Saya melirik tas jinjingnya.
Ada tatahan tulisan bpjs di bagian atasnya.
Ketika itu pesawat garuda penerbangan btj baru saja positioning usai take off dari bandara soetta. Persisnya di langit selat sunda.
Seat saya persis berada di sampingnya, Tiga puluh enam i. Ia sendiri tiga puluh enam y. Samping jendela.
Sebenarnya seat yang saya duduki milik istri. Tapi karena yang mengisi seat disebelahnya seorang lelaki saya harus takzimlah. Kan nggak baik wanita bersuami duduk bergandengan dengan lelaki yang bukan muhrim.
Nggak baik menurut adab maupun syariah.
Saya harus punya garis terhadap ini. Garis batas kesantunan hidup.
Seperti garis terhadap sebuah tulisan.
Garis untuk mengembalikan tulisan ini ke lirikan. Lirikan tas tatahan bpjs milik lelaki yang duduk di samping saya di flight btj garuda 737-700 Jumat siang itu.
Lirikan yang membuat saya buncah. Buncah yang menjalar dan mengusik naluri. Naluri jurnalis. Yang pikirannya sering ngaco. Ngaco yang curiga plus nyinyir.
Nyinyir tanya dengan permainan otak hinga ke kata-kata.
Seperti nyinyirnya tanya saya di pekan ini tentang bpjs yang memberangus keberadaan jka-jaminan kesehatah aceh- dalam sekali tepuk pengesahan anggaran provinsi,
Jaminan kesehatan yang datanya dituding nggak valid. Tumpang tindih.
Tumpang tindih dalam memberi jaminan kesehatan bagi orang dhuafa. Di Aceh
Untuk itu, tak ada yang salah dipersalah bila lirikan pahatan bpjs di tas lelaki di samping saya itu membuat tanya nyinyir di otak seorang jurnalis.
Jurnalis yang banyak curiganya.
Jurnalis yang juga sering nelangsa. Nelangsa mencari terkaan keberadaan lelaki yang duduk disampingnya,
Nelangsa untuk mendapat jawaban apakah ia orang pejabat bpjs. Yang di hari itu terbang ke btj untuk meluruskan gaduhnya penghapusan jaminan kesehatan itu.
Gaduh yang membuat banyak orang terusik. Terusik macam-macamlah.
Dari nurani hingga politik,
Yang kemudiannya merembet kemana-mana. Ke dakwa dakwi. Dakwa dakwi di media. Koran, online, Juga medsos yang terkadang berbau hoax,
Gaduh yang menyebabkan Muzakir Manaf, akrab di sapa Mualem, mencopot kadernya di dpra.
Kader yang ketua dewan. Kader membiarkan jaminan kesehatan aceh distabilo dari a-pe-be-de provinisi.
Muzakkir Manaf yang ketua partai mayoriti. Partai yang secara proporsional berhak mendapat kursi ketua de-pe-er.
Kursi ketua de-pe-er yang dicopot karena kisruh jaminan kesehatan untuk digantikan dengan kader lain dengan tugas khusus: mengembalikan jka dalam buku anggaran pemerintah provinsi.
Tugas mengembalikan marwah partainya sebagai penggagas jka, Jka hasil kerja kreatif Irwandi Yusuf ketika masih menjadi bagian dari partai mantan kombatan aceh merdeka itu.
Dari pikiran yang nelangsa itulah saya ingin tahu apakah tatahan bpjs ditas lelaki ada hubungannya dengan jka.
Tatahan nelangsa yang akhirnya menghadirkan sebuah sapa melayang di lima belas menit penerbangan btj.
Sapaan yang hening.
Hening ketika lelaki itu sibuk mencet-mencet layar monitor sembari mengeluarkan headphone dari kantong kursi dan melingkarkannya di kepala.
Sapaan untuk mengalihkan kesibukan acuhnya lewat tanya pendek: “anda ke btj?”
Lelaki itu merespon dengan memindahkan gerak kepala ke kiri. Ke arah saya.
Sedikit cuek.
Dia pantas cuek karena tanya saya mengusiknya.
