Apakah Anda termasuk salah seorang pecandu permainan game?
Kalau jawaban ia, berarti Anda salah seorang yang menderita gangguan jiwa.
Penderita gangguan jiwa?
Ya.. Sebab WHO bakal menetapkan kecanduan bermain game sebagai gangguan mental yang harus ditangani secara serius.
Berdasarkan dokumen klasifikasi penyakit internasional kesebelas yang dikeluarkan WHO, gangguan ini dinamai gaming disorder.
Gaming disorder oleh WHO digambarkan sebagai perilaku bermain game dengan gigih dan berulang, sehingga menyampingkan kepentingan hidup lainnya.
Adapun gejalanya bisa ditandai dengan tiga perilaku.
Pertama dan terutama, pengidap gangguan gaming disorder akan bermain game secara berlebihan, baik dari segi frekuensi, durasi, maupun intensitas.
Gejala kedua, pengidap gaming disorder juga lebih memprioritaskan bermain game.
Hingga akhirnya muncul gejala ketiga, yakni tetap melanjutkan permainan meskipun pengidap sadar jika gejala atau dampak negatif pada tubuh mulai muncul.
Berdasarkan arahan dari WHO, penyembuhan gangguan gaming disorder harus dilakukan selama kurang lebih dua belas bulan melalui arahan psikiater.
Namun, jika gangguan yang terjadi sudah sangat parah, pengobatan bisa saja berlangsung lebih lama.
Penetapan gaming disorder sebagai salah satu gangguan mental disambut baik oleh seorang dokter spesialis kecanduan teknologi dari Rumah sakit Nightgale di London, Richard Graham.
Menurutnya, perilaku bermain game secara berlebihan memang sudah seharusnya mendapatkan penanganan medis yang serius.
Graham menambahkan bahwa selama ini ia telah melihat ada 50 kasus kecanduan digital setiap tahunnya.
Kriteria tersebut didasarkan pada pengaruh kecanduan yang berdampak pada kebutuhan sehari hari seperti tidur, makan, sekolah, dan bersosialisasi.
Sebetulnya, sejumlah negara telah bergulat dengan masalah ini sejak lama. Korea Selatan misalnya yang menetapkan akses game online oleh anak anak berusia bawah enam belas tahun di antara tengah malam hingga pukul enam pagi sebagai tindakan yang ilegal.
Demikian pula di Jepang. Pemerintah setempat akan mengeluarkan peringatan pada para pemain jika telah bermain game melebihi batas waktu yang telah ditentukan perbulannya.
Sedangkan di China, raksasa Internet tenecent membatasi jam pada pemainan yang populer di kalangan anak-anak.
Meski WHO telah menetapkan kecanduan bermain game sebagai salah satu gangguan mental, Killian Mullan, salah satu periset dari Universitas Oxford memiliki pendapat yang lain.
Berdasarkan riset yang dilakukannya terhadap anak dan remaja dalam rentang umur delapan hingga delapan belas tahun,
Ia menemukan bahwa tidak ada masalah pada perilaku kecanduan game. Mullan berpendapat bahwa sebagian objek pecandu game pada umumnya berhasil menyinergikan hiburan digital dan kehidupan sehari-hari.
“Orang mengira bahwa anak-anak kecanduan teknologi dan berada di depan layar selama 24 jam telah mengesampingkan kehidupan mereka. Padahal tidak demikian nyatanya,” ujar Mullan
Pandangan Mullan didukung oleh pengkategorian permainan game sebagai cabang dari e-sport. Sama seperti halnya olahraga pada umumnya, para atlet e-Sport diharuskan memiliki kondisi fisik yang bugar serta nutrisi yang cukup.
Sebab, bermain game ternyata menguras stamina karena pemain harus mencurahkan pikirannya untuk menjalankan strategi bermain.
Meski begitu, tetap saja bermain game secara berlebihan tanpa diiringi dengan aktivitas fisik dan sosial bukanlah hal yang baik.
Oleh sebab itu, tetap perlu ada kontrol dari pihak medis ketika kegiatan ini sudah mengganggu aktivitas rutin harian.