Jangan pernah meremehkan kuliner kaki lima. Apalagi kalau Anda berkunjung ke Medan, kota yang dikenal sebagai surga makanan berkultur plural yang berhasil memadukan taste melayu, minang, aceh dan mamak keling. Pilihan santapan perpaduan rasa ini tersedia sejak mulai dari breakfast hingga launch. Tentu dengan kenikmatan bintang lima plus, ala kaki lima.
Pagi, minggu pertama, di hari mendung bulan Desember kemarin, sebuah pesan pendek menyelinap di kotak masuk telepon seluler kami. Bunyinya; “Bang, tolong beritahu apa nama gang tempat kita makan kepala kakap bersantan tipis yang pedas nya minta ampun, setahun lalu.”
Kami langsung mafhum siapa yang bertanya sekaligus arah pertanyaannya. Tidak memerlukan mukadimah berisi nyinyir untuk menterjemahkan maksudnya atau mengulang lagi tanya. Cukup menyungkil berkas memori dan menjalarkannya bersama seuntai kenangan ketika kami dan sang teman pernah berlomba mengisap sisa daging di celah kepala kakap yang kuah gulainya menukikkan aroma nikmat di rongga mulut menjalar menyentuh saraf perasa di ubun-ubun untuk kemudian menguapkan dengus “uaahh…. uaahhhh…”
Medan, tempat kepala kakap yang menggoda dan ditanyakan lokasinya oleh sang sohib, memang salah satu sarang kuliner asoi. Sarang ketika kepala kakap ukuran jumbo diguyur kuah santan “jalang,” encer, oleh Pak Zes, nama panggilan Zakaria, pemilik warung kaki lima itu dan menyiksa hasyrat siapa saja, seperti sang kawan, untuk datang kembali.
Warung di Gang Keluarga milik Pak Zes, tempat kami menikmati kepala kakap itu, persisnya berada di lintasan Jalan Sisingamngaraja. Berseberangan dengan Hotel Garuda Plaza. Atau kalau mau pasnya lagi, Gang Keluarga yang masuk kawasan Puri itu, hanya beberapa belas meter dari jejeran Kantor Bank Aceh Cabang Medan. Atau pun, hanya, berjarak satu toko dengan gerai bolu meranti.
Gang itu kecil. Berbelok, dan dulunya komplek perumahaan pemerintah Kota Medan yang kini sering di dera genangan air karena ditenggelamkan bangunan pertokoan atau gedung-gedung diseputarnya. Di sanalah Pak Zes, nama lelaki minang berbadan kecil dan selalu ramah dengan pengunjung membuka warung kaki lima di teras rumah sewanya.
Khas warung Pak Zes adalah “transparan.” Artinya, terbuka antara dapur, lemari jualan dan banjaran meja serta kursi dalam satu ruang terbuka, saling berhimpitan dan membuat pengunjung berdesakan antri untuk mendapatkan tempat, terlebih menjelang siang.
Dengarlah celoteh pengunjung campur baur dalam berbagai dialek dan latar belakang profesi. Ada yang berbaju seragam perusahaan, ada yang berstel dasi bahkan ada yang kumal semacam kenek-kenek yang terlibat percakapan tentang trip angkutan. Semuanya dengan permohonasn yang sama minta didahulukan pelayanannya. Dan Pak Zes cukup tersenyum menyambutnya dan menenangkan pengunjung dengan ucapan,”sabar… sabar…”
Pak Zes, setiap kali kami berkunjung dan mengantarkan kepala kakap ke meja kami, selalu membisikkan sebuah kalimat,”ikannya baru.” Ucapan itu selalu di ucapkan Pak Zes di setiap kedatangan kami yang nyaris menjadi jadwal rutin ketika berkunjung ke Medan. Ia menyampaikannya dengan nada riang. Dan ia pula mengajarkan kepada sebuah rahasia bagaimana membedakan kepala kakap baru dengan yang daluawarsa.
Sembari menyibakkan tulang di pucuk kepala kakap, Pak Zes mengambil daging tengkuknya dan menyuruh kami mencicipi. “Jilat dengan ujung lidah. Kalau ada rasa asam berlebihan itu bukan ikan baru. Kalau terasa manis dengan rasa asin berarti sip,” katanya tergelak.
Bukan hanya mengajarkan tentang rasa ikan baru dan daluawarsa, Pak Zes bahkan tak segan-segan mengajarkan kami cara membongkar kepala ikan dengan teknik memilah-milah tulangnya. “Jangan pakai sendok. Ribet. Pakai sendok Tuhan saja,” katanya tergelak ketika suatu ketika di awal kedatangan kami ke warungnya satu dekade lalu masih menggunakan media sendok dan garpu untuk menyibakkan ujung kepala kakap itu.