Tanya yang kemudian dijawabnya secara enteng. Jawab yang saya kejar dengan pertanyaan lain. Yang saya tak ingat apa isi tanya lanjutan itu.
Tanya yang kemudiannya membuat kami menghabiskan waktu penerbangan tiga jam soetta-btj cair dan meleleh hingga berujung ke saling tukar nomor ponsel.
Pertukaran yang menandai kami sudah menjadi sahabat. Sahabat yang saudara.
Sahabat karena ia seorang pejabat dan saya jurnalis. Pejabat dan jurnalis yang kalau “chun” bisa larut membahas banyak topik. Topik apa saja yang biasanya diisi oleh alaram “off the record.”
Alaram yang juga saya bawa turun usai penerbangan itu dengan seorang Syakir.
Syakir yang saya tahu namanya di ujung penerbangan. Nama yang saya genggam di sebuah perjumpaan jalan Tuhan.
Syakir yang menyebut jabatannya dengan rasa enggan.
Jabatan kepala biro pemerintahan di provinsi Aceh.
Syakir yang punya pesona karena humble-nya.
Humble tentang jabatan dan posisinya sebagai insan. Tidak humble yang beraroma “mbong.”
“Mbong” yang sering membuat anak negeri ini lupa tentang buminya berpijak.
Syakir adalah seorang insani yang lolos di ujung maut kala humbalang tsunami menerjang negeri di ujong ini delapan belas tahun silam.
Humbalang yang membuat istri dan anaknya berjirat.
Jirat yang ia zikirkan di pagi hari berikutnya ketika saya datang menyapanya lewat pesan aplikasi whatsapp. Pesan yang meminta jawab apakah istrinya bernama….
Saya sengaja tidak mengisi titik ini karena labelnya privacy. Privacy untuk Syakir karena ini menyangkut haknya.
Hak juga bagi saya. Karena sang istri Syakir yang telah berjirat itu ada dalam trah saya.
Trah yang menyembul dalam ngalor ngidul saya dan Syakir ketika tembok pembatas tentang tombo kerja dan perjalanan hidup kami di langit penerbangan itu jebol.
Jebol tentang asal muasal. Asal Syakir dari nanggroe utara, Nanggroe Kandang yang pernah mencatatkan sejarah kerasnya eleganitas Aceh dalam pekik slogan merdeka.
Juga trah saya dari bumi “ketelatan” yang menjadi bagian dari buku kehidupan Syakir. Buku yang ia pernah mendapat seorang bidadari surga.
Terus terang di hari itu, tiga jam perjalanan itu, saya mendapat isian cas baterey.
Baterey kehidupan.
Bukan seperti baterey mobil listrik yang kini menjadi topik dunia tentang green energy.
Green enerji saya dan Syakir lebih dahsyat dari baterey lithium mobil yang mengangkat Elon Musk menjadi orang terkaya di dunia karena harga sahamnya naik tegak lurus di bursa.
Dahsyatnya isian baterey saya dan seorang Syakir adalah isian kalbu. Isian buncahan memori. Tentang hidup, professi hingga syariat dan kisah.
Kisah tentang Umar ibnu Azis dan Abdurahman bin Auf yang dikaitkan dengan khilafah yang oligarki di era sekarang. Khilafah Umar ibnu Abdul Azis yang memikul sembako di pundaknya di tengah malam.
Sembako yang dibagikan dalam keheningan.
Sembako yang juga dibagikan Abdurahman bin Auf, orang kaya yang tidak memerlukan ranking forbes untuk membuat kota Madinah heboh.
Syakir!
Saya terus terang terpesona dengan isian baterey kita di hari perjumpaan itu. Hari kita bercerita tentang macro dan micronya perjalanan hidup.
Perjalanan hidup insan di belantara belukar yang kini godaannya tak tertanggungkan. Yang sekali colek bisa membuat kita kepentok dan tak tahu jalan pulang.
Tersesat.
Seperti banyak diantara teman, sahabat dan saudara kita yang sedang berada di sana.
Saya sepertinya ingin menulis panjang tentang seorang Syakir.
Tapi memori saya mulai redup ketika kantuk menerjang di malam ini dan membuat saya harus berdamai dengan tulisan ini lewat kata “wassalam.”