Apakah pers itu masih ada?
Entahlah…!
Entahlah.. ketika ia melilit dalam pertanyaan. Pertanyaan yang datangketika saya melewati umur tujuh puluh dua tahun. Pertanyaan yang tidak bisa saya sergap dalam jawaban: ada atau tiada.
Kalau dulu pertanyaan itu muncul saya bisa langsung menjawabnya dengan satu kata. Ada.
Tapi, kini, setelah lima puluh dua tahun saya menjadi bagian dari pers itu sendiri, tak ada keberanian saya menjawabnya jawaban, ada.
Entah ada dan tiada. Begitu penerawangan saya ketika ingin memilih salah satunya. Pilihan yang sempat saya terbang untuk menangkap hembusan jawab yang ada diawang-awang. Jawaban yang berjarak dari realitas bumi
Jawaban yang tidak matematis. Seperti dua kali dua pasti empat. Empatnya jawaban matematis tak kan pernah berubah.
Bagaimana dengan jawaban pertanyaan: Apakah pers itu ada?
Saya hanya bisa mengatakan ini: dalam buncah keriuhan mungkin ia masih ada. Tapi dalam kesenyapan renungan ia telah pergi. Tiada.
Itulah jawaban saya.
Sentimentil?
Kalau itu pun dituduhkan kepada saya, sih oke. Saya menerima. Dan kalau pun saya dikatakan emosional, itu terserah. Saya menerima semuanya. Bahkan menerima kalau diumpat sebagai seorang jurnalis di ‘luar garis.”
Saya sendiri punya alasan untuk mengatakan ada dan tiada terhadap keberadaan pers itu. Di masa ini.
Masa ketika ia hadir dalam baliho bertulis konferensi pers dibanyak kesempatan. Ketika ia hadir dalam tajuk kalimat wawancara pers, keterangan pers dan banyak pers-pers lainnya.
Kalau sudah ini taklimatnya pasti Anda dan saya tak bisa membantah bahwa pers itu masih ada. Saya pun setuju untuk semuanya.
Tapi saya bisa juga mengatakan pers itu tiada dalam bungkus etika. Etika yang dirumuskan sebagai “kode etik.”
Kode etik yang bermuatan investigasi plus cross check untuk sebuah penulisan. Bukan hamburan opini. Bukan juga berita sepihak yang diantarkan lewat “news” tanpa makna.
Kini semuanya itu seperti awan tipis yang tidak pernah mendatang hujan. Sekalipun hujan gerimis.
Padahal, sebenarnya, pers itu adalah awan tebal yang bisa mendatangkan hujan lebat. Menyebabkan banjir. Atau bah yang menjebol semua benteng.
Benteng oligarki, benteng kekuasaan dan entah benteng apalagi.
Sebab pers itu sendiri menjadi bagian dari benteng yang dibangun untuk menahan terjangan kekuasaan yang mencampakkan keadilan dan kemanusiaan.
Kata keren dari keberadaan pers adalah benteng demokrasi.
Pers itu pilar demokrasi. Pilar keempat “demos” dan “kratos” Demos-kratos. Kekuasaan – rakyat. Sebuah antonim yang lahir dari negara kota di Yunani kuno.
Untuk itu semua saya berani mengajukan pertanyaan kembali kepada Anda, apakah pers itu masih menjadi bagian dari pilar demokrasi?
Kalau Anda menjawabnya tidak, saya setuju. Karena kini ia tak bisa mengubah skenario banyak permainan yang menindas “kratos.”
Kalau Anda pun menjawabnya ada, saya juga setuju. Setuju kala baliho dari banyak acara masih dibentangkan sebagai latar sorot kamera banyak media.
Setuju setelah ancukan keroyokan pers tidak pernah lagi jadi jadi penghalang langkah kekuasaan menista rakyat. Menista lewat bancakan kesepakatan pencurian hak-hak mereka.
Untuk semua ini saya berani menyimpulkan, kekuasaan tak pernah hirau dengan eksitensi pers. Ekistensi yang sudah mereka kooptasi untuk dijadikan corong halo-halo.
Kalau hanya jadi humas masih lumayan. Lumayan karena dibayar lewat advertising atau pembagian amplop bernama fee proyek.
Kalau Anda nggak percaya bikin saja penelitian lapangan kecil-kecilan. Nggak usah lewat polling. Panjang prosesnya. Dan belum tentu orisinil. Sebab disana ada juga tumpangan kepentingan.
Dari semua ini saya hanya bisa melayangkan kenangan kala pers masih punya harga diri. Bukan harga jual. Kala ia masih dikendalikan oleh “driver” sekelas Mochtar Loebis, Rosihan Anwar ataupun Teuku Dzulkifli Hafas.
Mochtar Loebis yang punya koran Indonesia Raya, Rosihan yang mengendalikan Pedoman dan Hafas dengan Nusantara-nya.
Mereka siap diberangus oleh kekuasaan ketimbang harus nurut. Nurut dengan Soekarno. Soekarno yang membungkam Moechtar lewat demokrasi terpimpin. Mochtar dan Rosihan tak mau melepaskan jargon pilar demokrasi untuk pers.
