Ada bau iklan sebuah produk makanan siap saji ketika saya menelusuri cerita Akmal Ibrahim “meng”koh” konflik horizontal di daerahnya.
Cukup satu kata untuk menyimpulkannya. “Sedaap…”
Ide rasa “sedaap…” itu awalnya muncul ketika saya ketemu seorang pejabat eselonering provinsi, usai Jum’at-an di masjid Oman, Lampriek.
Dia teman. Santun. Sangat menjaga privacy. Saling sambang-menyambangi.
Juga paling sering saling tukar informasi. Bukan diskusi. Sebab kami sepakat menjaga harmoni. Ia pejabat saya pengangguran. Ada garis demarkasi. Bahaya kalau melewatinya. Bisa pecah kongsi.
Di siang terik itu ia menunggu saya sebelum masuk ke mobilnya. Plat merah. Bernomor dua digit.
Kan maklum elitismenya!
Kami bersalaman. Lanjut, blaa…blaa… Dan entah bisikan “malaikat” apa kami ngomong tentang Akmal Ibrahim yang bupati di Blang Pidie sana.
Lantas, kenapa Akmal!!
Jawabnya tuntas. Kenal gayanya. Dan saat kami bla..bla.. itu sang bupati sedang didapuk “gorengan” media
Topiknya tentang konflik personal antar aparat yang kemudian merambat ke masalah klasik vertikal-horisontal. Hebatnya lagi diselesaikan lewat gaya “sedaap..”
Stylish. Trade mark-nya Akmal.
Ambil jalan ringkas. “Koh taku?”
Nggaklah. “Koh” haba. Endingnya damai lewat permohonan maaf sepihak. Bukan duduk pakat. Tolak tarik usulan plus bikin draft kesepakatan. Nggaklah. Itu bukan modelnya Akmal.
Itu model Luhut Binsar Pandjaitan yang berakhir ke pengadilan. Terlalu ruwet.
Model Akmal ini lebih “simplistik” Sederhana. Menohok ke masalahnya langsung.
Kok berpanjang-panjang “lead”nya. Itu mubazir dalam kontek lima w-satu-h ilmu jurnalistik. Kontek model milik Akmal juga yang jurnal reporting.
Oya…ya… Saya kok ngawur.
Seharusnya dari tadi sudah ke why-nya, lima w plus satu h. Kenapanya. Bukan malah muter-muter macam orang nyinyir.
Iyalah.
Persoalan yang membuat Akmal bertindak “koh”masalah itu berawal dari keributan antara personal korpri aceh barat daya, dimana Akmal sebagai “owner”nya, dengan aparat di cabang dinas pendidikan Abdya.
Cabang dinas ini, secara struktural, vertikal. Milik provinsi. Nggak tunduk ke pemda abdya. Jadi, mungkin, ada arogansinya. Lebih prestise.
Lantas? Seorang pegawai cabang dinas mengusir anggota korpri yang meminjam lapangan voli di kompleknya untuk berkegiatan hari jadi korp asn.
Awalnya, tentu ada saling tarik urat leher. Dakwa-dakwi. Biasalah. Persoalan klasik. Penyakit kronis. Rivalitas aparat vertikal dan struktural. Bukan barang baru.
Kalau dibedah lewat investagasi benaran pasti dakwinya sederhana. Karena dikompori, bara apinya terbang kemana-kemana. Bisa ghibah tak tertutup jadi fitnah.
Ributnya jadi se”gunung.” Uap dakwanya makin liar dan akhirnya sampai ke Akmal, sang bupati, yang nggak mau aparatnya kalah gengsi dengan aparat vertikal
Lantas muncul “mbong” baru. Ini kan wilayah kami. Otoritas kami dan kami… kami lainnya
Buntutnya bukan dakwinya yang menarik. Tapi cara Akmal menyelesaikannya.
Ia memerintahkan aparatnya memblokir jalan masuk ke kantor cabang dinas pendidikan dengan menebar timbunan tana yang membentuk gunung kecil di gerbang masuk instansi yang sok itu.
“Saya yang memerintahkan,” kata Akmal seperti banyak ditulis media. “Silakan lapor keatasannya.”
Tidak sampai disitu. Akmal di ujung emosional mengatakan, “langkah lanjutannya. akan saya pagar jalan ke dinas milik provinsi itu.”
Gaya Akmal ini sedaap.. Makanan media dan desas – desusnya menjadi rangkaian panjang berbau gosip.
Tapi juga elegant kan?
Tahu hasilnya? Permintaan maaf personal yang institusif.
Menjadi berita lagi lewat acara khusus yang tayang langsung; Menghadirkan pejabat terkait sembari foto bersama dengan memegang map berisi kertas permintaan maaf memakai kop surat yang ada nomor resmi plus lampirannya.
Sayang nggak setelah saya tanya sana sini nggak viral-nya. Juga nggak heboh sejagad.
Saya heran kok nggak ada yang menangkap ini sebagai berita unik. Berita menarik.