Ia menelepon saya. Pagi kemarin. Menjelang duha. Menyebut ujung namanya. Kombih.
Saya langsung membalas sambungan telepon itu dengan mengatakan,”Anda mungkin salah sambung” Disertai umpatan pendek dengan memencet fitur tanda tambah.
Anda tahu sendirilah isi umpatan pendek saya. Karena Anda juga mengumpat model ini. Langsung menonaktifkan panggilan. Menonaktifkan model begini kan biasa untuk penelepon yang nggak teregistrasi di hape.
Selesai?
Belum.
Dalam hitungan detik berikut dering itu datang lagi. Dari nomor yang sama. Kali ini saya layani. Langsung muncrat kata, “Hai.. gaduak bana bung kini,” ujarnya dengan kalimat menohok beraksen pasaran dari Aceh perbatasan paling selatan sana.
Kalimat menohok. Yang ada kata “gaduak.” Yang berarti sombong. “Mbong”
Apalagi ditambah dengan panggilan yang tak banyak orang menyapa saya. Bung. Pertanda keakraban,
Ia langsung cerocos. Saya membiarkan.. Tak ingin meng”cut” dan membiarkan dia membuka tabir disertai cacian “bocor” khas pertemanan karena saya membungkan sapaan awalnya.
Lantas ia menyebut nama hakikah beserta nama sapaan. Bercerita untuk menyambung memori saya dengan memori miliknya.
Memori yang tak pernah mengelupas oleh kalender tanggal, bulan dan tahun. Yang disertai isian memori terbaru kami.
Tahun kemarin ketika ia menjemput saya di Subulusalam dan membawa ke Singkil. Ke Gosong Telaga. Pulau Sarok dan “kebun” nipah di muara Sungai Singkil
Saat itu ia membanggakan bangunan lapangan terbang Hamzah Fansyuri yang sudah diperpanjang dan diperlebar landasannya. Tapi saya ejek kok takjadi-jadi.
Seperti tak jadinya teken meneken memorandum of understanding resort Murban Energie milik Abud Dhabi di Pulau Banyak. Resort yang isinya gelembung angin. Ketika pecah isinya “soh.”
Tidak hanya bandara terbengkalai. Ia juga membawa saya ke Pulau Sarok. Ke dermaga tempat kapal penyebarangan ke Pulau Balai. “Bung mau nyeberang? Nyaman,” katanya berpromosi.
Yang saya kick dengan tanya: Apa jadwalnya tepat waktu?
Ia mengangkat alisnya memonyongkan bibir tanda ia kalah.
Kemudiannya saya ditantangnya untuk singgah ketemu Bupati Dul Mursid. “Ia teman saya. Apa bung mau ketemu?” Saya menolak dengan menggelengkan kepala Soalnya alergi.
Mubazir. Jawabnya pasti khas pejabat. Pejabat “humas” macam sang teman.
Selain ke Singkil saya juga singgah ke Rimo usai ke Lau Butar. Rimo dan Lae Butar yang terkenal dengan kebun sawit milik socfin, Perusahaan Belgia. Yang kini menambah namanya menjadi socfindo yang ada saham negara.
Rimo adalah gampong terkenal, dulunya. Punya lapangan terbang untuk pendaratan pesawat “capung” yang saya sering datangi sewaktu aktif sebagai wartawan dengan skala penuh. Dari lapangan khusus di Polonia.
Saya senang dengan Rimo. Rimo yang hetergon dengan puak batak pakpak, jawa buruh kebun, minang setengah jamee, barus dan aceh campuran.
Rimo yang hari si Kombih menelepon sedang berlangsung hari onan. Hari pekan. Yang ramainya minta ampun. Seperti yang dipertontonkannya lewat video call. Hari onan setiap Rabu dan Minggu.
Rimo yang kini sangat mudah didatangi lewat Subulusalam lewat Lipat Kajang dan Runding. Rimo yang pertumbuhannya ya ampun pesatnya. Melebihi tingkat pertumbuhan Subulusalam yang pemko dan Singkil yang ibukota kabupaten.
Padahal, dulunya Rimo itu hanya gampong kecil. Yang hanya bisa didatangi dari Krueng Luas lewat sampan melewati Lae Soraya hingga ke Runding untuk kemudian numpang motor sewaan yang dihenyak jalanan berlumpur.
Jalan milik socfin untuk membawa crude oil palm-ce-pe-o- dengan mobil tanki untuk dibongkar ke tongkang tanker yang ditarik ke muara Sungai Singkil.
Yang kemudian diisi ke tanki-tanki sebelum di bawa kapal tanker ke Sibolga atau di ekspor ke Calcuta dan Belgia.
Perjalanan yang butuh waktu dua jam. Tapi kini hanya butuh waktu lima belas menitan
Yang tahun lalu kami jalani usai makan limbek-lele- panggang dan sate lokan di warung Ning Disah.
Warung Ning Disah yang campuran Jawa dengan Barus Manduamas itu tak jauh dari tugu Mariam.
Kebun milik socfindo ini, yang dulu bernama socfin, telah ada sejak lama sekali. Empat tahun kedepan ia akan merayakan usia emasnya. Seratus tahun.
Di akte pendiriannya socfin lahir tahun seribu sembilan ratus dua puluh enam. .
