Inilah salah satu contoh lembaran isian kuisioner “alat vital” yang awalnya menghebohkan kalangan pelajar dan masyarakat di Sabang
Kuisioner alat vital yang awalnya menghebohkan masyarakat dan pelajar di Sabang, awal September ini, dan ditanggapi secara beragam oleh pengamat pendidikan dan tokoh agama, ternyata sudah beredar serta menjadi bahan isian di lingkungan siswa sejak tahun 2010.
Menurut Jane Soepardi, Direktur Bina Kesehatan Anak, Kementerian Kesehatan di Jakarta, Sabtu, 7 September 2013,k egiatan seperti ini sudah dilakukan sejak 2010 lalu. Dan sudah dilakukan di hampir seluruh provinsi, tidak hanya Aceh.
Menanggapi heboh kuisioner alat vital di berbagai media, terutama di Aceh, ditanggapi dengan santai oleh Jane selaku penanggungjawab kegiatan. Ia amat menyayangkan terjadinya misinformasi dari pemberitaan yang dangkal di media yang mengakibatnya isunya berkembang secara miring.
Jane mengaku kaget, mengapa isu ini hanya muncul di Sabang dan baru mengemuka sekarang. Dia mengaku akan segera menelusuri permasalahan yang terjadi di sana, sehingga ke depan kebijakan itu dapat dievaluasi.
“Kita akan ke sana Aceh. Ke Sabang. Akan kita cari tahu simpul permasalahannya kenapa harus heboh seperti ini. Di provinsi lain yang kehidupan keagamaannya juga sangat ketat tak ada kehebohan,” kata Jane lagi.
Seperti diberitakan, kuisioner kesehatan yang di dalamnya terdapat gambar-gambar alat vital dibagikan kepada siswa SMP di Sabang, Aceh.
Pihak sekolah setempat mengaku kuisioner tersebut berasal dari dinas kesehatan, untuk diisi oleh para siswa. Dinas kesehatan lalu menjelaskan bahwa tujuan pembagian dan pengisian kuisioner tersebut adalah untuk pemeriksaan kesehatan organ vital.
Tidak ada pertanyaan yang menyimpang dari etika yang menjadi isian kuisioner. Umpamanya, tentang pertanyaan untuk pelajar wanita. Pertanyaan berkisar pada menstruasi. Kapan, bagaimana akibat dan pertanyaan lain yang sangat simple dan sudah menjadi pengetahuan umum.
Bahkan di beberapa item pertanyaan, kuis berusaha menuntun para pelajar untuk memiliki kepedulian terhadap kesehatan organ vitalnya itu.
Namun begitu, menurut Jane, pasti ada masalah yang menyebabkan kasus kuisioner itu menjalar dan komentar banyak pihak. Ia menilai para pihak yang mengeluarkan komentar pasti juga tidak tahu posisi kuis dan tatacara pelaksanaannya.
Kemenkes hanya ingin memetakan kesehatan para pelajar dan dipergunakan untuk menyimpulkan dalam kebijakan kesehatan masyarakat secara keseluruhannya. Kuisioner semacam itu sudah lazim dilaksanakan tanpa mengabaikan dari sisi moralitasnya.
Kasus kuisioner di Sabang tidak ditulis secara “depth” oleh media. Mereka hanya mengambil sisi luarnya atas nama alat vital dan meminta tanggapan dari pengamat yang tidak tahu posisi kasusunya.
Kuisioner itu sendiri, sebenarnya bersifat tertutup dengan tetap menempatkan privacy pelajar di atas seluruh kepentingan. “Mungkin ada keteledoran sehingga ia dianggap sebagai masalah yang tabu. Padahal informasi yang diminta tidaklah sangat sensitif. Tak ada bedanya dengan buku-buku tentang kesehatan secara umum yang diperjualbelikan secara bebas.,” ujar seorang pengamat yang sudah memeriksa materi kuisioner.
Secara “bombas” kasus ini memang bisa dipelintir karena menyangkut kata “alat vital.”
Di Aceh, terutama setelah melubernya masalah kusioner itu ke masyarakat lewat pemberitaan media, berbagai kalangan ramai-ramai mengomentari. Bahkan media lokal secara beruntun dan terus menerus mendramatisirnya ke masyarakat tanpa menuliskan substansi masalahnya sebagai latar belakang pemberitaan.
Bahkan sebuah media cetak terbitan Banda Aceh memberi porsi “blow up” terhadap kasus ini dengan memberikan ruang untuk komentar para tokoh. Secara keseluruhan komentar para pengamat dan tokoh itu tidak merujuk pada tujuan kuis.
Mereka hanya berkomentar dari sisi etika yang juga belum tentu sahih bila harus dikaitkan dengan tujuan dari kuis.