Berwajah dingin, selalu tampil dengan dua tanggan melipat di dadanya, serta “miskin” senyum, “Don” Carlo Anecelotti bak “godfather mafioso,” membunuh tanpa kegaduhan Bayern Muenchen di Allianz Arena, Bavaria, Jerman, Rabu dinihari WIB, 30 April 2014, di leg kedua semifinal Champiuons League dengan empat gol tanpa balas.
Real Madrid, klub yang dijadikannya sebagai “mafioso” itu melaju ke final dengan agregat lima gol lawan kosong. Di final, yang akan dimainkan di Estadio Daq Luz, Lisbon, Portugal, Real Madrid akan menunggu pemenang laga semifinal lainnya, Chelsea melawan Atletico di Stamford Bridge Kamis dinihari WIB, 01 Mei 2014 nanti.
“Bild,” surat kabar terbitan Munich yang sangat prestise itu, di edisi Rabunya, 30 April 2014, menyebut kekalahan Bayern itu, dengan menyebutkan adanya “ancelotti factor.” Kekalahan terburuk sepanjang pertemuan kedua tim. Sebuah kekalahan ala pembantaian “mafia” dengan “godfather”nya Carlo Ancelotti.
Begitu tulisan emosional “Bild.”
Menurut “Bild” ada yang unik dalam perjalanan Real Madrid ke final Liga Champions musim ini, ketika di asuh Ancelotti. Sejak babak perdelapanfinal, Madrid selalu menghadapi tim asal Jerman dan membantai semuanya.
Bermula dengan menghadapi Schalke di babak perdelapanfinal, dan Madrid mengenyahkannya. Los Blancos menang mencolok. lewat dua laga Di babak perempatfinal, Madrid gantian bertemu Borussia Dortmund. Berbeda dengan Schalke, Dortmund terbilang menyulitkan.
Setelah menang tiga gol tanpa balas di laga putaran pertama di Santiago Bernabeu, Madrid dikalahkan Dortmund dua gol tanpa balas dan Madrid lolos ke seimfinal dengan aggregate.
Di semifinal, Madrid menghadapi Bayern Munich. Juara Liga Champions musim lalu tersebut dibuat tidak berkutik oleh “El Real” lewat dua leg, yang keduanya dimenangkan klub Bernabeu itu.
Madrid menang satu gol tanpa balas di Santiago Bernabeu dan menang lagi di Allianz Arena empat gol..
Dalam laga ambisius bagi Bayern Munich itu, Real Madrid memang mendapat tekanan, tapi tim Bernabeu justru menikmatinya lewat serangan balik yang sangat cepat, terorganisir dan matang. .
Meski secara statistik Bayern lebih dominan, tapi nyatanya tim besutan Carlo Ancelotti lebih efisien.
Whoscored mencatat Madrid cuma punya ball possession sebesar tiga puluh satu persen berbanding enam puluh sembilan milik Bayern.
Strategi Ancelotti sangat jitu untuk mematikan tiki-taka yang diusung Bayern di bawah besutan Pep Guardiola. Pertahanan yang tangguh dan serangan balik nan cepat menjadi senjata El Real untuk menggilas Bayern.
“Dengan pemain seperti Gareth Bale, Karim Benzema, dan Ronaldo, lebih sulit memainkan ball possession. Kami harus mencari ruang dan memainkan bola ke depan dengan lebih cepat,” ujar Ancelotti usai pertandingan melawan Bayern.
“Sepak bola menyenangkan seperti itu bisa dilakukan karena semua orang memiliki ide sendiri-sendiri.”
Apa yang diterapkan Ancelotti berbuah sangat manis. Madrid sudah melewati hadangan Bayern yang sangat difavoritkan bisa membuat sejarah sebagai klub pertama yang sukses mempertahankan gelar Liga Champions.
Tentang lawannya di final, Ancelotti dengan kalem menagatakan, “Saya tidak tahu siapa yang harus dipilih. Di satu sisi, Chelsea memiliki pengalaman, tetapi di sisi lain Atletico Madrid memiliki antusiasme yang tinggi dan sedang lapar.”
Tak masalah siapa lawannya di final. Madrid sendiri sudah berada di final. Mimpi selama dua belas tahun untuk meraih la decima , trofi kesepuluh, kian mendekati kenyataan sehingga kesempatan ini tak boleh dilewatkan.
“Penting bagi tim ini mencapai final setelah tiga kali tersingkir pada semifinal. Kami akan memberikan segalanya untuk ini, tentu saja dengan motivasi yang tinggi,” ujar Ancelotti.
“Terkadang di sini, di laga seperti ini, Anda menderita lebih sedikit. Kami menikmatinya, semua orang mengerahkan segala kemampuan dan jikapun banyak hal tidak bekerja dalam satu tahun, mereka akan bekerja di tahun lainnya,” kata bek Sergio Ramos dikutip AS.
Keberhasilan melaju ke final setelah penantian 12 tahun jelas disambut antusias oleh Ramos. Tapi dia pribadi sempat merasa gamang karena jika mendapatkan kartu kuning di laga ini, mimpi tampil di final bakal melayang.
“Final di Lisbon adalah sebuah mimpi. Saya sebelumnya cuma berjarak satu kartu kuning dari larangan bermain, jadi saya sempat beberapa kali grogi,” lanjut bek 28 tahun ini.
Lebih lanjut, Ramos menyatakan bahwa keberhasilan ini tak lepas dari dukungan para suporter yang datang memberikan dukungan.
“Ini adalah laga sempurna. Kami perlu berterima kasih kepada para penggemar Madrid yang mendukung kami di sini dan semua orang di rumah yang menikmatinya,” demikian Ramos.
sumber: bild, marca enlish edition, as dan bbc