Di awalnya bernama lengkap socfin Medan SA-societe financiere des caunthous medan societe anoyme.
Yang akte notaris ketika itu dicatatkan kantor milik William Leo berkedudukan di Medan. Socfin mengelola perusahaan perkebunan sawit dan karet di Provinsi Sumatera Utara dan Aceh
Pada tahun seribu sembilan ratus enam puluh pemerintah menjalin hubungan kerja sama dengan pemiliknya untuk perusahaan patungan. Yang kemudian diberi nama Socfin Medan SA
Perusahaan ini berorientasi pada hasil kerja dari suatu area perkebunan yang berkedudukan di kota Medan Jalan Yos Sudarso. Saya sering datang ke kantor ini ketika jadi jurnalis di Medan
Datang minta jadwal penerbangan ke Rimo dan Seunagan. Karena selain punya kebun di Lau Butar-Rimo mereka punya kebun di Seunagan-Seumayam dan Tamianguntuk kawasan Aceh
Di Sumut mereka punya kebun di Labuhan Batu dan Langkat.
Di tahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan socfin dinyatakan sebagai perusahaan perkebunan yang berada di bawah pengawasan Indonesia.
Perusahaan ini baru menyandang nama Indonesia dengan tambahan kata “do” dibelakangnya menjadi socfindo ditahun seribu sembilan ratus enam puluh delapan itu.
Pemiliknya sudah berbagi. Nggak mutlak punya plantation north sumatra, Belgia, Enam puluh persen masih saham Belgia dan Indonesia empat puluh persenu,
Ditahun dua ribu satu, sejalan dengan privatisasi beberapa badan usaha milik negara kepemilikan saham berubah lagi. Plantation north sumatra, Belgia. sembilan puluh persen dan Indonesia sepuluh persen
Saat itu, seorang Aceh bernama Sofyan Djalil, kini menteri pertanahan dan tata ruang menjadi salah seorang komisarisnya. Sofyan mundur dari komisaris bersamaan dengan adanya larangan jabatan rangkap pejabat aktif di komisaris.
Komoditas tanaman yang diusahakan adalah kelapa sawit dan karet dengan total luas areal empat puluh delapan ribu hektar lebih yang didominasi areal sawit tiga puluh delapan ribu lima ratus hektar
Perkebunan Lae Butar-Rimo luasnya mencapai empat ribu hektar dengan dua pabrik crude palm oil.
Kalau dulunya, para tetua, menyebut kebun ini sebagai afdeling. Ayah teman saya pernah jadi manajer afdeling di kebun Seumayam. Usai pensiun dini ayah sang kawan menerima banyak duit.
Yang ia belikan tanah dan berkiprah di partai politik untuk kemudian menjadi ketua de-pe-er kabupaten. Kalau tulisan ini ia baca pasti akan ia anggukan. Ia tentu senang.
Bagi saya, afdeling ini lebih menyenangkan lagi. Bukan karena sawitnya yang kini banyak mensejahterakan banyak orang tapi juga kehadirannya mengubah kampung yang sepi menjadi kota kecil yang ramai.
Rimo sebagai contoh. Ketika saya datang tahun lalu kampung ini benar-benar telah bersolek. Berubah. Tidak lagi seperti Rimo yang dulu. Lapak jualannya bisa dihitung dengan jari dan warung kopinya tak sampai sepuluh outlet.
Kini Rimo layaknya sebuah kota. Kota dengan fasilitas lengkap. Ada indomartnya. Ada bank aceh dan bsi. Bahkan jalannya sudah banyak akses. Akses jalan usai ditabal menjadi kota kecamatan. Kecamatan Gunung Meriah.
Rimo tidak lagi didominasi rumah papan beratap rumbia berlantai tanah. Rumah buruh yang didatangkan dari Jawa. Yang cucunya kini banyak bertebaran menjadi orang. Bukan lagi seperti kakek moyangnya yang sering dilecehkan.
Pertumbuhan pesat Rimo ini tak mulus-mulus amat. Kini muncul protes dari banyak organisasi atas kepemilkan lahan socfindo. Mereka berperang kata-kata agar hak guna usaha perkebunan itu yang arah ke kota dibebaskan.
Saya tak mengerti dengan cara preman macam begini. Mereka seharusnya tahu bahwa Rimo itu adalah “kota” socfin. Kota yang lahir dari kebutuhan buruk kebun, buruh pabrik dan buruh pemetik sawit.
Mereka perlu tahulah untuk menghasilkan buah tandan segar itu tidak mudah dan murah. Mulai dari mengolah tanah, menanam, merawat hingga tumbuh tandan buah butuh waktu panjang,
Tiga tahun untuk adanya tanda. Belum ada panen besar. Panen besarnya baru ada ditahun kedelapan. Seperti yang kini banyak dirintis oleh penduduk Singkil dan Subulusalam. Plus Trumon di Aceh Selatan.
Rimo tentu bukan satu-satunya kota yang tumbuh pesat ditangan socfin. Masih ada Alue Billi dan Simpang Peut di Nagan Raya, Yang dukungan pertumbuhan awalnya dari kebun socfin.
Makanya, ketika hari onan itu di video call oleh si Kombih saya melihat hetergonitas menyertainya. Hetergonitas dari puak, keyakinan dan dialek.
Dialek khas afdeling…