Pilihan sejarah?
Ya.
Itulah dua kata final yang saya tanamkan di memori.
Dua kata untuk mengakhiri kegalauan dalam memilih “kendaraan” bagi melanjutkan napak tilas ayah saya sebagai organisatoris lokal.
Napak tillas itu yang, hari-hari ini, saya jalani ketika hadir disebuah acara besar di Pondok Pesantren Darussa’adah, Gunung Sugih, Lampung Tengah
Muktamar Nahdlatul Ulama ke tiga puluh empat
Kehadiran untuk mengulang ritual panjang kesejarahaan sang ayah di pelataran organ politik lokal.
Ritual ketika ia membesar sebuah organisasi politik, pada saat itu, bernama Nahdlatul Ulama
Di tingkat akar rumput.
Yang kemudian mengantarkannya ke kursi anggota dewan perwakilan rakyat daerah di pemilihan umum pertama negeri ini.
Pemilihan umum, enam puluh enam tahun lalu.
Tahun 1955.
Itulah pemilihan umum pertama di negeri ini yang rohnya berbau liberal.
Pemilihan umum multi partai yang didesakkan tokoh founding father. Seperti Natsir, Chairul Saleh maupun Syahril.
Desakan untuk mengurung kharisma Soekarno yang kala itu sangat bangga dengan nasionalistisnya.
Itulah jalan peta politik yang bergaung lewat riuhnya partisipasi partai dalam mengejawantahkan sebuah ide bernama demokrasi.
Saya sengaja mengangkat tema ini sebagai catatan kaki guna mengukuhkan tekad melanjutkan kiprah sang ayah. Kiprah agar tidak melenceng dan menjadi dosa sejarah. Terutama bagi saya
Ayah saya adalah seorang tokoh yang mencemplungkan diri secara total di kancah politik lokal.
Ia adalah ketua partai nahdlatul ulama di Aceh Selatan dalam periode yang panjang. Periode lima puluhan hingga enam puluhan
Periode yang dimulai sejak tahun 1952.
Saya sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar langsung apa alasannya memilih Nahdlatul Ulama sebagai kendaraan politiknya. Tidak juga mendapat informasi utuh dari banyak orang kenapa harus Nahdlatul Ulama yang ia pilih.
Yang saya tahu, Nahdlatul Ulama, ditingkat lokal, kala sang ayah memilihnya sebagai kendaraan politiknya, jauh kalah popular di banding partai Persatuan Tarbiyah atau Perti, pada waktu itu.
Masih tidak sengepop Masyumi atau PNI.
Akar Nahdlatul Ulama tidak menghunjam di politik lokal negeri saya, Aceh Selatan, kala itu.
Secara historis Nahdlatul Ulama juga tak punya jejak hebat di sana. Tidak ada pesantren berlabel nahdiyin. Tidak ada santri sarungan yang berhola helo.
Bahkan secara jarak Aceh Selatan berada di ufuk barat dari tempat kelahiran Nahdlatul Ulama, yang di Jombang, Jawa Timur sana.
Tak ada kiyai yang menghimpun basis masa bagi keterpilihan ayah saya sebagai anggota legislatif kala itu. Tak seperti Perti, yang mendulang suara dari banyak pesantrennya
Pesantren besar di Labuhan Haji dengan Syech Mudawali sebagai lokonya. Pesantren yang mendunia.
Lantas?
Ayah saya, seperti diceritakan banyak orang, hanya mengandalkan kharisma dalam mendulang suara. Dan untuk kemudian dipilih dan terpilih.
Karir politik ayah saya ini terus berlanjut hingga Soekarno membuat peta jalan baru demokrasi di negeri ini dengan sebuah nama, yang dikutuk sebagai dosa sejarah, kemudiannya. Demokrasi terpimpin.
Kiprah sang ayah di peta politik tak pernah “membusuk” selama demokrasi terpimpin.
