Ini berita betul.
Tapi nggak betul betul amat dari sisi news untuk media mainstrem, Sebab sudah usang dan menjadi baru karena penting untuk jadi bahan silang kata bagi anak nanggroe sana di media sosial
Saya katakan usang karena telah daluarsa untuk ukuran media benaran. Sudah masuk bulan ke empat usai sebuah keputusan menteri dalam negeri.
Keputusan tentang pemberian dan pemutakhiran kode data wilayah administrasi pemerintah dan pulau-pulau yang nomor tanggal dan pertimbangannya Anda sendirilah yang mencarinya.
Usang juga karena direktur jenderal yang memberi paraf bagi persetujuan turunnya tanda tangan menteri dalam negeri bagi keputusan itu adalah anak Aceh tulen.
Tulen juga karirnya. Yang dimulai dari seorang lurah untuk kemudian mendaki hingga ke puncak jabatan aparat sipil negara. Jabatan a-es-en utama. Yang seharusnya bisa sebagai sumbu informasi silang kata.
Anda tahulah siapa namanya. yang digadang-gadang akan menjadi pejabat gubernur usai Nova Iriansyah wobak soh.. eee..eee.. bukan, Wobakshot.
Berita ini menyangkut empat pulau. Nun jauh disana. Di laut barat bagian selatan Aceh. Atau bagian utara laut Sumatera Utara. Yang sebelum keputusan kemendagri itu statusnya mengapung,
Pasnya keberadaan empat pulau itu di bagian selatan laut barat Singkil atau di utara laut barat Tapanuli Tengah. Tepatnya lagi di selatan kecamatan pulau Banyak atau di barat kecamatan Manduamas.
Pulau ini sudah lama mengapung di laut peta wilayah dua propinsi bertetangga. Aceh dan Sumut. Seperti tak bertuan. Dan kini mendapat tuan baru, Manduamas.
Sebelumnya, empat pulau itu dicatatkan, entah lewat staatblad kapan dan daagblad pajan, sebagai wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil. Melalui sebuah arsip dari biro pemerintahan Aceh ke badan arsip daerah.
Hanya untuk disimpan.
Saya tahu penyerahan arsip ini. Karena diberitahu oleh kepala biro pemerintahan Aceh waktu itu. Tahu juga tersimpan menjadi bundel koleksi di kearsipan daerah.
Tahunya saya karena diberitahu. Sebab kepala bironya teman saya. Bukan teman penuh. Teman pergaulan karena merasa satu tempat asal. Di negeri ketelatan.
Bagi mereka yang mengaduk bacok kata-kata saya berani mengatakan pasti nggak tahu letak persisnya keempat pulau itu. Kecuali lewat kulikan google search untuk mencari petanya sekaligus mendapatkan akses beritanya.
Mending;ah. dibanding dari media mainstream yang dari judul hingga isi beritanya terus bertanya dan tak pernah memberi jawaban. Jawaban dari investigasi, crooscheck, balances dan segepok persyaratan jurnalistik lainnya, Sebelum jadi berita betulan.
Mereka juga pasti nggak tahu isi perut pulau-pulau itu.
Naif.
Itu satu kata final bagi mereka yang menulis dan berdebat tentang pengalihan kewilayahan empat pulau itu ke propinsi tetangga. Sumatera Utara.
Bagi saya ketika memulai tulisan ini tak ada kata naif.
Karena, begitu tahu ada debat kusir lewat media dengan tuding menuding lewat kata-kata, saya langsung mengklik sambungan hape ke seorang teman.
Ia mantan managing editor, redaktur pelaksana, di sebuah media hebat berjargon “enak dibaca dan perlu.” Kami cas cis cus. Saling mendahului bicara.
Saling berebut kata untuk mendapatkan porsi bicara lebih banyak tentang cerita empat pulau itu.
Empat pulau di kecamatan Manduamas yang pernah kami datangi ketika masih menjadi reporter di media yang sama ketika bertugas di Medan.
Empat pulau yang kami sambangi hampir lima puluh tahun lalu dengan sekoci kecil bermesin enam puluh pe-ke sewaan dari pantai Manduamas usai diayak jeep berkatrol dari Sibolga ke Barus karena jalannya berkondisi “baholak.”
“Saya ingat kita bermalam di Pulau Panjang. Di sebuah tenda dengan dua anak boat. Kita bawa makanan. Kita mandi air asin karena nggak ada sumur air tawar,” ujar sang teman sembari mengingatkan semua kisah indah itu.
“Saya ingin kembali ngon,” katanya santai. Tapi nggak mungkin ya. Udah gaek. “Ada apa ngon? Ingin ke sana lagi?” tanya sang teman yang kini bermkim di bumi serpong damai Tangerang.
Lantas saya buka masalahnya. Ia hanya menjawab: o ya…
Kami benar-benar menikmati indahnya pulau Panjang, saat itu Yang memanjang dengan pulau Lipan di tengahnya gugusannya dan pulau mangkir Besar dan Mangkir Kecil di jejeran lain.
