Baik Aceh maupun Jakarta benar-benar “cooling down” soal polemik qanun bendera dan lambang Aceh setelah selama hampir satu bulan terakhir diwarnai benturan retorika yang keras. Sikap menahan diri untuk mendinginkan polemik itu kian mengental bersamaan dengan sikap diam Gubernur Aceh Zaini Abdullah usai diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Kantor Presiden komplek Istana Rabu, 17 April 2013.
Zaini kepada wartawan, usai mengelarifikasi polemik qanun itu ke presiden enggan berkomentar banyak mengenai pembicaraanya dengan SBY karena masalahnya masih sensitif. Ia mengingatkan, tentang konflik panjang yang pernah terjadi Aceh dan membutuhkan penyelesaian yang lama dan berbelit-belit. Untuk itu, saat ini, ia memberi tekanan bahwa semua pihak telah sepakat untuk bisa menahan komentar agar persoalan qanun itu bisa dicarikan solusinya.
Pertemuan Zaini Abdullah dengan SBY dilakukan setelah dalam “road show to Jakarta”nya terdahulu gubernur dengan timnya terlebih dahulu berbicara dengan Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi.
“Road show” Zaini yang disertai dengan Wakil Gubernur Muzzakir Manaf dan tim anggota DPR Aceh dengan para pejabat setingkat menteri ini, dan diselingi dengan pertemuan dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, menyepakati untuk mendingin dulu konflik kepentingan qanun bendera dan lambang Aceh itu.
Upaya pendinginan ini berhasil meredam isu liar tentang tuduhan para pengamat dan politisi yang menuduh Aceh sedang bermain api. “Cooling down” ini berhasil menyurutkan pemberitaan media yang mengeksploitir komentar tokoh-tokoh Jakarta dan tokoh lokal di Aceh dalam debat yang tidak memberi kontribusi bagi penyelesaian polemic.
Dalam masa pendinginan itu pula Mendagri Gamawan Fauzi berinisiatif menawarkan pembentukan tim bersama antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah Aceh untuk membahas item per item dari 12 poin klarifikasi yang sudah dijawab oleh pemerintah Aceh bersama DPR Aceh.
Seusai pertemuan dengan Presiden, Zaini mengaku telah memberikan jawaban klarifikasi terkait polemik Qanun (Peraturan Daerah) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh, khususnya bagaimana qanun itu bisa muncul.
“Pada prinsipnya masih sama jawabannya karena kita mencari solusi damai di Aceh. Masalah itu akan dicari solusinya supaya dapat titik solusi yang sama. Untuk ini, kami juga bersepakat untuk bertemu di masa depan dan kita cooling down dulu,” kata Zaini Abdullah.
Zaini menambahkan, pertemuan tadi lebih banyak membicarakan tentang pembangunan di Aceh, seperti keinginan penambahan rumah sakit. Pemerintah Aceh menginginkan adanya kemajuan di bidang ekonomi.
“Pembangunan lima general hospital di Aceh mendapatkan respons bagus sekali dari Presiden. Juga (permintaan) yang lain-lain sudah saya serahkan secara tertulis kepada Bapak Presiden. Kalau bicara satu per satu tidak cukup waktu,” kata dia.
Kapan pertemuan selanjutnya dengan pemerintah pusat? Zaini Abdullah dengan sangat kalem menjawab, “Belum ditentukan. Secepat mungkinlah, .
Kementerian Dalam Negeri sudah memberikan rekomendasi atas evaluasi qanun. Intinya, bendera dan lambang Aceh harus diubah karena mirip lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Qanun itu dinilai bertentangan dengan UU Pemerintah Aceh dan PP Nomor 77 tahun 2007.
DPR Aceh juga telah menyelesaikan jawaban atas klarifikasi Kemendagri. Dalam jawabannya, DPR Aceh tetap meminta agar qanun tetap berjalan karena menilai poin-poin klarifikasi tak berdasar.
Kedua sikap ini memang rawan untuk dipertentangkan. Untuk itulah kesepakatan menahan diri merupakan jalan terbaik sebelum ditemukannya titik temu dari seluruh persoalan yang mengganjal.
Pemerintah Pusat juga berupaya untuk tidak menyodorkan ancaman bahwa qanun itu bisa dibatalkan sesuai dengan undang-undang. Pembatalan qanun ini akan bisa memicu rasa ketersinggungan Pemerintah Aceh dan bisa menjadi retorika di kalangan akar rumput masyarakat Aceh.
Di Aceh sendiri, qanun ini tidak seluruhnya bisa diterima masyarakat. Komunitas masyarakat Aceh bagian tengah dan tenggara jelas-jelas menolak keberadaan qanun. Begitu juga sebagian masyarakat di barat selatan Aceh.
Pemerintah Pusat juga tidak ingin qanun ini menyebabkan Aceh terbelah dalam dua opini yang berseberangan. Perbedaan pendapat yang bisa menimbulkan konflik horizontal tidak memberi keuntungan, baik bagi Jakarta maupun Aceh sendiri. Dan ongkos yang dibayarkan dengan konflik semacam itu bakal mahal.
Begitu juga kalau sekiranya Pusat membatalkan qanun itu, tentu ini akan disambut dengan tempik sorak bagi yang tidak setuju dan menjadi emosional bagi yang mendukung.
Untuk itu kesepakatan mencari solusi yang sama-sama menguntungkan dengan pembentukan tim bersama akan lebih elegan untuk mengakhiri polemik qanun bendera dan lambang ini.