Polda metro jaya masih di Sudirman. Masih disisian utara tanah abang. Masih di sisian selatannya senayan. Masih belum berubah letaknya ketika saya datang di kamis pagi itu.
Kamis pagi yang belum memuai embun di memori saya. Embun yang mencair dan mengembalikan ingatan saya disebuah tahun, dulunya,,,,
Dulu sekaliiii.. Bukan sekali dulu…Ketika di sebuah siang bertemu dengan sang kadapolnya. Kadapol yang kini bersalin sebutan menjadi kapolda. Di Sudirman.
Sebuah kawasan yang kemudiannya menjadi poros utama Jakarta.
Kadapol yang saat saya ketemu sedang berada di ujung masa jabatannya. Kadapol yang banyak orang Jakarta bersimpati karena ketekunan, kesantunan dan jalan lurus yang dipilihnya sebagai abdi rakyat.
Sikap itu lah yang menjadi alasan era kekuasaan menabalkannya menjadi kapolri menggantikan seniornya, mohamad hasan. Yang di kemudian tahun-tahun berikutnya digantikan awaluddin jamin.
Sang kadapol yang saya datangi itu adalah Widodo Budidarmo anak kelahiran Surabaya. Yang akar trahnya saya tidak tahu muasalnya.
Yang saya tahu, kala itu, sang kadapol berpangkat mayor jenderal. Pangkat ketika aparatur kepolisian masih menjadi bagian dari abri. Yang kini kepangkatan itu berubah menjadi inspektur jenderal.
Inspektur yang kembali menjadi milik polisi setelah raibnya mayor yang sangat tentara. Sebelum abri yang tni-nya direstrukrisasi. Yang kemudiannya kepolisian berdiri sendiri
Dan, ketika saya datang sang kadapol sedang berkemas untuk hengkang ke posisi orang nomor satu di polri. Saya masih ingat bagaimana ia menjamu seorang wartawan ecek-ecek dengan elegan.
Ya…, saya datang ke sana memang sebagai seorang reporter muda sebuah media hebat.
Media yang memberi tugas wawancara yang angle-nya keberhasilan sang kadapol menggolkan sebuah institusi lintas kerja lalu lintas bernama: samsat.
Samsat-sistim administrasi satu atap- untuk urusan masalah kelalu-lintasan.
Tidak hanya samsat, tapi Widodo yang kami tulis di media itu secara keroyokan dengan label “laporan khusus” adalah seorang polisi sejati.
Polisi yang berjalan lurus. Jalan lurus di dalam dan di luar. Bukan jalan lurus sebuah toll ring dalam dan ring luar yang arahnya bisa berbeda.
Jalan lurus ke dalam yang ditempuh Widodo, ketika menyerahkan kasus anaknya yang masih sekolah menengah pertama, tono, ke jalur hukum akibat penembakan sopir pribadinya.
Penembakan yang tidak sengaja. Penembakan karena kelalaian sang kadapol sendiri mengamankan senjata miliknya. Yang menyebabkan sang kadapol minta mundur dari jabatannya.
Tidak hanya jalan kedalam. Ia juga menapaki jalan lurus keluar ketika menolak sogokan di awal karirnya. Hingga ke ujung pengabdiannya.
Dan, lantas saya merenung kok kepolisian sekarang heboh dengan perang bintang, Heboh polisi tembak polisi. Heboh dengan sambo, kanjuruhan, backing judi dan upeti tambang.
Entahlah… Saya nggak ngeh dengan kehebohan ini. Saya hanya tahu Widodo seorang polisi sejati. Kapolri non muslim pertama yang kemudian diulang oleh Listyo Sigit. Kapolri sekarang.
Maafkan… akar serabut otak saya kemasukan halu. Halu ketika memasuki markas polda di hari kamis itu. Halu ketika masuk ke gedung parkir yang tidak menyisakan satu tempat pun bagi kenderaan saya.
Halu juga ketika saya melingkar di putaran polda mencari sejumput ruang. Yang menyebabkan terjadi pergeseran sisi duduk perkara kedatangan saya ke mapolda.
Pergeseran posisi. Posisi kedatangan. Yang dulunya saya datang sebagai strong journalist. Dan kini takziah dalam posisi old journalist. Jurnalis tua yang masih menggenggam sejumput kata: never die.
Ya… saya datang memang bukan sebagai jurnalis. Walau pun masih menenteng tas laptop sebagai symbol never die.
Datang di bakda dhuha sebagai tamu. Tamu di undang. Di undang lewat percakapan dan pertukaran sapa di whats app. Yang awal sapanya terjadi di sebuah perjumpaan tak sengaja pada perhelatan komunitas.
