Menjadi ayah…
Itulah yang terjadi. Selasa pagi. Tanggal dua puluh enam April. Tahun dua ribu dua puluh dua.
Atau, bersamaan dengan dua puluh empat ramadhan.
Pasnya, pukul sepuluh pagi waktu indonesia barat.
Anak saya Muhammad Fikri menjadi ayah.
Prematur.
Mendahului satu setengan bulan dari prediksi dokternya kalau melahirkan normal.
Pasnya tiga puluh empat pekan, Jika melahirkan normal butuh empat puluh pekan untuk seorang bayi lelaki.
Prematur lewat operasi cesar yang dijalani istrinya. Laras Hening Basuki. Di rumah sakit Brawijaya, Tebet Barat, Jalan Dr Sahardjo, Jakarta Timur.
Cesar yang dijalani Laras atas keputusan dokternya. Anisa Fathoni. Akrab disapa Nisa. Spesialis anak dan kandungan
“Harus ada tindakan segera,” kata Nisa ketika mendatangi keluarga, dua hari sebelumnya cesar itu dilakukan
Nisa memang harus mengambil keputusan,
Bertindak.
Alasannya,”kita harus memisahkan si anak dari ibunya”
Memisahkan anak dari ibunya?
Itu pertanyaan yang mengusik saya begitu Nisa memberi tahu kami di malam itu.
Saya terdiam. Nelangsa. Tak mengajukan pertanyaan.
Tapi istri saya menggerakkan sikunya ke rusuk saya sebagai isyarat untuk bertanya.
Ia tahu kebiasaan saya yang detil. Kebiasaan seorang jurnalis, walau pun sudah gaek, tapi masih tetap cerdas. Wkwkwk…
Tapi kala itu, di malam itu, saya galau. Heng.
Saat siku istri menghungjam rusuk kanan sebenarnya saya reflek. Berusaha menyusun tanya.
Tanya khas wartawan. Tanya dari tutur kata dan ekspresi lawan bicara
Ternyata dokter Nisa tak memberi interfal. Ia lebih cepat memberi reaksi. Menyergap
Sebelum saya menghembuskan kalimat tanya.
Langsung. Dan telak.
“Ya. Harus dipisahkan. Ini tindakan terbaik. Untuk ibu dan anak.”
Saya melengos ke istri pertanda tak perlu ada tanya lanjutan. Istri saya mafhum dan mengangguk sembari mendesah serta tertunduk.
Saya tahu tindakan ini diambil Nisa lewat diagnosis. Diagnosis perfect. Sempurna. Lewat scanner dan rontgen atau pemeriksaan sejenis.
Perfectnya ketika ia menjelaskan calon bayi dikandungan Laras sudah sempurna. Sempurna fisik dan organnya. Sempurna juga kesehatannya.
Tapi ada yang nyangkut dari kondisi ibu si calon bayi.
Ada cairan di paru-paru Laras.
“Jantungnya juga mengalami pembengkakan,” kata Nisa dengan nada suara ditenangkan.
Saya tahu gejala dari cairan di paru-paru dan pembengkakan jantung yang menjadikan Laras mengggil di dua malam terakhir. Dua malam sebelum cesar itu.
Bagi wanita hamil gejala ini bisa menyebabkan bayi dikandungannya terinfeksi.
Lantas kenapa Laras bisa menggigil?
Gejala ini adalah dampak dari demam berdarah -de be de- yang dialami Laras. Berakibat trombositnya terjun bebas. Di angka dua belas ribu.
Posisi angka alaram. Alarm untuk Laras. Apalagi untuk seorang wanita hamil.
Alaram untuk siapa saja yang terserang de-be-de.
Tidak terkecuali bagi Abdullah Mahmud Hendropriyono, jenderal intelejen asal Yogyakarta, yang juga mengalami de-be-de bersamaan dengan Laras.
Hendropriyono yang dirawat di rumah sakit pusat angkatan darat yang sempat berada di fase kritis.
Alaram juga untuk ibunya Laras dua pekan sebelumnya. Ketika trombositnya lebih rendah lagi. Lima ribu.
Kan menurut texbook kedokteran trombosit normal seseorang berada direntang angka seratus lima puluh hingga empat ratus.
Laras sendiri, dua hari sebelum cesar, sempat mengalami kenaikan trombosit. Lima belas ribu-sembilan belas ribu dan terus naik.
Hingga ngadat di angka dua puluh sembilan ribu. Masih rendah. Masih jauh dari angka untuk sebuah tindakan cesar.
Padahal, menurut ilmu kedokteran, usai trombosit turun ke angka terendah ia akan naik dan naik serta naik ke posisi semula. Ke rentang posisi normal
Tapi trombosit Laras mengalami kemandegan. Dan dokter Nisa bersama timnya, di sana juga ada dokter penyakit dalam, Alvin Nursalim, mengambil keputusan baru.
Transfusi trombosit.
Dan inilah yang dilakukan.
Pertama lima kantong. Naik sampai enam puluh ribu. Belum cukup. Harus tambah. Lima kantong lagi.
Untuk sementara aman. Posisi trombosit Laras sudah diangka sembilan puluh ribu dan terus naik tanpa tranfusi.
Beres?
Beres untuk melangkah ke tindakan cesar.
Di pagi itu menjelang cesar, sebelum Laras di giring ke ruang operasi, di lantai tujuh Brawijaya Hospital, kami semua cemas.
