Laman kesehatan “hello sehat” kembali menulis hubungan stress dengan “kegilaan” makan seseorang.
“Sangat manusiawi bagi seseorang untuk ingin menghindari rasa sakit dan kecewa dengan mencari pertolongan lewat makanan, “ ungkap Min-Hai Alex, seorang ahli diet dan nutrisi terdaftar sekaligus pendiri Mindful Nutrition di Seattle, Amerika Serikat, dilansir dari Daily Burn.
Jika Anda familiar dengan hal ini, Anda tidak sendiri. Kecenderungan nafsu makan berlebihan yang dipicu oleh stres dan emosi negatif disebut dengan emotional eating.
Makan berlebihan di bawah pengaruh stres merupakan salah satu gejala dari apa yang disebut dengan depresi atipikal oleh para profesional kesehatan mental.
Meski demikian, banyak orang yang tidak memiliki diagnosis depresi klinis atau isu kesehatan mental lainnya juga mengalami perilaku ini saat menghadapi stres sesaat atau kronis.
Emotional eating adalah kecenderungan yang dirasakan seseorang untuk merespon stres dengan makan — bahkan ketika tidak lapar.
Aktivitas makan lebih ditujukan sebagai pelarian pada kenyamanan, cara penghilang stres, atau sebagai ‘hadiah’ untuk diri sendiri, dan bukan untuk memuaskan rasa lapar.
Makan berlebihan saat sedang emosional juga berfungsi sebagai pengalih perhatian.
Jika Anda sedang mencemaskan suatu acara tertentu atau merasa kesal akan suatu konflik, misalnya, Anda cenderung akan memusatkan perhatian hanya mengunyah makanan favorit Anda sebagai upaya memperbaiki mood, daripada harus berurusan dengan situasi menyebalkan tersebut.
Sama seperti saat Anda sedang bosan dan akhirnya memilih untuk gonta-ganti channel TV sampai acara TV kesayangan Anda dimulai kembali.
Dalam jangka pendek, stres justru dapat mematikan nafsu makan.
Struktur dalam otak yang disebut hipotalamus memproduksi hormon corticotropin, yang menekan nafsu makan.
Otak juga mengirimkan sinyal pada kelenjar adrenal untuk melepaskan adrenalin. Adrenalin membantu menicu respon “fight or flight” tubuh — kondisi fisiologis yang mengesampingkan kebutuhan akan makanan secara sementara.
Jika stres terjadi berkepanjangan, otak justru memerintahkan kelenjar adrenal untuk melepas kortisol, yang berperan dalam peningkatan nafsu makan dan juga motivasi secara umum (ya, termasuk motivasi untuk makan). Stres juga mengacaukan kerja hormon pengatur nafsu makan, ghrelin.
Saat Anda dilanda stres, Anda akan cenderung lepas kendali dan merasa kewalahan — yang dapat menjalar ke pola makan Anda. Inilah mengapa makan saat emosi justru menanggapi stres dengan melahap makanan tinggi karbohidrat, berkalori tinggi, dan mengandung nilai gizi rendah, alias junk food dibanding dengan meneruskan pola makan Anda biasanya.
Anda mencemaskan mengenai masa lalu atau masa depan, tidak mempedulikan apa yang Anda konsumsi di masa sekarang.
Stres juga menguras sumber daya kognitif yang Anda butuhkan untuk tetap fokus dan tangguh, dan juga untuk mempraktikkan creative thinking demi memecahkan masalah.
Oleh karena itulah mengapa menghabiskan dua loyang kue cokelat favorit akan terasa lebih mudah untuk dilakukan dibanding dengan harus menguras tenaga dan pikiran untuk merancang rencana penyelesaian masalah.
Begitu episode stres usai, kadar kortisol akan ikut menurun, tapi jika stres tidak kunjung pergi — atau jika mekanisme respons stres Anda terus menyala — otak akan terus memproduksi kortisol dalam jumlah tinggi.
Terlebih lagi, jika kecemasan juga mengganggu tidur Anda, kurang tidur dapat mendorong nafsu makan lebih tinggi lagi.
Apapun emosi yang mendorong Anda untuk makan berlebihan, hasil akhirnya sama saja.
Emosi negatif ini akan kembali, dan Anda mungkin akan menanggung beban tambahan dari rasa bersalah akibat rusaknya rencana diet Anda. Hal ini juga dapat menjerumuskan Anda pada siklus setan — emosi memicu Anda
untuk makan berlebihan, Anda terus menyalahkan diri sendiri akibat kebiasaan ini, Anda justru semakin stres, dan untuk menghadapi stres Anda kembali makan banyak-banyak.
Begitu menyadari bahwa Anda akan mulai melahap apapun makanan yang ada di depan mata saat Anda merasa terpuruk, segera alihkan perhatian dari makanan pada hal-hal lain yang dapat Anda lakukan sampai dorongan makan berlebihan berlalu.
Misalnya, mengobrol dengan teman, membaca buku atau majalah, mendengarkan musik, jalan-jalan sore atau jogging, meditasi atau latih pernapasan dalam, bermain game, bersih-bersih rumah, atau menulis jurnal.
Memiliki jurnal makanan membantu Anda untuk melacak apa yang Anda makan dan kapan saja Anda makan, serta pemikiran atau emosi apa yang Anda rasakan setiap kali makan. Dengan begitu, Anda mungkin akan menemukan apa yang memicu Anda beserta polanya. Misalnya, Anda mungkin akan menyadari bahwa Anda cenderung makan berlebihan saat dihadapkan dengan tekanan sosial, seperti saat orang lain mendorong Anda untuk terus makan — di pertemuan keluarga besar atau acara formal lainnya, misalnya — atau demi “memaksa” Anda melebur dengan kelompok tertentu.