Di sebuah kesempatan lain pula ia bercerita tentang bumbu gulai kepala kakapnya yang sudah sangat “en-ka-er-i” NKRI). Artinya sudah mengadopsi rempah aceh, melayu dan minang. “Minangnya tidak terlalu pekat pekat lagi. Sudah ada proses akulturasi unsur aceh dan melayu. Saya dulu pernah kerja di keluarga melayu di Pangkalan Brandan, kala kejayaan Pertamina, dan pernah merantau ke Lhokseumawe menjadi karyawan kontrak di sebuah perusahaan asing, Bechtel, kala kilang PT Arun dibangun. Dan saya penyuka masakan keduanya yang “euuanaak” dan “mangat” selain kultur saya yang minang dan berungkapan lamak bana” kata Pak Zes mengenang perantauannya.
Unsur minang dalam kuah gulai kepala kakap Pak Zes datang dari santan, walau pun sudah dimodifikasi agak encer, kelapa giling plus kunyit, daun kunyit, serai dan ada juga daun tapak leman. Menurut Pak Zes masih ada kapulaga, adas manis, jinten yang menyertai bumbunya. Tak ketinggalan asam jeruk yang dikupas, cabe rawit dan juga asam kandis dan lengkuas.
Semua rasa itu menyatu. Sulit diterjemahkan kenikmatannya. Pak Zes benar dengan campuran bumbunya, ketika pada senduk pertama kami menggigauka kata “nyaap.. nyaaappp… sebagai pembenaran rasa gulai kakapnya. Pa Zes hanya tertawa ringan sambil mengacungkan jempol serta mengangguk untuk menopang penegasan rasa enak kulinernya itu.
Rasa yang terpatri dan menjadi sihir yang menggoda selera itu tentu bukan diperoleh Pak Zes dalam perjalanan waktu yang pendek. Ia meramunya dengan bereksprimen dari warung ke warung. Bahkan ia juga belajar dari ingatan bagaimana kuah gulai kepala kakap minang di bumbui, kuah kepala kerapuh aceh menjadi santapan “mangat” atau gulai kepala ikan melayu deli di rebus dengan kuah yang wanginya minta ampun.
Pak Zes memang jagoan masak. Suatu kali ketika kami datang agak cepat ke Gang Keluarga itu dan sempat menyaksikan lelaki cekatan itu sedang meramu bumbu ia sepertinya bercanda dengan tingkahnya yang aneh. “Ini rahasia,” katanya berkelakar sambil balik badan ketika sedang mengguyurkan air adukan ke dalam adukan kepala ikan yang direbusnya dalam sebuah belanga.
Tentu bukan hanya warung Pak Zes saja yang menjual kepala kakap di warung-warung kaki lima di Medan. Masih ada warung serupa yang tak kalah hebat rasanya di Jalan Surakarta, Jalan Katamso, Pasar Petisah dan Pusat Pasar Medan. Semuanya menyatakan sebagai nomor satu. Dan Memang benar “number one.”
Kami juga pernah mencicipi kepala kakap di tempat-tempat itu, tapi secara rasa dan kebersihan masih di bawah warung milik Pak Zes di Gang Keluarga itu. Dulu di tahun delapanpuluhan ada satu warung kepala kakap yang sangat terkenal di Medan dan menjadi langganan kami. Warung itu berada di Jalan Hindu, di depan, Kantor LKBN Antara,sebelum kantor berita itu pindah ke Jalan Raden Saleh.
Jalan Hindu, dulunya, menjadi komunitas wartawan dan advokat. Kalau kita dari Kesawan, kini Jalan A Yani, seusai Kantor Harian Analisa belok kiri ke Jalan Perdana, yang kemudian berganti nama Jalan Sutoyo. Setelah melewati perempatan jalan Gang Bengkok belok kanan. Dan itulah Jalan Hindu.
Warung itu juga katagori kaki lima. Bersih dan menjadi langganan sosialita Medan. Atap warungnya dari seng. Rendah. Dan kalau lagi matahari terik uapnya menyengat menyapu pori-pori hingga menimbulkan keringat. Ada “joke” yang mencuat, kala itu, dari komunitas tentang cucuran keringat pengunjung. “Entan rasa ikannya yang enak atau uap panas atap warung yang nikmat,” tutur kawan kami, yang kini sudah almarhum, M Syamin Pardede, ketika menyantap kepala kakap. Rasa kuah gulai kepala kakap Jalan Hindu lebih melayu-minang. Pedasnya agak lunak karena pengunjungnya banyak “selebritas.”
Ada artis lokal semacam Nurafni Oktafia, pengacara Mahyudanil maupun Syarief Siregar. Bahkan kalangan wartawan juga sering ikutan nimbrung dan dibayarkan makannya usai konferensi pers. []