Penelitian terbaru di New South Wales, Australia, seperti yang ditulis “abc news,” hari ini, Rabu, 16 Agustus, berhasil membuktikan kalau tes kemampuan otak sederhana ternyata tidak hanya mampu memprediksi risiko seseorang mengidap demensia tapi juga risiko kematian.
Penelitian ini membuktikan kalau ternyata bukan hanya faktor waktu reaksi atau interval waktu antara diterimanya rangsang dengan permulaan munculnya jawaban.
Namun dapat juga mengindikasikan risiko kematian yang lebih tinggi di kalangan orang lanjut usia, tapi juga seberapa bervariasinya waktu reaksi tersebut.
Hasil penelitian diungkapkan oleh ilmuwan di University of New South Wales yang mempelajari delapan ratusorang berusia antara tujuh puluh hingga sembilan puluh tahun selama delapan tahun dengan menggunakan tes cepat dan sederhana untuk mengukur penurunan fungsi otak.
Para peneliti menyimpulkan bahwa lansia yang memiliki performa fungsi otak buruk memiliki risiko kematian lebih tinggi.
Penulis utama dalam penelitian ini, Dr Nicole Kochan mengatakan bahwa hasil ini tetap bertahan meski faktor risiko kematian konvensional diperhitungkan.
“Kami sekarang tahu bahwa bahkan dengan mengabaikan penurunan kognitif, orang-orang dengan waktu respons yang lebih tidak menentu ini bisa berada lebih dekat dengan ajal atau kematian,” katanya.
Jika seseorang memiliki waktu reaksi yang lebih bervariasi daripada rata-rata waktu reaksi dalam kelompok lansia yang diteliti, maka risiko kematian mereka dalam kurun waktu delapan tahun meningkat 35 persen.
Dr Nicole Kochan menyarankan bahwa waktu reaksi yang tidak konsisten bisa menjadi semakin berlebihan tidak hanya seiring dengan bertambahnya usia, tapi saat anda mendekati kematian.
“Tes ini sangat berharga dan menarik karena kami pikir ini adalah penanda fungsi otak,” katanya.
“Dan pada orang yang berusia lebih tua hal ini bisa menjadi penanda terjadinya penuaan yang dipercepat.”
Dr Nicole Kochan mengatakan beberapa orang menemukan tes itu menyenangkan untuk dimulai, “kecuali jika mereka takut pada komputer”.
Tapi beberapa orang, katanya, mengkhawatirkan apa saja yang tes ini dapat ketahui mengenai kondisi otak mereka.
“Seiring bertambahnya usia, anda memperhatikan beberapa penyimpangan memori, dan sangat wajar jika memilikinya. Orang mulai khawatir dan mereka berpikir, ‘Apa pentingnya hal itu?’
Tes ini dilakukan dengan cara peserta diminta menyelesaikan dua tes waktu reaksi yang terkomputerisasi sebagai awalan, dan kemudian sebagai bagian dari penilaian medis dan neuropsikologis komprehensif setiap dua tahun.
Masing-masing responden dihadapkan pada sebuah tablet berlayar besar, dan diminta untuk menempatkan jari mereka di lingkaran ‘rumah utama’ yang berbentuk bulatan hitam.
Secara acak, kotak berwarna akan muncul di layar, dan peserta diminta menyentuhnya secepat mungkin, sebelum mengembalikan jari mereka ke lingkaran hitam.
Pada tingkat yang lebih kompleks, peserta diminta untuk membuat pilihan diantara dua kotak yang mereka sentuh tergantung pada aturan yang telah ditentukan sebelumnya.
Penelitian yang dipublikasikan di jurnal medis PLOS ONE, melaporkan variabilitas reaksi waktu intra-individual yang lebih besar, namun tidak pada rata-rata kecepatan waktu respon, secara signifikan mampu memprediksi waktu bertahan hidup”.
Profesor Michael Woodward adalah penasihat medis utama di Dementia Australia Victoria dan Direktur Penelitian Perawatan Lansia di Austin Health di Melbourne, Victoria.
Dia menggambarkan tes yang tersedia saat ini sebagai tes yang layak untuk mendeteksi tingkat kerusakan kognitif seseorang.
“Tapi dalam mendeteksi seberapa banyak seseorang akan mengalami penurunan di masa depan adalah tidak terlalu memadai dengan tes saat ini,” katanya.
“Akan adil untuk mengatakan bahwa sebagian besar tes yang kita miliki tidak terlalu membantu secara khusus dalam menentukan risiko penurunan kognitif seseorang, risiko seseorang mengalami demensia atau risiko kematian seseorang.”
Dr Woodward mengatakan bahwa semakin dini mereka dapat mendeteksi perubahan pada otak seseorang, kemungkinan besar tersedia kesempatan untuk melakukan intervensi.
“Pada saat ini sebagian besar intervensi bersifat eksperimental,” katanya.
“Tapi sangat penting bahwa orang-orang menyadari diri mereka sehingga mereka dapat mendaftarkan diri dalam penelitian yang mungkin menargetkan penumpukan protein beracun dan perubahan lainnya yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan kognitif dan demensia.”