Kecemasan yang normal. Kecemasan karena kami keluarga inti diminta masuk ruangan intensive care unit. Kecemasam sebelum Laras masuk ruang operasi.
Saya tahu kenapa kecemasan itu datang. Kenapa panggilan itu menjadi penting..
Panggilan dan pertemuan itu berada di area abu-abu. Abu-abu karena ada dua orang yang harus diselamatkan. Sang ibu dan bayinya.
Dokter Nisa memang tak memberi tahu pilihan terhadap tindakan medis itu, “Doakan dua-duanya bisa selamat.”
Saya memang mengharapkan itu.
Harapan agar sang dokter tidak mengatakan pilihan. Ibu atau anaknya yang harus diselamatkan.
Saya tahu sang dokter sangat musykil mengucapkan itu. Dokter manapun. Tidak terkecuali dengan Nisa. Saya tahu ia seorang prefesional.
Profesi kedokteran kan diikat oleh etika. Etika yang menjadi harga mati.
Harga mati juga yang membawa seorang dokter hebat sekelas Terawan dipecat seumur hidup dari ikatan dokter indonesia karena mengabai etika.
Saya memang tak banyak tahu tentang apa saja seluruh etika kedokteran beserta tafsirnya. Tapi saya tahu sedikit tentang etika di ranah profesi kedokteran
Ini saya da[atkan ketika mengawangi rubrik olahraga dan kesehatan di sebuah media hebat, dulunya.
Media rujukan dengan jargon “enak dibaca dan perlu.”
Bahkan soal etik ini saya juga pernah diikatnya. Diikat kodek etik jurnalistik. Kode etik untuk sebuah berita dan pemberitaan yang kini banyak di bancak oleh oleh media menstream.
Kalau media sosial Anda sendirilah yang tahu jawabannya.
Di pagi itu, tepatnya, ketika dentingan angka sembilani waktu indonesia barat, usai keluar dari ruang intensive care unit setelah mengusap wajah Laras, hanya komat kamit doa yang bisa saya lafadzkan.
Lafadz doa untuk Laras menantu saya satu-satunya. Lafadz untuk calon bayinya. Calon bayi yang kalai ada izin di atas akan menjadi cucu pertama saya.
Cucu pertama karena sang calon ayahnya-suami Laras- Fikri, adalah anak kami satu-satunya. Anak tunggal saya dan ibunya Herwani.
Kami semua berdoa. Berdoa dalam cemas usai Laras digiring ke ruang operasi untuk tindakan cecar kelahiran bayi-nya.
Laras yang pasrah ketika roda ranjangnya berputar melewati tatapan kami. Tatapan yang dibalasnya dengan lambaian tangan ringan sebagai pengingat ia akan menjalani pertaruhan.
Pertaruhan!
Pertaruhan untuk sebuah perjuangan.
Perjuangan yang didampingi oleh Fikri.
Bukan perjudian, Yang sering dikaitkan dengan nasib,
Pertaruhan untuk kehadiran seorang bayi yang kelak jika lahir ditempelkan kata satu kata : prematur.
Kami semua menyadari kosa kata prematur itu,
Prematur untuk seorang bayi yang belum cukup bulan dan hari. Karena si bayi lahir di usia kehamilan tiga puluh empat minggu. Delapan bulan lebih.
Satu jam kami larut dalam gundahnya doa di penantian cesar Laras. Sebuah penantian singkat dari hening yang panjang. Heningnya menunggu jawaban.
Jawaban gembira atau jawaban duka. Jawaban ibunya selamat dan bayinya selamat. Atau jawaban yang entahlah….
Dan ketika dokter Nisa dengan langkah setengah berlari memintas ruang intensive care unit menghampiri kami yang tercenung di ruang tunggu ada pause yang membuat suasana larut.
Kami semua, di sana ada istri saya, mamanya, ada tantenya Fikri, Mei, ada tante dan adik Laras dan semuanya, menatap dokter Nisa yang mengambil sofa kosong.
Ia tergagap. Sedikit heng. Heng yang menyentak dari kalimat tak teratur dari ucapannya.
“Selamat… selamat… berhasil. Laras dan babynya perempuan….,” kata Nisa.
Kami semua menatapnya. Membuatnya gelagapan. “bukan …babynya lelaki.”
Saya tahu. Gelagapannya Anisa itu karena perasaannya yang campur aduk. Antara cemas sebelum cesar dan gembira usai cesar.
Bauran perasaan perrasaan yang normal. Walaupun ia seorang dokter yang telah banyak menangani cesar. Tapi, mungkin, belum terbiasa dengan cesar plus de-be-de.
Sebuah bauran buram dan terang. Yang bisa juga abu-abu sebelum menjadi benderang.
Saya tak ingin mengganggu Nisa dengan gelagapannya itu. Saya hanya menyapu seluruh wajah yang di sofa penantian. Wajah yang hampir serempak menghamburkan ucapan gembira.
Ucapan yang kemudian terputus ketika bayinya Fikri-Laras berubah panggilan menjadi anak Fikri-Laras.
Anak yang sepuluh menit kemudian melintas dari ruang tunggu ke ruang isolasi yang menyebabkan kami berlarian mengejar suster yang mendorongnya.
Terima Kasih Allah. Alhamdulillah untuk karunia Mu.