Ia mendapat banyak posisi di barisan elit pimpinan daerah. Ia menjadi salah satu unsur pimpinan daerah sebagai “pantjatunggal” mewakili Front Nasional. Sebuah front yang dititahkan Soekarno sebagai tempat berhimpun unsur pimpinan partai.
Front Nasional eksis usai pembubaran konstituante atau dpr versi pemilu 1955.
Kiprahnya politik ayah saya terus berlanjut hingga ia mengakhirinya sebaga asisten wedana. Atau kini dinamai camat. Dan ia tercatat sebagai camat non karir. Camat yang dicomot dari orang sipil.
Bukan camat berjenjang seperti yang dilewati oleh aparat sipil negara.
Kiprah ayah saya di Nahdlatul Ulama memang sangat kental. Bahkan sebuah nama organ keputrian organisasi masa besar itu ia pahatkan untuk nama anaknya.
Nama kakak saya, Nur-Fatayat.
Nur nama depannya dan Fatayat sebagai basis panggilannya
Nama ini merupakan simbol dari ke-Nahdlatul Ulama”an-nya.
Nama yang hadir ketika ia berada di atas kapal koniklyke paketvaart maatschapay atau kpm sepulang dari muktamar Nahdlatul Ulama di Medan, 1956.
Nama yang ia bawa pulang ke Tapaktuan untuk dipersembahkan bagi keluarganya karena tak bisa mendampingi sang istri, ibu saya, saat melahirkan karena sedang mengikuti muktamar partainya.
Dari jejak sejarah inilah saya kembali menapak-tilasi perjalanan ke muktamar Nahdlatul Ulama ke Lampung bersama kakak saya yang punya keterikatan sejarah dengan ormas ini, Nur Fatayat.
Keterikatan emosional ini juga lah, kelak, akan saya pilih, jika benar-benar berenang ke jalur politik. Pilihan keterikatan. Pilihan yang tak banyak cabangnya.
Semula ada gumam pilihan di bulir memori saya
Ada dua percabangan pilihan itu. Masuk ke partai yang murni ke”nahdlatul ulama”nya atau jejak kesejarahan.
Keduanya itu tentu semua orang tahu.
Pertama partai kesatuan bangsa atau PKB. Atau pun partai persatuan pembangunan. PPP- P3.
Saya harus memilih secara rasional.
Kalau PKB tentu sangat pekat nuansanya emosional.
Namun saya harus rasional.
Secara terus terang PKB ini tidak memiliki akar kuat ditataran politik Aceh, atau pun Aceh bagian selatan. Ia sulit untuk jadi “jualan” ke basis massa.
Sehingga memerlukan penerjemahan yang panjang dan testimoni nalar berputar-putar.
Semuanya ini bisa disimpulkan dalam sebuah kata. Sulit.
Berbeda, jika saya memilih P3. Kalau pilihan ini final saya tak perlu memberi terjemahan rumit.
Semuanya sudah benderang. Sebab P3 ini pernah menguasai tataran politik legislatif dari tingkat provinsi hingga kabupaten.
Dan pilihan P3 ini tidak menyebabkan saya jadi pendosa. Karena P3 ini juga memiliki akar ke “Nahdlatul Ulama”an yang kuat. P3 adalah partai hasil fusi tahun 1973.
Fusi ketika politik Soeharto mengelompokkan kepartaian ke tiga kursi. P3 merupakan fusi semua partai berbasis Islam. NU, Parmusi, Perti dan lainnya.
Kalau saya memilih partai ini tidak dan hambatan. Karena saya pulang ke rumah sendiri.
Memang, usai kota pandora undang kepartaian di buka, P3 tergradasi posisinya baik secara nasional maupun regional dan lokal. Dampaknya, jumlah kursi berkurang.
Tapi saya diingatkan, eksistensi P3 tak pernah mati. Ia tetap berkibar di kancah perpolitikan kita.
Salam….
Penulis : Jafnimar Jakfar
Editing : Darmansyah