Apakah menguap itu “penyakit” menular.
Jawabannya datang dari laman “liviesciene” dan “fatherly,” yang menuliskan kata “iya.”
Ya, juga ketika seseorang sedang menguap, biasanya tanpa disadari orang yang berada disampingnya cenderung akan menguap walaupun sebelumnya tidak merasa ngantuk.
Sebenarnya, apa yang mendorong perilaku tersebut sehingga seseorang bisa ikut ‘tertular’ menguap?
Sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Current Biology pada pekan lalu mengungkap bagaimana fenomena itu bisa terjadi.
Peneliti menyebut jika perilaku tersebut muncul karena adanya aktivitas di bagian otak yang bertanggung jawab atas fungsi motorik.
Untuk mempelajari apa yang terjadi di otak seseorang saat melihat orang lain menguap, para peneliti melakukan pengamatan terhadap tiga puluh enam orang dewasa.
Mereka diminta untuk menonton video orang lain yang sedang menguap. Dengan menggunakan stimuli magnetik transkranial atau tms, para peneliti lalu mengukur aktivitas otak partisipan selama percobaan.
Dalam satu percobaan, orang-orang diminta untuk mencoba dan menahan menguap saat melihat video orang yang menguap.
Pada percobaan lain, para peserta diberi instruksi yang sama, tetapi peneliti juga menambahkan arus listrik ke kulit kepala para partisipasan tersebut.
Arus ini dimaksudkan untuk merangsang korteks motorik yang diperkirakan bisa mengendalikan menguap.
Selama eksperimen, peserta juga diminta untuk memperkirakan keinginan mereka untuk menguap.
Hasilnya, peneliti menemukan jika kecenderungan seseorang untuk meniru menguap ini berkaitan dengan tingkat aktivitas otak di korteks motor seseorang.
Semakin banyak aktivitas di daerah tersebut, maka kecenderungan seseorang untuk menguap semakin meningkat.
Hal ini terbukti ketika arus listrik dialirkan ke daerah tersebut. Dorongan untuk menguap turut meningkat.
Selanjutnya, para peneliti juga menemukan bahwa hanya sebagian yang sukses menolak keinginan untuk menguap. Saat partisipan diminta untuk menolak menguap, dorongan untuk menguap justru naik.
“Dengan kata lain dorongan untuk menguap meningkat seiring dengan keinginan diri sendiri untuk mencoba menghentikan aktivitas menguap itu,” kata Georgina Jackson, profesor neuropsikologi kognitif di Universitas of Nottingham Inggris yang terlibat dalam penelitian ini seperti dikutip Live Science.
Peneliti juga menyebut jika perilaku menguap yang menular itu merupakan jenis echophenomenon.
Dengan kata lain, itu adalah perilaku meniru orang lain secara otomatis.
Echophenomena sendiri ada bermacam jenisnya, termasuk di antaranya adalah echolalia atau meniru kata-kata seseorang dan echopraxia atau meniru tindakan seseorang.
Temuan lain juga menunjukkan jika menguap yang menular ternyata bukan hanya terjadi pada manusia. Hewan lain termasuk anjing dan simpanse juga rentan mengalami fenomena tersebut.
Namun begitu apakah Anda tahu bahwa ternyata hanya manusia dan sebagian kecil hewan cerdas yang bisa ketularan menguap?
“Menguap barangkali merupakan perilaku manusia yang kurang banyak diketahui,” ujar Robert Provine, seorang profesor psikologi dan ilmu saraf, yang meneliti mengapa menguap bisa menular.
“Meskipun sudah menjadi bagian umum dari perilaku manusia dan hewan, kita masih belum yakin apa yang menyebabkan kita menguap.”
Teori menyebutkan bahwa menguap adalah cara untuk menghirup oksigen ke dalam aliran darah saat kita lelah.
Teori lain mengatakan, menguap berfungsi sebagai mekanisme untuk mendinginkan otak. Namun bagaimana menguap bisa menular masih tetap menjadi misteri.
Pertanyaan soal mengapa anggota keluarga, teman, bahkan binatang peliharaan bisa tertular saat kita menguap sudah menjadi teka-teki sejak jaman Aristoteles.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya kaitan antara ketularan menguap dengan kedekatan hubungan antara orang yang pertama menguap dengan yang ditularinya.
Sebuah study lain menyebutkan bahwa perempuan, yang memiliki rasa empati tinggi, lebih mudah ketularan menguap dibanding laki-laki.
Dan teori paling dominan soal ketularan menguap menyebutkan bahwa fenomena itu terjadi akibat adanya empati dan hubungan sosial yang dekat. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dan mengapa?
Nah, mendukung hipotesa bahwa menguap adalah perilaku sosial, berdasarkan study itu para peneliti mendapati bahwa penyandang autisme umumnya tidak ketularan menguap, begitu juga dengan psikopat.
Selain itu, anak-anak juga tidak terbawa menguap hingga umur empat tahun, usia di mana mereka mulai berkembang secara sosial.
Selain itu, simpanse, primata yang memiliki struktur sosial kompleks juga mengalami fenomena ketularan menguap.
Sedangkan anjing peliharaan bisa ketularan menguap dari manusia, namun bukan dari sesama anjing, seakan mereka tahu siapa teman terdekatnya.
Apakah itu berarti kebosanan, kelelahan, atau hal-hal lain yang membuat stres menyebabkan orang menguap sekaligus membuat lebih dekat satu sama lain?
Bisa jadi demikian, walau kesimpulan ini masih dipertanyakan.
Yang jelas, kebanyakan peneliti sepakat soal kecenderungan seseorang bisa ketularan menguap, dan salah satu penyebabnya adalah rasa empati dan adanya ikatan.
Dan bila ketularan menguap bisa membuat hubungan keluarga menjadi lebih dekat, maka fenomena itu menjadi sesuatu yang berguna dan ada alasannya.
Karenanya berbahagialah bila saat Anda menguap, anggota keluarga yang lain ikut ketularan. Mungkin itu pertanda adanya ikatan dan hubungan yang dekat.