardji mencontohkan Aceh Selatan, yang setelah ditinggalkan Singkil, Abdya dan kemudian Subulussalam, kini sedang kepayahan menempatkan diri layaknya otonomi potensial. “ Saya dengar Kluet bersama Bakongan ingin memproklamirkan diri jadi otonomi baru. Lantas mau jadi apa negeri aceh kemelaratan itu.” Seloroph Basri Emka yang tahu persis potensi yang tersisa di kabupaten induk itu karena ia lama jadi ketua bappeda di sana.
Memang ada kasus kabupaten induk bisa lebih “siip” usai melepaskan bebannya. Sebut, misalnya Aceh Barat. Dulunya satu dari dua kabupaten di pantai barat Aceh itu harus memikul Simeulue, Aceh Jaya dan Nagan dalam pengelolaan pemerintahannya. Kini setelah tiga otonomi baru itu dimekarkan, Aceh Barat sudah merasa ringan mengatur dirinya sendiri.
Kasus Aceh Barat juga dirasakan Aceh Tengah yang bisa lebih fokus berkembang ke komoditi pertanian usai Bener Meriah cerai yang juga didahului oleh Aceh Tenggara, yang kini juga sudah memekarkan Gayo Lues.
Dua dari tiga kabupaten yang dimekarkan, Simeulue dan Aceh Jaya masih megap-megap untuk menghidupi “kemakmuran”nya. Nagan lumayan karena potensi ekonominya, dengan dua perkebunan awal, Seumayam dan Seunagan milik PT Socfindo memang menopang. Bahkan, kini mereka sudah punya puluhan perkebunan sawit, batubara, bahkan sudah berdiri sebuah “pabrik strom” di Suak Puntong sebagai simbol pertumbuhan pembangunannya.
Kesejahteraan? “Kita jangan ngomong kesejahteraan. Kalau pun hasil melimpah tapi dikelola dengan korup kan sama saja. Tapi secara potensi ekonomi mereka sudah bisa merepresentasikan otonominya.”
Tidak banyak daerah seberuntung Naga Rayan, Aceh Tamiang, Bireuen atau pun Singkil diawal otonominya sebelum Subulussalam menjadi kota. Aceh Jaya, Simeulue, Abdya, Pidie Jaya, Gayo Lues, Bener Meriah dan tiga kota lainnya, Lhokseumawe. Langsa dan Subulussalam masih mencari model bagaimana pemerintahaannya bisa efektif meyejahterakan rakyatnya.
Dengan tiga periodesasi daerah otonomi baru sejak di pasca reformas, dari Simeulue, Singkil dan Bireuen di tahun 1999 yang kemudian dilanjutkan dengan Kota Lohkseumawe dan Langsa 2001 serta Bener Meriah, Tamiang, Aceh Jaya, dan Abdya ditahun 2002 dan ditutup dengan Pidie Jaya dan Subulussalam di tahun 2007, sebagian besarnya masih menuai dana alokasi umum (DAU) sebagai penopang utama keberlangsungannya.
Sebagian besar dana alokasi umum itu dipergunakan untuk belanja pegawai dan mencicil pembangunan gedung perkantoran.
Aceh Tamiang, yang semula diprediksi bisa memulai pengelolaan otonominya, setelah sepuluh tahun berlalu dan sudah menyelenggarakan dua pilkada, masih saja membenahi gedung perkantoran dan tidak mampu menyelesaikan jalan dua jalur di depan kantor bupati yang belum siap benar. Dengan DAU Rp 306 milyar lebih dari setengahnya dibelanjakan untuk belanja rutin.
Yang paling dahsyat lagi belanja Kota Langsa yang menerima dana alokasi umum sebesar Rp 276 milyar, menurut catatan Kemendagri, angka belanja rutinnya sudah melebihi 70 persen dari APBD. “Apa sisa untuk investasi seperti membangun kesejahteraan kepada rakyatnya,” kata seorang pengamat di Banda Aceh. Bahlan dalam “release”nya Dirjen Otonomi Daerah, Kemendagri telah mengingatkan daerah otonomi pemakan belanja rutin melebihi 50 persen dengan sanksi.
Memang ada kabupaten yang mensiasati percepatan pembangunan daerahnya dengan berburu anggaran ke Jakarta. Pidie Jaya, misalnya. Dengan dana alokasi umum sebesar Rp 255 milyar dan menyadari tidak akan dapat mengejar pembangunan infrastruktur dengan cepat pemkabnya menggugat ke provinsi untuk membagi pengelolaan dana otonomi khusus “fifty-fifty.” Gade Salam, sang bupati, yang cekatan meneronos sumber uang APBN terus memasang kuping tanpa takut membayar diskon kepada wakil rakyat di Jakarta untuk mendapatkan DPID sehingga terseret-seret nama kabupatennya dalam kasus Wa Ode Nurhayati.
Dengan pengalaman berjilid-jilid pemekaran otonomi, Aceh bisa belajar bahwa munculnya kabupaten atau kota baru tidak “linear” dengan mendekatnya kemakmuran. Kemakmuran bukan didapat dengan menjual ide pembentukan otonomi baru. Kemakmuran akan datang lewat kepiawaian kepemimpinan dan elit daerah merawat pembangunan berkesinambungan dengan menjauhkan kepentingan pragmatis kekuasaan yang korup.
Dengan meminjam sebuah analisis dari seorang teman yang rajin membaca anggaran provinsi, kabupaten dan kota serta realisasinya di Aceh, “Tak seorang pun dari pejabat di daerah ini yang bisa lari dari jerat korupsi kalau ditelusuri secara sistem dan prosedure. Jawabannya sudah ada di Badan Pemeriksa Keuangan dan kriterianya sudah di buatkan secara analisis oleh teman-teman LSM. Mau apa lagi!!” [ ]