Pulau Panjang punya daya tarik tersendiri bagi wisatawan: pasir putih, pepohonan kelapa, air laut berwarna biru cerah, serta kaya akan terumbu karang.
Kini pulau itu menjadi destinasi wisata warga Manduamas, Barus, Sibolga dan Medan. Nggak ada yang dari Aceh. Karena dari Aceh sendiri lebih memilih pulau Balai, pulau Bangkaru atau ke Ujung Sialit, Lebih eksotik.
Selain bersantai, pengunjung juga bisa menikmati berbagai wahana air, seperti jet ski, seluncuran, dan banana boat. Tak heran, setiap lebaran dan libur sekolah, pulau ini padat pengunjung
Pengunjung yang bercas cis cus dengan dialek “munak.” Dialek paduan jamee, minang dan sedikit batak pesisirnya. Yang tak ada adalah paduan celoteh “peugah haba.”
Alasan ini yang menjadikan Manduamas ngotot menjadikannya sebagai bagian dari milik kecamatannya.
Kepemilikan karena keempat pulau ini dibiarkan piatu oleh negeri yang menjadikan klaim kewilayahaannya. Lantas dipungut Tapanuli Tengah sebagai “anak”
Dan ini diloloskan oleh kementerian dalam negeri.
Selain Pulau Panjang yang berpasir putih, berlaut biru dengan pohon kelapa dan cemara laut di pesisir pantainya, tiga pulau lainnya Lipan, Mangkir Besar dan Mangkir Kecil ditumbuhi hutan bakau, panda laut dan disepanjang pantainya tumbuh pohon kelapa yang tidak teratur.
Pesona ketiga pulau itu kalah dari pulau Panjang yang memiliki terumbu karang untuk snorkeling dan diving.
Keempat pulau itu tak berpenghuni. Anak sekoci kami yang “munak” Barus juga mengatakan sering datang ke empat pulau itu untuk mengutip kelapa.
Persinggahan kami di Pulau Panjang plus mengelilingi Mangkir Besar, Mangkir Kecil dan Lipan adalah dalam perjalanan jurnalistik ke Pulau Bangkaru untuk membuat reportase tentang penyu belimbing dan migrasi paus.
Perjalanan ke Bangkaru, waktu itu, lebih ringkas lewat Manduamas dibanding Singkil yang terisolir bak negeri di ujung donya.
Penyu belimbing yang dilindungi karena hanya hidup di pulau Bangkaru dan migrasi paus dari Australia untuk menghindari musim dingin.
Kala itu masalah lingkungan sangat trending di dunia. Dan menjadi topik pembicaraan di Indonesia lewat kementerian lingkungan hidup di bawah kepemimpinan Emil Salim dan Walhinya Erna Witular.
Tulisan kami tentang reportase ini bernarasi tinggi dan dipuji wkwkwk…
Untuk itulah usai membaca tentang panggung debat panas mengenai status ini saya merasa geram.
Geram karena nggak mendapatkan informasi sahih. Saya mencari tahu lewat google. Tak ada yang menyajikan kasus ini secara lengkap. Media mainstream hanyut dengan potongan kutipan yang arahnya liar.
Saling tuding.
Salah satunya antara juru bicara pemerintah Aceh dengan seorang anggota de-pe-er.
Sang juru bicara saya nggak kenal sosoknya. Mungkin anak muda. Emosional. Keras. Seperti Ngabalin aja, Ya udahlah…..
Sedangkan si anggota de-pe-er saya kenal amat, Ia merupakan generasi emas di media yang saya menjadi tukang aduk semen dan menyusun bata untuk menjadikannya bangunan.
Keduanya saya tahu tidak mampu menyelami seluruh masalah isi debatnya. Debat dari klaim yang tak pernah ada kata putus. Sejak lama. Lama sekali…
Namun masih asik untuk diperdebatkan. Bagi pelawak politik, pejabat kesurupan, pengamat kesiangan dan entah apa lagi sebagai panggung popularitas sesuai dengan tupoksinya
Empat pulau yang selama ini menjadi peta wilayah administrasi Kabupaten Aceh Singkil dan menjadi klaim milik Kabupaten Tapanuli Tengah, adalah Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Baik peta maupun klaim itu, entah apa dasarnya, saya nggak menemukan secara autentik selain kesepakatan damai yang pernah dibuat berupa sebuah patok di pulau Panjang.
Patok tentang pulau Panjang yang jadi milik Aceh. Patoknya juga saya nggak tahu apa hanya untuk Pulau panjang atau ke empat pulau.
Patok yang lahir dari omong-omong damai dari dua gubernur saat itu, Ibrahim Hasan dan Raja Inal Siregar. Damai omongan karena Ibrahim Hasan yang Aceh benaran dan Raja Inal Siregar yang merasa Aceh.