Kisah pemberangusan itu terus berlanjut di era berbeda.
Ketika majalah berita mingguan Tempo dan koran Kompas di breidel. Mereka tak kecut oleh rejim orde barunya Soeharto. Orde yang membungkam pers menyimpang.
Bahkan Sinar Harapan bersedia berganti nama untuk menanggung resiko ketika mengatakan tidak untuk memilih jalan berbeda dengan “demos-kratos.
Bagaimana dengan kondisi hari ini?
Walau pun media diberi kebebasan untuk mewujudkan semua impiannya tentang “demos-kratos” ternyata mereka sulit untuk tegak.
“Ya era sudah berganti,” begitu selalu menjadi dengung di banyak temu ramah ala waroeng kupi. Era digital. Era medsos dan entah era apa lagi. Mungkin juga era penjilat.
Tapi tidak untuk sebuah media bernama Asia Sentinel yang pernah menulis sebuah kasus di negeri ini.
Sebuah media online yang elegan. Yang saya ambil ebagai contoh betapa pers itu masih ada. Media yang memilih Hongkong sebagai basis untuk menebar virus “kratos” di Asia.
Media yang dikendalikan oleh seorang genius pers bernama Berthelsen. Yang pernah mencabut beritanya tanpa pemberitahuan: mengapa berita itu dicabut. Juga tidak ada permintaan maaf.
Yang membuat orang media bingung. Apa yang terjadi. Kalau pencabutan itu karena Asia Sentinel merasa bersalah kan harusnya minta maaf.
Kalau tidak minta maaf mestinya tidak merasa bersalah. Itulah uniknya media online. Yang tidak akan terjadi pada media cetak.
Di media cetak sebuah berita abadi adanya. Termasuk berita salah. Tidak bisa dicabut. Tidak mungkin. Sudah terlanjur dicetak.
Terlanjur beredar. Kalau berita koran itu salah harus diralat. Kalau merugikan orang lain harus meralat plus minta maaf.
Di online ada enaknya. Pernah tulisan saya salah menyebut tahun. Begitu pembaca meluruskannya langsung bisa diubah.
Di koran tidak bisa. Yang sudah terlanjur beredar abadi adanya.
Tapi berita online itu kan juga sudah beredar. Sudah disimpan orang. Dalam file. Bahkan sudah diprint juga.
Ahli kode etik tentu tertarik mendiskusikannya. Pun para ahli hukum pers.
Asia Sentinel mestinya tidak main-main. Pemimpin Redaksinya wartawan senior: John Berthelsen. Lahir di California. Tiga puluh tahun jadi wartawan. Di Asia. Pernah tinggal di berbagai negara Asean. Kini umurnya sekitar delapan puluh tahun.
Berthelsen asli seorang wartawan. Kuliahnya di California State University di Chico. Sastra Inggris. Di utara San Fransisco.
Koran pertama tempatnya bekerja adalah Sacramento Bee:. Ibukota California.
Tujuh tahun lalu Berthelsen pernah disomasi wanita Malaysia: Rosmah Mansor. Agar minta maaf. Dalam waktu hitungan jam.
Itu gara-gara Asia Sentinel menulis begini: Rosmah berusaha mengganti gubernur Bank Sentral Malaysia. Dengan pejabat baru dari kroni suaminya: Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak
Berthelsel bergeming. Tidak mau minta maaf. Tentu saja.
Berthelsen wartawan kelas berat. Setelah di Sacramento Bee ia bekerja untuk koran terkemuka di dunia: Asian Wall Street Journal. Sebagai edisi Asia. Dari Wall Street Journal New York.
Berthelsen sangat idealis. Ia pernah jadi wartawan perang. Meliput perang Vietnam. Selama delapan tahun.
Ia mendirikan Asia Sentinel juga karena idealisme: koran-koran Barat kurang mau lagi mengcover Asia.
Koran Barat semakin menjadi koran lokal. Itulah tuntutan masyarakat baru di sana. Juga di mana saja. Termasuk di Indonesia. Koran nasional hilang. Koran lokal terbilang.
Karena itu Wall Street Journal menutup edisi Asianya.
New York Times menutup Intermational Herald Tribunenya.
Majalah Asiaweek tutup juga. Kantor biro mereka di Asia dikecilkan. Atau dibubarkan.
Berthelsen bersama mantan wartawan-wartawan eks koran terkemuka itu mendirikan Asia Sentinel. Secara online.
Tahu kenapa Senitnel bisa jadi contoh eksistensi pers?
Ia masih memelihara etos jurnalistik.
Setiap akan menurunkan tulisan Asia Sentinel melakukan cross check.
Asia Sentinel sadar: sebuah berita tidak harus fakta tapi sepihak.
Apakah kesadaran ini masih menjadi milik media negeri ini. Pers negeri ini.
Entahlah…
Entahlah ketika saya tak memerlukan jawabannya. Sebab jawabannya adalah milik mereka yang masih mengaku sebagai insan pers.
Dan insan pers itu mungkin Anda sendiri.