Resistensi antibiotika meningkat tajam sampai pada tingkatan yang mengkhawatirkan di seluruh bagian dunia dan mengancam kemampuan kita dalam mengobati penyakit-penyakit infeksi yang umum.
Infeksi yang menular pada manusia termasuk pneumonia, tuberculosis, keracunan darah dan gonorrhoea dan juga resistensi pada hewan sekarang menjadi semakin berat.
Kondisi ini terkadang tidak mungkin untuk diobati karena semakin menurunnya efektivitas antibiotika.
Sebuah studi yang baru dipublikasikan dalam jurnal PNAS mengungkapkan bahwa dari delapan tahun lalu, penggunaan antibiotik di seluruh dunia naik tiga puluh sembilan persen.
Kenaikan penggunaan antibiotik ini dikhawatirkan bisa menimbulkan resistensi.
Pasalnya menurut perkiraan pakar ekonomi Jim O’Neill dalam laporan berjudul The Review on Antimicrobial Resistance yang dipublikasikan pada empat tahun silam, sebanyak sepuluh juta kematian akibat resistensi antibiotik bisa terjadi pada tiga puluh dua tahun mendatang jika konsumsi antibiotik kita tidak berubah.
Namun, para peneliti yang bekerja dalam studi baru ini menilai bahwa kenaikan penggunaan antibiotik yang mereka temukan tidak sepenuhnya buruk.
Selama ini, negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki tingkat penggunaan antibiotik yang rendah karena kurangnya akses terhadap antibiotik.
Eili Klein, peneliti dari Center for Disease Dynamics, Economics & Policy, yang menulis studi ini, mengatakan, penggunaan antibiotik adalah usaha keseimbangan yang sangat sulit.
Kenaikan ini menunjukkan bahwa ada lebih banyak orang yang mampu mengakses obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa.
“Ini bukan hal buruk, tetapi kebanyakan infeksi ini sebetulnya dapat dicegah. Artinya, penyelesaian dari masalah ini tidak hanya sekadar mengurangi konsumsi antibiotik,” ujarnya, seperti dikutip Time,
Berdasarkan laporan di berbagai negara mencatat adanya peningkatan laju resistensi dalam beberapa dekade terakhir, tetapi di sisi lain penemuan dan pengembangan jenis antibiotik (antimikroba) baru berjalan sangat lambat.
Penemuan antibiotik membutuhkan dua puluh hingga tiga puluh tahun, sedangkan resistensinya bisa muncul dengan cepat.
Para ahli di dunia memprediksi bahwa jika masyarakat global tidak melakukan sesuatu dalam mengendalikan laju resistensi ini, maka AMR akan menjadi pembunuh nomor satu di dunia
Laporan dan rekomendasi global tentang AMR mencatat Kematian akibat AMR mencapai sepuluh juta jiwa per tahun.
Penanganan AMR membutuhkan pendekatan One Health yang multi dimensi, multi faktor, dan multi stakeholder.
“Jika kita tidak menangani ancaman ini dengan aksi yang kuat dan terkoordinasi, maka resistensi antimikroba akan membawa kita kembali ke waktu di mana orang takut terhadap infeksi umum dan mempertaruhkan nyawa hanya karena operasi ringan”, ujar Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO.
Rencana Aksi Nasional untuk AMR yang disusun secara multi sektoral di mana sektor-sektor yang berbeda bekerja sama dibawah payung One Health untuk menangani ancaman-ancaman kesehatan.
One Health adalah upaya kolaborasi praktisi kesehatan dokter manusia, dokter hewan, petugas kesehatan masyarakat, ahli epidemiologi, ahli ekologi dan lainnya, dengan lembaga-lembaga terkait untuk mencapai kesehatan yang optimal bagi masyarakat, pertanian dan hewan, satwa liar serta lingkungan.