Pergolakan politik di Mesir yang tak berkesudahan makin dikangkangi kehadiran militer dengan diangkatnya 19 jenderal sebagai gubernur baru. Pengangkatan gubernur dari militer ini, untuk mengambil alih kekuasaan sipil, makin menguatkan motif kudeta terhadap Mohammad Morsi, yaitu mengembalikan otoritas tentara dan menjungkirbalikkan demokrasi.
Semasa mantan Presiden Hosni Mubarak, Mesir diperintah dengan otoriter dan lebih mengutamakan peran militer dalam pemerintahan. Penunjukan ini mengundang tanya dari warga Mesir. Demikian diberitakan The New York Times, Rabu 14 Agustus 2013.
Menurut keterangan, dari 19 jenderal yang ditunjuk, 17 di antaranya berasal dari militer dan dua lainnya berasal dari kepolisian. Salah seorang jenderal polisi dikenal sebagai sosok yang menolak memberikan perlindungan kepada Presiden Mesir pertama yang terpilih secara demokratis, Mohamad Morsi.
Sementara seorang lainnya yakni Jenderal Mahmoud Othman Ateeq pernah terekam dalam video mengangkat senjatanya melawan guru yang melakukan unjuk rasa di Alexandria pada 2011. Saat itu, Ateeq masih menjabat sebagai Deputi Gubernur Alexandria.
Meski menunjuk 19 jenderal, pemerintahan baru juga menunjuk enam warga sipil sebagai gubernur. Namun, keenam warga sipil itu dikenal sebagai loyalis Mubarak yang dikenal tidak bisa menerima kekuasaan Morsi.
Tidak ada satu pun sosok dari kelompok Ikhwanul Muslimin -yang selama ini mendukung Morsi- ditunjuk sebagai gubernur. Sebelumnya, ada 11 gubernur yang berkuasa di Mesir berasal dari Ikhwanul Muslimin.
Dengan menunjuk banyak jenderal, pemerintah baru yang didukung oleh Jenderal Abdul Fattah el-Sisi jelas kembali pada satu taktik kekuasaan yang menjadi ciri khas Mubarak. El-Sisi menggunakan posisi gubernur sebagai langkah untuk memupuk loyalitas dari petinggi militer demi melanggengkan kekuasaan.
Sementara itu perang jalanan antara militer dan Ikhwanul Muslim menimbulkan korban tewas menjadi 43 orang.
Pihak keamanan sendiri telah bersiap di sekitar Kamp yang terletak di masjid Rabaa al-Adawiya di timur Mesir dan juga al-Nahda Square itu. Selama enam minggu, para pengunjuk rasa bertahan di lokasi tersebut dan kini harus menghadapi pihak berwenang yang mulai melakukan “pembersihan”.
Saksi mata melihat polisi menghujani tenda para pendemo dengan gas air mata sebelum bergerak masuk menuju Rabaa al-Adawiya. Seperti diketahui, kerusuhan tak berujung ini dipicu oleh penggulingan mantan Presiden Mohamad Morsi 3 Juli lalu.
Untuk mencegah efek gas air mata para pendemo yang sudah menggunakan topeng memasukan gas air mata kedalam wadah air. Didalam kamp tersebut tepatnya masjid para pendemo terus menyanyikan lagu kebangsaan dan juga meneriakan takbir “Allahu Akbar”.
Kericuhan antar para pendemo dan petugas keamanan yang terjadi di sisi lain kamp tidak bisa terelakan. Suara tembakan pun mulai terdengar walau belum jelas siapa yang menemabakan senjata tersebut. Rekaman amatir yang merekam suasana Mesir terakhir berhasil menvisualisasi korban luka dibawa menuju pusat medis sementara.
Rekaman itu juga menujukan Polisi memaksa pergi para demonstrans yang menentang ultimatum dari pihak pemerintah untuk mengakhiri unjuk rasa. Peristiwa heroik juga terjadi di kamp ini.
Pemimpin pengunjuk rasa yang menggunakan topeng gas air mata berdiri bersama para pengikutnya dan menari mengelilingi gas air mata yang ditembakan kepada mereka. Disaat yang sama alat berat pengahancur kamp mulai masuk dan merubuhkan kamp tersebut.
Menurut Menteri Dalam Negeri Mesir Mohamed Ibrahim menyatakan bahwa keadaan di kamp al-Nahda semua sudah “dikendalikan”. “Polisi sudah menghancurkan tenda di dalam area,” kata Ibrahim, seperti dikutip Chanel News Asia, Rabu (14/8/2013).
Estimasi jumlah korban sampai sekarang masih belum dipastikan. Potensi bertambahnya korban masih sangat besar. Menurut koresponden dari AFP jumlah korban adalah 43 tetapi sejumlah tweet mengatakan korban tewas sudah sampai 250 dan lebih dari 5.000 orang terluka