Kegilaan Pangeran Teluk terhadap sepakbola Europa memang menjadi-jadi. Mereka tidak hanya menjadi sponsor klub-klub elite di sana, tapi juga memilikinya dan berinvestasi dengan pembelian pemain yang gila-gilaan.
Manchester City, Paris Sain-Germain, Malaga dan mensponsori AC Milan dan Arsenal. Manchester City misalnya. Mereka telah menyuntik uang untuk klub ini hampir 1 miliar pounds atau sekitar Rp 15 triliun.
Jumlah yang luar biasa yang membuat klub-klub yang mereka suntikkan dana menjadi bergairah. Namun, ironisnya, di UEA sendiri sepak bola lesu tanpa prestasi dan kompetisi..
Klub-klub di UEA sering bermain di stadion yang seolah kosong karena terlalu minimnya jumlah penonton. Penduduk di negara dengan populasi kecil ini memang banyak yang suka sepak bola. Namun, mereka terkesan apatis terhadap pertandingan liga mereka.
Apalagi, kelangsungan hidup mereka juga sering bergantung pada subsidi pemerintah. Sehingga, klub-klub di UEA kurang mampu membangun tim berkualitas.
Sebagian besar penduduk UEA sangat bangga terhadap kesuksesan Manchester City menjuarai Premier League dan Piala FA. Mereka justru punya rasa memiliki yang tinggi dengan klub Inggris itu karena dimiliki pengusaha asal Abu Dhabi, Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan.
Perusahaan lain yang berbasis di Abu Dhabi, Emirates Airlines, juga menjadi sponsor Paris Saint-Germain (PSG), AC Milan, dan Arsenal. Bahkan, stadion Arsenal yang berkapasitas 60.000 orang memakai nama Emirates, dan itu menjadi kebanggaan rakyat UEA.
“Sayangnya, investasi di jagat sepak bola Eropa itu tak mendatangkan keuntungan atau pengaruh pada sepak bola lokal,” kata Presiden Federasi Sepak Bola UEFA, Yousuf al-Serkal, kepada kantor berita Reuters.
“Kami belum melihat adanya kerja sama antara klub-klub itu (Eropa) dengan klub kami atau tim nasional kami,” tambahnya.
Saat Liga Champions berlangsung, kafe atau rumah makan di Abu Dhabi akan dipenuhi orang. Mereka mengenakan seragam Barcelona, Manchester United, Real Madrid, atau seragam klub-klub elite Eropa lainnya. Namun, ketika klub lokal, Al Ain menjuarai Liga UEA dengan menang 3-0 saat melawan Dubai pada bulan April, hanya sedikit yang datang ke stadion menyaksikan laga penting ini.
Harapan UEA agar liganya menjadi salah satu yang terbaik di Asia pun jauh panggang dari api. “Saya malah merasa ini tak mungkin,” kata Kepala Kompetisi Pro League, Colin Smith.
“Selain itu, populasi lokal yang sedikit hanya mencintai klub tertentu. Itu kasus yang terjadi dalam diri orang UEA. Sedangkan orang asing yang jumlahnya lumayan cuma tinggal untuk sementara,” lanjutnya.
Populasi di UEA terkonsentrasi di Abu Dhabi dan Dubai. Sampai saat ini, hampir 90 persen populasi di kedua kota besar itu justru orang asing.
“Rakyat, tak hanya di UEA tapi juga yang ada di seluruh negara Timur Tengah, mencintai sepak bola. Sayangnya, mereka lebih suka menonton pertandingan Barcelona, Real Madrid, Man United, Spanyol, dan Perancis, daripada tim atau pemain mereka sendiri,” jelas mantan bek Real Madrid, Michel Salgado, yang menjadi direktur akademi sepak bola Dubai Sport City.
“Maka, hal pertama dan tersulit adalah mencoba dan mengubah kultur,” tambahnya.
Meski begitu, Smith yakin sepak bola lokal masih bisa merebut hati penduduk, meski acara sepak bola Eropa mendominasi di UEA. “Jika Anda mencintai sepak bola, Anda akan melihat sepak bola dari seluruh dunia,” katanya.
Selama ini, hanya stadion miliki klub Al Jazira yang kapasitasnya terbesar, yakni 20.000 penonton. Namun, setiap bermain, klub di Abu Dhabi itu hanya ditonton ratusan orang.
Pro League atau liga sepak bola di UEA dibentuk pada 2008. Lalu, namanya diganti menjadi Arabian Gulf League pada Mei lalu, meski pesertanya hanya klub dari UEA. Sejauh ini, menurut Smith, profesionalisme telah membawa perbaikan dalam teknik dan kebugaran pemain. Namun, kemajuan sepak bola UEA belum berpengaruh di kompetisi Asia.
“Akan butuh waktu. Jepang butuh 20 sampai 30 tahun untuk membangun liga mereka. Kami sudah berusaha dengan baik dalam lima tahun terakhir,” ujarnya.
Klub UEA, Al Ain, pernah menjadi juara Liga Champions Asia pada 2003. Dua tahun kemudian mereka menjadi runner-up. Tetapi, sejak 2007, tak satu pun klub asal UEA yang mampu lolos ke babak knock-out Liga Champions Asia.
“Kekurangan kami adalah rendahnya penghasilan dari tiket. Ini menjadi masalah di UEA. Kami mencoba merangsang orang untuk lebih banyak datang ke stadion dengan memberi tiket gratis. Tetapi, butuh waktu untuk perubahan,” kata Ketua Al Ahli, klub asal Dubai.
“Memperbaiki lapangan dan stadion akan memancing banyak penonton, tetapi mengharapkan pendapatan besar butuh waktu lebih lama,” tandas Naboodah.
Dengan kekuatan uangnya, UEA memang melakukan invasi besar-besaran di sepak bola Eropa. Invasi mereka juga membuat klub yang ditangani menjadi lebih besar. Namun, sepak bola di negeri sendiri masih tertatih-tatih, belum mampu mengambil hati rakyatnya. Bahkan, pada kondisi sekarang, orang UEA masih lebih suka terhadap sepak bola Eropa daripada sepak bola dalam negeri.
Sehingga, investasi uang di sepak bola Eropa masih sebatas mendatangkan keuntungan ekonomi, pengaruh, dan citra buat UEA, tetapi belum berdampak positif buat sepak bola mereka.