Pagi itu, kalau tidak salah ingat, Kamis di akhir Oktober 1980. Yusril Djalinus, anak Padang yang besar di Pekalongan, datang ke meja saya di kantor Majalah Berita Mingguan TEMPO lantai 4 Pasar Senen, Jakarta, dan membisikkan, ”Anda ikut saya ke Daoed Joesoef.”
Setengah memaksa Yusril tak mengemukakan alasan mengajak saya ke Daoed Joesoef yang kala itu sedang menjadi sasaran tembak mahasiswa dan civitas akademika karena kebijakan BKK dan NKK-nya mensterilkan kampus dari politik dan mengembalikan mahasiswa sebagai insan ilmu. Yang saya tahu, alasan Yusril “memboyong” saya ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) periode 1978-1983 Kabinet Pembangunan III yang asal Aceh itu, mungkin untuk melunakkan keketusan sang menteri yang terkenal galak dan sinis terhadap pertanyaan-pertanyaan wartawan yang asbun (asal bunyi).
Yang saya juga tahu, kala itu, saya bukan satu-satunya anak Aceh yang ada di TEMPO. Masih ada Mansur Amin, Said Muchsin dan Isma Sawitri. Dan selain saya Yusril juga membawa Ed Zoelverdi si Mat Kodak yang lahir di Kampung Baru, Pasar Aceh, dan masih punya hubungan dengan Abdul Latief yang pernah menjadi Menteri Tenaga Kerja di zaman orde baru. Dan kedua orang ini telah berpulang.
Yang saya tahu juga, pemaksaaan Yusril membawa saya adalah karena ia penanggungjawab rubrik pendidikan sekaligus koordinator reportase, yang kala itu baru saja diaktifkan, untuk melancarkan arus peliputan di lingkungan internal wartawan TEMPO. Lembaga ini yang semula dikonsep setengah hati di tangan Yusril, kemudiannya, menjadi sangat prestise. Saya bukan pertama kalinya bertemu Daoed Joesoef. Sebelum jadi menteri, saya pernah bertemu dengannya di kantor CSIS di Kebun Sirih, sebelum diangkat sebagai Mendikbud, karena ia salah seorang managing director di lembaga think tank orde baru itu, bersama Joesoef Wanandi si Cina Padang yang bernama asli Liem Bian Kie.
Pertemuan di CSIS Daoed Joesoef “memakan” saya karena pertanyaan-pertanyaan saya keluar dari konsep keilmuannya. Padahal pertanyaan itu telah saya konsep selama beberapa hari dan menghafalnya dengan disiplin.
Mari kita tinggalkan semua latar belakang yang mengantarkan kami ke pertemuan dengan Doktor Daoed Joesoef dan kita masuk ke perjalanan ketokohannya sebagai
***
Daoed Joesoef merupakan sedikit dari menteri, sepanjang pemerintahan Soeharto, yang berani membantah kebijakan Sang Presiden. “Suatu hari,” kenang Daoed Joesoef, yang sering diceritakan kepada banyak orang, ia dipanggil ke Bina Graha, kantor Pak Harto di kompleks istana, untuk mengevaluasi kinerja Mendikbud menyangkut dunia pendidikan, terutama heboh BKK dan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus).
Di tengah pembicaraan yang biasanya satu arah itu Daoed Joesoef menyimpang dari pakem Pak harto dengan menyinggung tentang pembangunan ekonomi yang salah arah. Ia “menceramahi” Pak Harto tentang tujuan pembangunan yang tidak hanya mengejar pertumbuhan ekonomi atau materi tetapi juga bagaimana meningkatkan kehidupan manusia.
Pak Harto yang tahu pakem “kejawaannya” dikesampingkan, lantas memotong “ceramah” Daoed Joesoef, dan memintanya untuk mengurus pendidikan saja dan ekonomi telah diurus menteri lain. Daoed, menurut ceritanya, tak mau mengalah dan mengatakan, ”Saya juga ahli ekonomi dengan dua doktor di bidang moneter. Sedangkan menteri yang mengurus ekonomi hanya punya satu doktor.” Pak Harto sedikit pun tak menanggapi. Dan itu berarti Daoed Joesoef harus “out” dari ruang kerjanya.
