Mengerasnya polemik qanun lambang dan bendera yang diadopsi dari logo dan bendera GAM, baik secara vertikal, antara Aceh-Jakarta, mau pun horisontal, antara komunitas di internal masyarakat, tak mempengaruhi “silent mayorities” penduduk di provinsi ini.
Benturan kepentingan terhadap perbedaan penafsiran MOU Helsinki dan UUPA yang mengamanat lambang dan bendera Aceh ini tidak menyentuh arus bawah masyarakat, yang menghendaki kehidupan lebih tenteram dan lebih tenang mencari rezeki di samping terjaganya kedamaian agar tidak lagi menyeret Aceh ke dalam pusaran konflik.
Di Banda Aceh, walau pun terjadi konvoi “alegoris” dalam bentuk pawai ribuan pendukung qanun lambang dan bendera Aceh, masyarakat tetap beraktifitas seperti layaknya tak tersentuh peroalan polemik itu. Aktifitas secara keseluruhan tidak terganggu kecuali macetnya jalanan yang dilewati peserta pawai.
Di Pasar Atjeh, pusat perdagangan dan perbelanjaan yang berdekatan dengan Masjid Raya Baiturrahman, tempat pengibaran bendera raksasa yang pernah dipakai GAM dalam masa konflik sebagai simbol perjuangannya, masyarakat nampak pasif menanggapinya. Mereka seperti diungkap Rahman Ali, seorang pedagang buah-buahan, tak peduli ada atau tidaknya lambang dan bendera yang disahkan lewat qanun.
“Yang penting bagi kami negeri ini aman. Sebab negeri ini milik kita bersama Kami bisa cari makan tanpa terganggu. Kami sudah lelah dengan konflik. Maunya jangan ada lagi keributan. Soal bendera ada atau tidak terserah kepada mereka-mereka yang berkuasa. Kami maunya pemerintah Aceh memikirkan serta membantu menyejahterakan kita,” ujar Rahman dengan lugas.
Di Meulaboh, seperti disampaikan kontributor “nuga.co,” polemik lambang dan bendera ini juga merebak. Ada demo selama dua hari berturut-turut. Ada pengibaran bendera merah putih. “Tapi masyarakat tak terpengaruh,” seperti disampaikan Herman kontributor “nuga.co.”
Dikatakan Herman dia mendatangi pasar-pasar dan tempat masyarakat berkumpul. “Mereka tidak peduli dengan lambang dan bendera. Mereka peduli bagaimana mejalani hidup yang susahnya minta ampun.’
Ia mengutip pernyataan Jusuf di Pasar Bina Usaha yang memintanya menyampaikan permohonan kepada pejabat di Banda Aceh untuk lebih memikirkan nasib masyarakat kelas bawah. “Realisasikan saja janji untuk memakmurkan rakyat. Kan itu janji para mereka yang kini berkuasa. Bagi kami mau bendera apa, lambangnya bagaimana terserah aja mana baiknya. Yang perlu jangan lagi ada perang,” kata Jusuf.
Suara arus bawah ini juga dikemukakan di hampir seluruh Aceh. Mereka meminta kepada pihak yang bertikai untuk tidak mengumbar kemarahan dalam bentuk mengacaukan negeri. “Sudah cukup. Jangan ada lagi perang. Terlalu banyak yang dirugikan,” seperti yang terbaca dalam sebuah pesan yang pengirimnya menamakan diri Tengku Aman ke “nuga.co.”
Di Jakarta, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menegaskan kembali tentang persyaratan sebuah lambang dan bendera provinsi. Persyaratan itu, menurut Mendagri, sebagaimana diatur oleh undang-undang tidak boleh meniru organisasi terlarang atau pun lambang dan bendera separatis. Kalau bertentangan dengan undang-undang presiden bisa langsung membatalkan.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh anggota Komisi II DPR-RI Arif Wibowo dari Fraksi PDIP. Arif sependapat dengan Mendagri bahwa lambang dan bendera Aceh mirip dengan bendera GAM ketika mereka menuntut kemerdekaan sebelum tercapainya kesepakatan damai Helsinki yang terkenal dengan MOU.
Bahkan tokoh LSM Fajroel Rachman, mengatakan dengan disahkannya dalam peraturan daerah tentang lambang dan bendera Aceh, berarti ada Negara di dalam Negara. “itu tidak boleh. Saya menduga ada motif politik dalam pengesahan qanun yang mengatur lambang dan bendera itu,” katanya penuh curiga.
Mendagri Gamawan Fauzi tidak menginginkan adanya konfrontasi dalam bentuk polemic terbuka mengenai qanun itu. Ia menginginkan ada dialog yang membuka ruang bagi evaluasi. “Saya sudah mengirim Dirjen Kesbang dan Dirjen Otda ke Aceh untuk mencaritahu latar belakang lahirnya qanun sembari membuka dialog. Kalau evaluasinya datang dari sana-maksudnya dari Aceh- kita tak perlu menghabiskan enerji untuk polemik yang tidak produktif ini, kata Gamawan dengan nada rendah menanggapi polemik qanun itu.
Di Aceh Barat, Senin malam, ratusan warga mengibarkan sebanyak 1.000 lembar bendera merah putih di wilayah itu. Sebelumnya, pada Minggu (31/3/2013) malam, sekitar 500 lembar bendera merah putih telah mereka kibarkan.
Teuku Raja Abdullah, salah seorang warga yang turut dalam pengibaran bendera merah putih secara massal tersebut, mengungkapkan bahwa pengibaran bendera tersebut sebagai wujud protes terhadap pengesahan Qanun Bendera dan Lambang Aceh, yang mengadopsi simbol-simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
“Sejak kami lahir, yang kami tahu bendera kita adalah bendera merah putih. Bukan bendera bulan bintang. Jadi, kami tidak akan menyetujui pengibaran bendera bulan bintang yang bukan bendera kami,” kata Abdullah.
Masyarakat di Aceh Barat, kata dia, masih trauma dengan konflik di Aceh. Bendera dan lambang Aceh yang disahkan oleh Pemerintah Aceh beberapa waktu lalu sangat rentan mengundang terjadinya konflik baru di Aceh. “Kami tidak ingin ada konflik lagi di Aceh. Kami juga tak ingin bendera Aceh dikibarkan di Aceh Barat,” ujarnya.
Pengibaran 1.000 lembar bendera merah putih Senin malam ini akan dilakukan merata di sejumlah titik di Aceh Barat, terutama jalan-jalan utama di daerah tersebut. Selain ratusan bendera merah putih berukuran kecil, sejumlah warga juga memasang bendera merah putih berukuran besar, yakni 8 x 12 meter di Desa Ujong Baru, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.