Mengenakan “hijab” hitam dengan paduan rok senada dan baju batik warna ungu gelap, Ratu Atut Chosiyah kelihatan lelah usai diperiksa delapan jam dari Jumat siang hingga menjelang malam oleh penyidik KPK sebagai saksi dalam kasus suap Pilkada Lebak yang melibatkan adik kandungnya Chaery Wardhana dan Akil Mochtar.
Atut tak ingin nampak muram dengan kelelahannya. Ia menebar senyum, melipat dua tangannya sebagai salam kepada wartawan, yang menunggu berjam-jam di luar gedung KPK, sembari mendesiskan ucapan, ”terima kasih.. terima kasih..”
Ratu Atut tak ingin memberi statemen. Ia mengangguk ketika wartawan memintanya untuk urun bicara. Melangkah pasti kearah mobilnya, gubernur Banten itu langsung duduk dan tak mau bicara.
Atut betul-betul tak ingin diusik. Dia tetap menebar menangkupkan dua tangan di dadanya. Para wartawan terus mengerubungi Atut. Namun, Atut irit bicara. “Saya diperiksa untuk Susi Tur Andayani. Terima kasih, ya,” kata Atut singkat.
Dia langsung memasuki mobil Mitsubishi Pajero Sport hitam berpelat nomor B 22 AAH.
KPK memeriksa Atut sebagai saksi karena dianggap tahu seputar kasus dugaan suap sengketa Pilkada Lebak. Kasus ini melibatkan adik Atut, Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan, Ketua Mahkamah Konstitusi nonaktif Akil Mochtar, dan pengusaha Susi Tur Andayani. Atut diduga memerintahkan suap.
Sebelumnya KPK juga meminta pencegahan Atut kepada Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Pencegahan terhadap Atut untuk bepergian ke luar negeri itu berlaku sejak 3 Oktober 2013 untuk jangka waktu enam bulan ke depan. KPK menduga perintah penyuapan oleh Wawan datang dari Atut.
Wawan adalah tim sukses pasangan calon bupati Lebak yang diusung Partai Golkar, yakni Amir Hamzah dan Kasmin bin Saelan. Diduga, Wawan hendak menyuap Akil melalui Susi terkait gugatan hasil Pilkada Lebak yang diajukan Amir dan Kasmin ke MK. Pilkada Lebak dimenangi oleh pasangan Iti Octavia dan Ade Sumardi yang diusung Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang disebut memiliki ‘dinasti politik’ karena banyak anggota keluarganya menjadi pemimpin dan pejabat daerah di Banten. Ternyata Atut merasa kurang nyaman dengan istilah ini dan ingin memberikan klarifikasi.
“Bu Atut sering bilang, beri saya celah sedikit saja, beri lorong dari sisi opini. Karena, persoalan itu hak individu. Sebagaimana cita-cita anak tidak bisa diatur,” ujar Juru Bicara Keluarga Atut Fitron Nur Ikhsan.
Fitron mengatakan, seharusnya publik melihat proses sebelum keluarga Atut kini banyak yang menjadi pejabat daerah. Terlebih hal itu tidak dengan sekejap mata terbentuk, ada proses pemilihan sehingga keluarganya bisa menjabat sebagai pimpinan daerah.
“Ini hanya disimpulkan dinasti pada sebuah etalase akhirnya, tidak lihat proses. Bu Airin pernah kalah dalam calon wakil bupati Tangerang. Bu Airin jadi walkot Tangsel itu diulang pemilihannya. Artinya tahapan pemilukada harus diikuti,” jelasnya.
Sementara itu, Oman Abdurrahman dari “Mata,” tetap menuduh Atut membangun dinasti dengan merancang tambang uang dari korupsi yang dilakukan dan dirancang secara sistematis.
Perencanaan itu, kata Oman, bisa dilihat dari banyaknya orang Atut, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif. Jaringan itu, kata dia, terbentuk baik dari hubungan keluarga maupun bisnis.
Pada tingkat legislatif, kata Oman, keluarga Atut sudah menguasai saat penentuan anggaran. Mereka memanfaatkan hubungan dari tingkat gubernur, eksekutif, hingga satuan kerja perangkat daerah.
Menurut Oman, jaringan Atut di berbagai instansi juga tak lepas dari peran adiknya, yaitu Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Wawan berperan membina hubungan dengan memanfaatkan profesinya sebagai pengusaha. “Relasi bisnisnya ada di mana-mana, selain memang juga karena jaringan keluarga,” kata Oman.
Selain memanfaatkan relasi bisnis dan keluarga, untuk menutupi kasus korupsinya, Oman mengatakan, keluarga Atut juga kerap membungkam media menggunakan kekuatan finansial.
Dahnil Anzar Simanjuntak, pengamat ekonomi asal Universitas Tirtayasa Banten, mengatakan hal yang sama tentang banyaknya anggota keluarga Atut yang menduduki posisi strategis.
Menurut dia, jaringan Atut tersebar hampir di seluruh pemerintahan Provinsi Banten maupun tingkat kabupaten atau kota. Dari delapan kota atau kabupaten, empat dikuasai oleh keluarga Atut, sedangkan sisanya dikuasai oleh dinasti keluarga lain. “Kota Cilegon oleh keluarga Aat Syafaat, Lebak keluarga Jayabaya, Kabupaten Tangerang Ismet Iskandar, sedangkan Kota Tangerang terbilang netral,” kata dia.
Meskipun memiliki jaringan di berbagai instansi pemerintahan, praktek korupsi yang dilakukan oleh Atut, menurut Dahnil, masih tergolong metode korupsi yang konvensional. “Belum canggih, masih sebatas memotong APBD, belum seperti Fathanah,” kata dia.
Menurut Dahnil, sebenarnya kejahatan Atut sudah terendus melalui laporan hasil pemeriksaan badan pemeriksa. Tiap tahun, LHP BPK menyebutkan ada kejanggalan penggunaan dana APBD sekitar Rp 100 miliar. Namun laporan BPK tersebut tak pernah diteruskan oleh aparat hukum di tingkat provinsi karena diduga banyak orang Atut di sana.
Keluarga Ratu Atut Chosiyah menguasai sebagian kursi kepala daerah di Provinsi Banten. Beberapa kemenangan klan Atut sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah selalu mengukuhkan kemenangan mereka. Dengan menguasai hampir seluruh pemerintahan di Banten, keluarga Atut diduga memanfaatkannya untuk melakukan praktek korupsi.