“Saya tahu apa yang dibutuhkan United. Saya tidak pernah akan lari dari kenyataan bahwa United itu klub besar dan merupakan ikon Premier League. Jangan pernah meragukan saya untuk komitmen itu,” ujar Louis van Gaal tentang eksistensinya di Old Trafford.
Dengan nada merendah, berlainan seperti biasanya, saat diwawancarai MUTV, Selasa, 31 Maret 2015, van Gaal mengatakan, tak pernah menyepelekan keingingan publik Old Trafford yang menginginkan klub langsung tancap gas.
“Tidak. Saya tidak ingin berjudi dengan kondisi tim ketika saya ambil alih. Saya menginginkan United yang kokoh seperti yang pernah dimiliki Sir Alex. Untuk itu saya beradaptasi dengan tim, pemain dan seluruh situasi yang ada.,” katanya.
Tidak mudah bagi van Gaal beradaptasi dengan Premier League. Ia harus menghadapi kenyataan tentang usia sebagian pemain, latar belakang mereka dan kemampuan mereka.
“Semuanya memerlukan waktu. Dan ketika saya memformulasikan formasi yang ingin saya bangun semuanya bersuara tentang kemenangan. Mereka hanya menginginkan tim menang dan menang. Tak peduli harus bermain dengan formasi yang bagaimana,” keluhnya.
Dan ketika secara berulang kali ia menyodorkan kata “filosofi” sepakbola United, ia dicemooh.
Padahal itulah fondasi yang ingin dibangun van Gaal.
Seperti apakah “filosofi” yang dianut oleh manajer asal Belanda tersebut?
Filosofi itu jugalah yang dianggap jadi biang keladi dari lamanya Van Gaal menerapkan permainan yang benar-benar dia inginkan untuk Manchester United.
Van Gaal keukeuh agar pemain-pemainnya paham dulu mengenai apa yang dia inginkan. Sementara, dia sendiri juga perlu belajar dan beradaptasi dengan klub yang baru dia latih.
“Saya harus mengevaluasi dan beradaptasi dengan kultur dari sebuah klub. Cara saya bekerja di sini, di Manchester United, berbeda dengan cara saya bekerja di Bayern Munich dan tim nasional Belanda,” ujar Van Gaal kepada MUTV.
Kemauan Van Gaal untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar inilah yang dijadikan bantahan atas cap arogan dan diktator yang melekat pada dirinya. Van Gaal mengaku, dirinya adalah orang yang fleksibel sekarang. Tidak lagi keras kepala.
Soal fleksibilitas itu juga tercermin dari formasi yang dia terapkan selama melatih. Van Gaal adalah orang yang menggemari pola permainan indah, empat-tiga-tiga.
Namun, tidak jarang dia menerapkan formasi yang berbeda-beda.
Di Ajax, dia juga pernah menerapkan formasi serupa.
Di Barca?
Dia pernah menerapkan formasi tiga-tiga-tiga – satu . Di Belanda, pada Piala Dunia 2014, dia bermain dengan tiga-lima-tiga. Sementara musim ini, di United, dia mencoba-coba berbagai formasi
Belakangan, United dinilai tampil oke ketika meraih kemenangan atas Tottenham Hotspur dan Liverpool.
Pada kedua laga tersebut, United bermain dengan empat- tiga-tiga yang bisa berubah bentuk menjadi empat-satu-empat-satu
Oleh karenanya, filosofi van Gaal tidak terpatok pada formasi tertentu.
Van Gaal menyebut, filosofinya ada pada pola pikir yang berusaha dia tanamkan pada benak setiap pemain.
Inilah yang kemudian membuat adaptasi United di tangannya berjalan lambat.
Tidak semua pemain langsung paham akan kemauan van Gaal. Tidak semua pemain juga gampang diubah pola pikirnya.
Van Gaal juga menyebut bahwa filosofinya tidak melulu soal permainan di atas lapangan.
Dia percaya, para pemain harus diperlakukan sebagai manusia secara utuh. Kehidupan pemain sehari-hari juga bisa berpengaruh pada performa di atas lapangan.
Keinginan Van Gaal untuk mengurusi sampai hal-hal terkecil seperti inilah yang sempat membuatnya dicap sebagai diktator.
“Panjang ceritanya kalau bicara filosofi saya,” ucapnya.
“Yang paling penting adalah, memperlakukan kita semua sebagai manusia seutuhnya.”
“ Saya selalu menganggap, pemain-pemain saya bukanlah sekadar orang yang menendang bola dari A ke B, tetapi juga bagian dari sebuah lingkungan di mana dia adalah manusia seutuhnya. Saya harus memahami pemain saya.”
“Filosofi saya adalah hal yang penting. Saya suka sepakbola menyerang, tetapi saya butuh pemain yang pas untuk itu dan saya akan selalu mencari pemain yang pas untuk itu, juga kualitas-kualitas tertentu dan di mana mereka bisa dimainkan.”
“Saya membagi penyerangan ke dalam empat fase dan membagi proses bertahan ke dalam empat fase. Saya pikir, para pemain sudah tahu mengenai filosofi saya dan sekarang mereka harus menunjukkannya,” ujar pria berusia 62 tahun ini.
Rumitnya cara berpikir Van Gaal bermula ketika dia masih menjadi pemain. Sebagai seorang pesepakbola, Van Gaal mengakui bahwa dia bukanlah pemain yang cepat. Oleh karenanya, dia harus menutupi kekurangannya tersebut dengan akal.
“Saya adalah pemain yang lambat dan oleh karenanya saya harus berpikir dengan cepat. Sejak saat itulah saya mengembangkan taktik yang cocok dengan saya sekarang sebagai pelatih,” kata Van Gaal.
sumber : mutv dan mirror