Wartawan, resiko dan kematian. Semuanya datang lagi diamuk peluru militer Mesir di Kairo. Empat wartawan, tiga lokal dan seorang asing, kembali menggeletak ketika tentara menghujani tembakan peluru tajam kearah demonstran. Mereka ada di sana. Di barisan terdepan. Dan mereka “gugur.”
Mereka pergi bersama tugas “suci.” Tugas memberitahu dari garda terdepan setiap denyut dari nafas peristiwa. Kapan pun dan dimana pun. Dan hari itu di Kairo. Di Mesir. Negeri yang militernya sangat tidak siap dengan hegemoni sipil. Negeri yang hanya bisa tegak dengan satu keyakinan dari militernya, dengan bedil.
Maut yang menjemput empat jurnalis itu memang menggemaskan. Tapi itulah resiko terburuk dari profesi jurnalistik di kancah kekacauan. Resiko dari “jaron” independensi, kejujuran dan keadilan. Sekali lagi, dimana pun. Dan kapan pun.
Ketika di sebuah sebuah senja menjelang malam, Rabu, 14 Agustus 2013, Ahram Online, menilis ringkas telah gugur seorang wartawan media asing dan tiga wartawan lokal saat bertugas menjalankan tugas “suci”nya, kita sudah siap. Sesiap kamerawan televisi Inggris, Sky News, Mick Deane, 61 tahun, dijemput mau lewat tembakan di tubuhnya di sebuah sudut kamp bentrokan Rabaa Al-Adawiya.
Tidak hanya Deane yang ada di sana. Ada serombongan wartawan lain bersamanya. Dan tim wartawan lain dari televisi yang sama berhasil selamat. Atas kematian Deane inilah kita berduka. Duka yang juga menjadi milik Inggris ketika Perdana Menteri David Cameron dengan segera menyampaikan bela sungkawa.
“Saya sedih mendengar kematian kamerawan Mick Deane, yang tengah meliput kerusuhan Mesir. Pikiran saya tertuju kepada keluarga dan tim dari Sky News,” ucap PM Cameron melalui akun Twitter-nya.
Selain Deane, di lokasi yang sama juga gugur reporter harian Xpress yang berkantor di Dubai, Habiba Ahmed Abd Elaziz. Seorang anak muda dengan gairah mengusung kebebasan dalam karya jurnalistiknya.
Laman Telegraph melansir, Deane tewas terkena timah panas yang dimuntahkan tentara penembak jitu. Saat tertembak, pria yang telah bekerja di Sky News selama 15 tahun itu sedang meliput aksi represif yang dikerahkan tentara militer untuk membubarkan kelompok Ikhwanul Muslimin di lapangan Rabiah al-Adawiya di ibu kota Mesir, Kairo.
Menurut produser Sky News, Sameer Bazbaz, Deane baru saja akan mengangkat kamera ke atas bahunya ketika penembak jitu menembaknya hingga tewas. “Saat itu seorang penembak jitu dari arah lain memuntahkan tembakan dan langsung membunuhnya,” kata Bazbaz.
Hingga kini belum jelas siapa yang bertanggung jawab atas kematiannya. Sementara tim lain yang diterjunkan Sky News untuk meliput aksi kerusuhan di Kairo dilaporkan selamat dan tidak terluka.
Cameron memuji Deane seorang pemberani karena menginginkan datang di garda terdepan lokasi berbahaya seperti di Mesir. Di mata rekan-rekannya, Deane yang mulai bergabung di Sky News tahun 1998 merupakan jurnalis veteran dan sangat berpengalaman.
Bukan kali ini saja Deane maju paling depan untuk meliput peristiwa kerusuhan. “Dia sangat berani seperti seekor singa. Dia juga individu yang hebat. Dia pria humoris, bijak, dan kerap memberikan nasihat berharga,” kata editor urusan luar negeri Sky News, Tim Marshall.
Deane meninggalkan seorang istri dan dua anak yang kini tinggal di Yerusalem.
Korban tewas lainnya merupakan wartawan Mesir yang bekerja untuk media XPRESS, Habiba Ahmed Abd Elaziz. Wanita berusia 26 tahun ini tewas tertembak di wilayah yang sama, yakni alun-alun Rabaa Al-Adwiya di Kairo.