Kalau Ibrahim Hasan anda sudah tahulah. Mantan dosen dan guru besar ekonomi di Unsyiah. Ah… saya pikun lagi menyebut akronim dari perguruan tinggi yang kini bersalin sebutan jadi USK seperti US…. aja
Ia juga pernah menjadi dekan dan rektor di universitas itu lanjut gubernur untuk kemudian berkiprah ke Jakarta sebagai menteri urusan pangan tanpa kabulog yang sebelumnya disandingkan di jabatan itu.
Namun begitu, Anda pasti nggak tahu atau setengah tahu atau pun tahu benaran, tapi sedikit jumlahnya, tentang Mayor Jenderal Raja Inal Siregar yang mengaku setengah Aceh karena tapak karir cemerlangnya di ketentaraan ada jejaknya disini.
Jejak ketika ia menjadi asisten intelejen di Kodam Iskandarmuda. Seorang intelejen yang kalem dan menjalin persahabatan dengan banyak komunitas di Aceh
Saya mengenalnya sangat dekat. Dekat sekali. Ketika ia menjadi Pangdam Siliwangi dan Gubernur Sumut saya sering sowan. Sowan seorang teman tanpa salam tempel beramplop. Hanya sekadar teh dan kue ringan
Untuk mendapat kejelasan tentang keputusan kementerian dalam negeri memberi status final untuk empat pulau itu, semula saya ingin mencaritahu ke bupati Singkil, Dul Mursid. Tapi niat ini pupus setelah dua panggilan hape tak terjawab,
Saya tak menyalahkan panggilan itu tak terjawab. Maklum. Bupati sekarang kan punya beberapa nomor hape. Mungkin nomor yang saya call berada di tangan ajudan. Sang ajudan tahu nomor saya tak terdaftar.
Biasalah. Udahlah.
Kalau pun tersambung belum tentu informasi yang saya inginkan terpenuhi. Dari pada bete-bete-an saya mencari tahu saja ke satu sumber yang layak. Sumber sahih.
Kementerian kelautan dan perikanan yang menjadi dasar keputusan menteri dalam negeri itu. Dari orang dalam menteri kelautan dan perikanan saya diminta untuk menghubungi seseorang di Padang. Staf mereka.
“Dia staf kita yang paling tahu karena membawahi wilayah itu dan bisa menjadi sumber lebih rinci,” ujarnya menyebut nama dan memberi nomor hape,
Usai diberitahu nama dan nomor hape saya mengendapkan dulu kehendak untuk menelpon dan bertanya. Interval begini biasa sebagai bagian kerja orang jurnalistik tempo doeloe.
Entah kalau sekarang. Saya nggak tahu.
Usai mengendapkan apa yang menjadi tanya saya nomornya saya mainkan dengan jemari. Lewat wa. nggak muncul kata dering. Hanya memanggil, Berarti gagal nyambung.
Lantas saya pakai saja aplikasi biasa. Langsung jreng. Saya menyebut nama dan identitas plus keperluan. Ada hening. Sebentar. Dan kemudian ia langsung menyergap.
“Paman ya” Saya gelagapan. Kok dia memanggil saya paman. Ia balas dengan basa basi. Santun. Menyebut nama asli sekaligus nama panggilan ditambah nama ayah dan ibunya.
Ups! Ponakan. Ia rupanya jadi bos ka-ka-pe di Padang. Pembicaraan kami melenceng entah kemana-mana. Jadi bola liar. Yang diujungnya baru terjinakkan dengan keperluan saya untuk mendapat informasi tentang empat pulau yang dihebohkan lewat keputusan mendagri.
“Sudah lama Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Pulau Panjang dicatat menjadi bagian dari Manduamas,” jelasnya. Oleh ka-ka-pe.
Sejak dua ribu enam secara administrasi. Pulau ini masuk ke dalam wilayah Kecamatan Manduamas, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.
Usai survei toponim
Hasilnya, empat pulau, yakni Pulau Mangkir Besar, Pulau Mangkir Kecil, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tidak tercatat sebagai bagian dari propinsi Aceh
Pulau-pulau tersebut berbeda dengan yang ada di Aceh Singkil. Koordinat, bentuk, serta letaknya pun tak sama.
Lantas apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Aceh?
Memang ada upaya serius mempertahankan keberadaan empat pulau yang diklaim oleh Pemprov Sumut tersebut.
Dalam bentuk surat. ke Kemendagri. Sebanyak enam kali sejak empat tahun lalu. Hingga April tahun ini. Tapi arguemntasinya lemah
Kalaupun ada fakta hanya mengulang-ulang. Hanya secara administrasi, Seperti bicara tentang patok di pulau Panjang sepuluh tahun lalu. Yang hanya kesepakatan.
Plus bangunan dan rumah singgah nelayan yang dibangun Pemkab Aceh Singkil di Pulau Panjang.
Bukti lainnya soh. Dan soh juga ketika klaim Sumut yang ngejreng