Ahmed Samir Assem martir bagi “Al-Horia Wa Al-Adala.” Ia juga “hero” bagi Mesir. Dan ia telah pergi untuk mewariskan dokumentasi pembantaian. Keji sekali. Terkutuk untuk pengkhianat kebebasan.
“Al-Horia Wa Al-Adala,” surat kabar terbitan Kairo itu menyapukan tinta hitam di “baner” atas “kop” beritanya dan menuliskan dengan pedih kalimat menyilukan seperti di atas. Kita bergidik. Seorang wartawan foto yang tak takut dengan laras bedil dan hantu kekerasan itu telah “pergi.”
Ya, Ahmed Samir Assem terjengkang ketika peluru bedil tentara Mesir menghantam lensa kameranya. Ia terjengkang setelah kepalanya dikoyak mesiu yang dikirim satuan garda nasional atas nama pembantaian kebebasan.
Ahmed Samir Assem adalah wartawan foto surat kabar pagi “Al-Horia Wa Al-Adala,” dengan spesialisasi perang. Ia mengakhiri karirnya ditengah kecamuk “perang” ketika tentara membantai sekurang-kurang 51 orang pendukung Presiden Morsi, termasuk dirinya.
Dan di subuh itu, Assem merekam suasana “chaos” ketika tentara menembaki pendukung Morsi plus Ikhwanul Muslimin di depan markasnya ketika menunai shalat subuh. Assem berdiri disebuah gedung jangkung di sisi timur markas tentara itu. Ia menjalankan tugas jurnalistik dengan sempurna dengan mengambil gambar secara detil dari banyak sudut.
Malang baginya. Ia tertangkap oleh pandangan seorang “sniper” tentara dari arah barat. Laras senjata sang “sniper” bergeser di arahkan ke kepalanya. “Dorr..doorr,” dua peluru menghunjam lensa kameranya untuk kemudian bersarang dikepalanya dan Ahmed Samir Assem rebah. Tragis.
” Dan pada pukul 06.00, seorang pria datang ke pusat media dengan membawa kamera berlumuran darah dan memberi tahu kami bahwa salah satu rekan kami terluka,” tutur Abu Zeid seorang editor surat kabar Al-Horia Wa Al-Adala.
“Satu jam kemudian, saya mendapat berita bahwa Ahmed ditembak oleh seorang sniper di dahinya ketika mengambil gambar atau foto sebuah gedung di lokasi kejadian,” ujar sang editor..
Saat kejadian, Zeid tengah bekerja dari sebuah fasilitas di dekat masjid Rabaa al-Adawiyah yang berjarak sekitar 1,5 km dari lokasi kejadian. “Kamera Ahmed merupakan satu-satunya yang mengambil gambar seluruh kejadian dari awal,” ucapnya.
“Dia mulai mengambil gambar dari sejak shalat subuh digelar. Dia menangkap setiap adegan dari awal dan dalam video tersebut, Anda bisa melihat puluhan korban. Kamera Ahmed menjadi salah satu bukti dari pelanggaran yang telah terjadi,” ujar sang editor.
Sangat mengenaskan! Sang fotografer tewas ditembak tentara. Namun, fotografer dari surat kabar Al-Horia Wa Al-Adala ini sempat mengambil gambar tentara yang menembaknya dari atas gedung di Kairo.
Adegan demi adegan berhasil diabadikan oleh kamera milik Ahmed Samir Assem Insiden tragis ini terjadi ketika serangan melanda para demonstran pendukung presiden terguling Mohammed Morsi, yang berkumpul di luar markas besar pasukan elit Mesir, Garda Republik, di Kairo.
Seperti dilansir Sydney Morning Herald, Rabu, 10 Juli 2013, Assem mengabadikan seluruh kejadian, terutama sejak para pendukung Morsi menunaikan salat subuh berjamaah pada Senin (8/7) waktu setempat. Ketika serangan terjadi, kamera Assem terus mengambil gambar.
Hingga kamera Assem menangkap gambar para tentara yang melepas tembakan dari atap sebuah gedung berwarna kuning. Tentara-tentara yang bersenjatakan senapan penembak jitu tersebut terlihat melepaskan tembakan beberapa kali ke arah para demonstran.
Kemudian tiba-tiba, senapan tersebut mengarah tepat ke lensa kamera Assem. Beberapa saat kemudian, rekaman kamera berakhir dan berakhir pula hidup Assem. Identitas Assem sebagai seorang fotografer diketahui dari kamera berdarah dan sebuah telepon genggam yang ditemukan di lokasi kejadian.
Militer Mesir telah membantah dan menyatakan bahwa ‘kelompok teroris bersenjata’ yang melakukan penembakan brutal terhadap puluhan pendukung Morsi tersebut. Pihak militer mengakui hanya melepas tembakan peringatan dan gas air mata. Namun dengan adanya video rekaman Assem yang berdurasi 20 menit ini, pihak Ikhwanul Muslimin semakin gencar menuding militer Mesir yang disebutnya melakukan pembantaian.
Sumber : The Telegraph dan The Observer