Namun bedanya Abd Elaziz tidak sedang meliput, melain tengah cuti pulang kampung. Dalam akun Facebook-nya, Abd Elaziz mengakui bahwa dirinya merupakan pendukung Morsi dan sedang berada di Rabaa untuk ikut unjuk rasa.
Duka juga meliputi kantor berita Xpress lantaran salah satu reporternya, Elaziz, turut tewas di Mesir. Kematiannya sudah dikonfirmasi pihak keluarga dan dipublikasikan melalui situs berita Gulf News. Elaziz tewas Rabu pagi kemarin.
Menurut kepala editor Gulf News, Abdul Hamid Ahmad, Elaziz sesungguhnya sedang tidak bertugas saat pergi ke Mesir. “Dia tengah mengambil cuti tahunan saat berkunjung ke Mesir. Saat ini semua rekan di Xpress dan Gulf News sangat terkejut,” kata Ahmad kepada Al Arabiya.
Menurut organisasi Komite Perlindungan Jurnalis yang berbasis di New York, kematian Deane sudah dikonfirmasikan, dan mereka akan terus menyelidiki kabar meninggalnya Elaziz.
Rabu kemarin, CPJ menerbitkan sebuah laporan mengenai kebebasan media di Mesir. Dalam laporan itu tertulis taktik represif kembali digunakan negara itu usai kejatuhan mantan Presiden Hosni Mubarak dan Mohammed Morsi.
Koordinator CJP untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara, Sherif Mansour, mengutuk keras kematian jurnalis di Mesir. “Itu merupakan tanggung jawab pemerintah untuk menjamin keselamatan semua warga sipil, bahkan dalam sebuah situasi konflik. Kami berharap pemerintahan sementara akan terus menghormati hak dan kebebasan para jurnalis,” kata dia.
Selain kedua jurnalis itu, wartawan lain juga terluka ketika meliput bentrok Mesir yang menurut Ikhwanul Muslimin menewaskan 2.200 orang. Salah satu jurnalis yang terluka adalah fotografer kantor berita Reuters, Asmaa Waguih, yang tertembak di bagian kaki.
Korban tewas lainnya berasal media setempat Rassd, yang juga merupakan media pro-Islamis. Wartawan foto mereka Mosab El-Shami tewas tertembak saat meliput bentrokan di Rabaa.
Terakhir, wartawan surat kabar Al Akhbar, Ahmed Abdel Gawad tewas terbunuh juga saat meliput bentrokan di Rabaa. Asosiasi Pers Mesir memastikan kematian Gawad, namun tidak diketahui pasti bagaimana dia terbunuh.
Sementara itu, sejumlah wartawan lainnya dilaporkan menjadi korban luka dalam bentrokan yang menewaskan nyaris 280 orang tersebut. Reuters melaporkan bahwa fotografer mereka, Asmaa Waguih terkena tembakan di kaki saat meliput. Kini Waguih tengah menjalani perawatan medis di rumah sakit setempat.
Tidak hanya mengalami luka-luka, sejumlah wartawan lainnya bahkan sempat ditangkap dan mendapat perlakuan kasar dari aparat setempat. Koresponden media AS, Daily Beast, Mike Giglio ditangkap polisi saat meliput karena berada di barisan depan para pendukung Morsi. Dilaporkan bahwa Giglio juga sempat dipukuli oleh aparat setempat. Laptop, dompet dan telepon genggamnya disita oleh aparat setempat.
Menanggapi hal ini, Komite Perlindungan Jurnalis memberikan pernyataan. CPJ ikut berbela sungkawa atas kematian para wartawan dan menyerukan agar otoritas Mesir melindungi dan menjamin hak-hak jurnalis untuk meliput dengan aman.
“Kami menyerukan kepada otoritas Mesir agar memberikan instruksi yang jelas kepada aparat dan militer untuk menghormati hak-hak jurnalis untuk bekerja dengan bebas dan aman saat meliput kejadian di Kairo dan juga di wilayah lainnya,” tegas Wakil Direktur CPJ, Robert Mahoney.
Ditulis Khusus oleh Darmansyah, wartawan senior, untuk menghormati resiko pekerjaan jurnalistik