Mendagri Gamawan Fauzi menghadapi dilemma dengan qanun bendera dan lambang Aceh, yang katanya mirip dengan bendera GAM. Dilema yang dihadapi Gamawan, adanya kekhawatiran bendera itu akan memicu maraknya penggunaan bendera dan lambang gerakan separatisme di daerah lain.
Untuk menghindari dilematis ini, Gamawan mengatakan, revisi atas qanun akan terus dibicarakan sampai ada titik temu antara kedua belah pihak. Gamawan tidak memberikan gambaran bagaimana solusi terhadap revisi itu bisa terlaksana. Ia optimis, baik Pemerintah Aceh maupun Jakarta akan bisa menemukannya.
“Kalau Aceh dibolehkan pakai bendera yang mirip dengan bendera GAM, bisa-bisa Papua atau Maluku ikut pakai bendera kelompok separatis di wilayah masing-masing,” kata Mendagri. Perlu diingat juga, ucap dia, Peraturan Pemerintah Nomor 77 soal Lambang Daerah tidak hanya berlaku di Aceh, tapi juga di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam PP Nomor 77 itu disebutkan, desain logo dan bendera daerah tidak boleh mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan desain logo dan bendera organisasi terlarang atau separatis di wilayah Indonesia.
Dalam pertemuan antara pemerintah Aceh dengan Mendagri belum ditemukan solusi untuk mengatasi kebuntuan qanun itu. Pemerintah Aceh menganggap bendera dan lambang Aceh yang diatur dalam qanun sah. Alasannya, pemerintah Aceh memandang PP Nomor 77 Tahun 2007 tidak berlaku karena pembahasannya tidak dikonsultasikan dengan pihak pemerintah Aceh.
Sedangkan pihak Kemendagri menganggap waktu pembahasan PP Nomor 77 itu, perwakilan pemerintah Aceh bernama Rusdi ikut hadir. Begitu juga perwakilan daerah lain, seperti Papua dan Maluku..
Kementerian Dalam Negeri terus mendorong agar Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 yang mengesahkan penggunaan bendera berlambang bulan bintang direvisi. Meski pada pertemuan pertama antara pihak pemerintah pusat dan pemerintah Aceh hanya menghasilkan dua butir kesepakatan, Gamawan optimistis pemerintah Aceh bisa menerima argumentasi pemerintah pusat.
“Revisi atas qanun akan terus kami bicarakan sampi ada titik temu,” katanya.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah pekan lalu membantah jika qanun lambang dan bendera provinsi berpotensi memicu patriotisme rakyat seperti yang dituduhkan banyak pihak di Jakarta.
Zaini menyatakan, lambang dan bendera Aceh tersebut murni hasil kesepakatan seluruh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh secara aklamasi. “Tidak ada GAM disini, ini semua partai nasional maupun lokal menyetujui,” kata Zaini ketika itu. Dikatakan, tidak ada niatan untuk memberontak dan berpisah dari NKRI di balik
Pemerintah Aceh hingga akhir pekan lalu masih belum mau mengubah sikapnya untuk mengubah lambang dan bendera daerahnya. Meski belum mencapai titik temu untuk mengubah desain, ada dua kesepakatan yang mencapai titik temu ketika kedua pihak bertemu.
Yaitu, DPR setuju untuk menghapus konsideran yang mencantumkan MoU Helsinki pada qanun lambang dan bendera Aceh. Konsideran MoU Helsinki disepakati untuk dihilangkan, karena sudah terimplementasi dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2006.
Kemudian, DPRA juga setuju untuk menghilangkan syarat harus dikumandangkan adzan saat menaikkan bendera. Donni kemudian mengungkapkan untuk terus mengupayakan adanya proses komunikasi yang logis agar DPRA dan pemerintah Aceh menyepakati isi PP No. 77 Tahun 2007.