Cukup satu kata untuk meng”iya”kan minat “ngopi” warga Banda Aceh. “gila”
Kata gila dengan huruf kecil dan dalam tanda dua petik.
Kata gila yang saya gelengkan dengan nelangsa ketika ajakan ngumpul yang tak bisa “ta peudaleh.”
Tak bisa dicarikan alasannya.
Ajakan dari kawan masa kecil dan remaja untuk berselancar ke sebuah era masa…. .
Masa di “sudut sekolah.” Seperti syair hitnya Chrisye kisah kasih di sekolah…. “Tempatnya yang kau janjikan” dan disini tak ada bait “berdusta dengan” istri… eee.. yang betulnya dengan “guru.”
Eeehhhh..ehh..
Untuk buhul janji ini kami sepakat memilih keude kopi tanpa bintang. Keude pengunjungnya bisa berjubel. Murah meriah dalam balutan kopi saring.
Dari “kasta” terendah penikmat kopi.
Bukan keude solong yang berlabel robusta standar dan arabica gayo mountain coffe.
Pilihan keude kupi tanpa bintang ini datang dari saya. Ada misi terselubung yang ingin saya tumpangkan di temu gaek-gaek ini.
Misi mencari kunci jawaban tentang eksisnya keude kupi di kota ini ketika melewati hunusan pedang pandemi. Bahkan bisa beranak pinak. Bercucu cicit.
Jawaban dari komunitas yang mengajaknya saya, terhadap ide ini, “sih oke.”
Kata sih oke ini mengendapkan banyak huruf “w” dan kata “how” di kepala saya. Huruf dan kata untuk memulai missi report investigation terhadap pertumbuhan keude kupi bak gelombang tsunami di tanah “meutuah” ini.
Ide ini sebenarnya nggak murni-murni amat lahir dari memori saya. Ia mampat setelah saya membaca sebuah tulisan di media online tentang gerai kopi nun jauh disana.
Gerai kopi sukses. Yang dilabeli dengan “kopi kenangan.”
Rasanya memang nendang dengan omset em..em-an…. Yang satu cangkirnya murah ukuran kantong orang sana. Delapan belas ribu rupiah. Bukan empat puluh ribu rupiah dari standar bakunya.
Ide inilah yang muncrat ketika ajakan ber”kisah kasih” teman-teman itu datang. Ide untuk membuat “feasiblity study” dari sisi harga dan dampaknya dari sisi ekonomi mikro
Lantas berapa perbedaan harganya?
Harga yang bagaikan rupiah di sanering.
Di gunting istilah moneternya.
Seperempatnya dibanding harga kopi nendang.
Nendangnya kopi saring kasta rendah ini juga nggak kalah. Kopi lima ribu rupiah secangkir plus timpan kenyal seribu rupiah sekali kopek.
Kami memang nggak ke keude solong, cut nun, atau pun cut zen yang sudah ber-arabika sepuluh ribu rupiah.
Keude kopi kasta rendah ini, bukan kasta paria lho, yang melata itu. Dan tak kalah tren.
Kopi kasta rendah ini masih dalam satu komunitas dengan solong. Nama popnya kopi saring.
Seduhan barista adukannya berada dalam buncahan kain.
Saringan yang dipermainkan oleh barista bagaikan tarian senam awe.
Bukan seperti adukan “kopi kenangan” yang memakai mesin coffee maker automatic yang bergelegar
Khasiatnya?
Tak kalah hebat. Juga tak kalah untuk diiklankan.
Filosifinya, “mengonsumsi kopi bisa meningkatkan kreativitas. dan sumber inspirasi.”