Perhelatan komunitas yang saya datang “dipaksa” Di Gondangdia. Perwakilan provinsi Aceh. Yang saya ingat benar tanggalnya dan harinya. Delapan belas September. Minggu pagi.
Yang disana saya kemudiannya ber hahaha…dan hihihi….dengan dunsanak baik yang gaek maupun yang muda. Dan tak ada yang sebaya.
Banyak sentuhan sapa kala itu. Salah satu sentuhan sapa itulah yang menyebabkan saya takziah ke mapolda metro jaya.
Mapolda yang pernah menjadi tempat saya singgah. Yang dari dulu hingga sekarang masih menjadi “pabrik” mesiu kata-kata dari komunitas profesi hukum.
Mesiu oral dan tulisan yang mengisi halaman media mainstream, dulunya.
Dan media sosial, sekarang. Media digital yang siapa pun bisa membuatnya.
Terima kasih Rezeki Revi Respati…..terima kasih sapa yang yang menyebabkan takziah lagi kepersinggahan lama yang membuncah memori saya hingga menjadi bagian dari pembuka tulisan ini.
Pembuka yang panjang. Yang ejekannya dikalangan komunitas journalis saya dinamai dengan preambul “semok.”
Terima kasih juga terhadap sapa yang awalnya sangat sepele dipertemuan komunitas itu yang membuat handphone saya berisi sebuah nomor dan baris pesan whats app.
Padahal saya sempat menyepelekannya. Sapa yang tak pernah saya bayangkan akan terwujud dalam bentuk pertemuan di sebuah ruang dari belahan rumah besar bernama ditreskrim. Ditreskrim mapolda prestise.
Ditreskrim yang kantinnya saja dihilir-mudiki oleh hiruk pikuk intonasi suara berbagai dialek. Kantin yang heterogenitas yang berfungsi sebagai ruang tunggu.
Tempat saya ikut sebagai jamaahnya di pagi itu dengan roti cane dan kupi saring serta mie aceh. Tempat orang lain juga menunggu dengan cilok, pecal pare, bakso serta batagor.
Dan entah apa lainnya. Terserah pesanan. Asal saja pesanannya tidak kuah “belangong.”
Direktorat reserse dan kriminil memang sebuah rumah besar. Rumah besar yang menyesatkan awal kedatangan saya menemukan tempat parkir.
Tempat parkir yang harus di order lewat baris kalimat di pesan whats app untuk cess..nya.
Ya.. sudah. Saya mengekang “mbong” untuk berdamai agar tak menyemburkan umpatan atas kasus tempat parkir. Tempat parkir yang menyebabkan terulurnya waktu hingga setengah jam.
Tempat parkir juga yang memberi pesona terhadap rumah besar pertemuan saya dengan anak muda disalah satu ruang bangunan berlorong banyak itu.
Ruang tempat seorang anak muda yang saya panggil Respati. Yang kemudiannya saya baru tahu ada dua kata mendahului di pangkal namanya Rezeki Revi. Yang kemudiannya juga saya baru tahu trahnya.
Trah “ketelatan.” Trah yang selalu saya dengungkan bersama para dunsanak untuk penyejuk hati karena eksistensi perkaumannya sering dinomorduakan nun di nanggroe tanah indatu.
Penyejuk hati juga ketika perkauman aceh ketelatan mengenyahkan ploretariatnya untuk menjajal kursi elitis di banyak tempat.
Mengenyahkan klas status sosial rendahan yang sering di deskripsikan sebagai mereka yang terpinggirkan dengan kata “aneuk jamee.”
“Memang kita “aneuk jamee” Res,” saya berbisik ketika melangkah masuk sebuah kamar yang lorongnya bak labirin. Desah “aneuk jamee” juga yang mengintimi percakapan kami.
Mengintimi ruang kanit harda tempat kami barcas cis cus….Ruang yang berlatar papan tulis yang saya kerling ada kedip perkara yang menyala di sana. Yang saya nggak tahu apakah ada cctv yang menyalin percakapan dan kehadiran saya dalam percakapan yang sangat pivacy itu. Entahlah…
Percakapan tentang bentangan awal karir seorang Respati yang saya timpali dengan terawang. “Ada sependar cahaya di ujung labirin ini untuk karir seorang anak ketelatan.”
Labirin polda metro. Yang nggak semua orang bisa memasukinya. Yang saya nggak tahu bagaimana dia masuk dan saya menggumamkan satu doa dalam dua: “jangan tersesat”
Doa ini sengaja saya gumamkan karena institusi tempat ia mengayunkan langkah banyak likunya. Dari yang rata hingga pendakian dan sampai ke yang terjal. Banyak orang tersungkur.
Yang lainnya tersesat hingga tak tahu jalan pulang.