Tahu resikonya? Daoed didepak usai Kabinet Pembangunan III. Padahal, menurut Soedjono Hoemardani, orang dekat Pak Harto yang juga pendiri CSIS, Daoed sudah dipersiapkan untuk jadi menteri di kabinet berikutnya.
Daoed Joesoef anak Aceh itu memang keras dengan prinsip. Ia tak pernah mengompromikan idealismenya. Ia pernah bentrok dengan pelukis Soedjojono, Ketua Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) ketika masih SMA di Yogyakarta kerena berbeda pemahaman tentang organisasi. Daoed ketika itu Ketua Persagi di Yogyakarta dan Soedjojono Ketua Pusat Persagi di Solo. Ia di kenal jago dalam melukis sketsa. Beda pemahaman ini menyebabkan Daoed hengkang dari Persagi.
Sebagai seniman Daoed juga memiliki pengalaman dengan tiga founding father republik ini. Kala itu, menurut ceritanya, di Gedung Agung, istana kepresidenan di Yogya kedatangan tamu asing. Syahrir, kala itu perdana menteri, mengutus seorang kurir ke Daoed Joesoef untuk membawa semua lukisan koleksi anggota Persagi ke istana sesegera mungkin. Daoed mengumpulkan seluruh koleksi para pelukis yang disimpan di kantor Persagi dan membawanya dengan becak dayung ke Gedung Agung.
Ia sendiri, kemudiannya, ditunjuk jadi guide, dan saat itu ia menangkap kesan terhadap pemahaman seni dari Bung Karno, Bung Hatta dan Syahrir sangat indah. “Ketiganya memiliki apresiasi tinggi terhadap seni dengan cara dan pemahaman berbeda,” katanya pada sebuah kesempatan.
Daoed Joesoef yang akhir tahun ini memasuki usia ke-86 dan beberapa bulan lalu, Juni, mendapat penghargaan sebagai salah satu dari lima cendekiawan berdeikasi dari Harian Kompas, ternyata masih sigap menulis dengan kritis baik mengenai pendidikan maupun ekonomi. Kejernihan tulisannya tercermin dari dari keyakinannya pada hakekat pembangunan untuk meningkatkan harkat kehidupan manusia. Bukan bertumpu pada pertumbuhan.
Kejernihan tulisannya tidak dihasilkan dalam kurun waktu yang pendek. Daoed telah memulainya sejak kecil ketika di Medan. Ia memamah semua jenis buku tanpa memilah-milahnya. Daoed yang menamatkan SMP-nya di Medan adalah seorang kutu buku. Ia melahap buku apa saja sejak dari kanak-kanak sampai sekarang.
Kecintaannya terhadap buku sebagai sumber ilmu pengetahuan menyebabkan ia sangat peduli dengan dunia pendidikan. Lewat buku ini pula ia menularkan kepada anak tunggalnya Sri Sulaksmi Damayanti (Yanti) tentang keteguhan prinsip. Yanti harus memutuskan untuk meninggalkan karir dosennya dan beralih menekuni dunia pendidikan bersama Arief Rachman Hakim mengelola TK Kepompong, SD Kupu-kupu dan SMP serta SMA Garuda, karena kampusnya IPB kala itu menerima Badan Hukum Pendidikan (BHP), padahal karirnya sebagai ahli mikrobiologi di IPB delapan tahun lalu sangat cemerlang.
Dalam perjalanan karir kelimuannya Daoed Joesoef yang menamatkan pendidikan kesarjanaan di Fakultas Ekonomi UI di jurusan moneter sempat menjadi dosen satu-satunya untuk ekonomi moneter di perguruan itu, sebelum memperoleh beasiswa ke Sorbonne, Perancis tahun 1964 hingga 1972.
Di Universite Pluridisciplinaires de Paris I, Pantheon-Sorbonne itu Daoed menyabet dua disiplin ilmu ekonomi, moneter dan pembangunan, dengan meraih dua gelar doktor. Dan namanya hingga sekarang sangat dikenang oleh almamaternya sebagai mahasiswa cerdas. Di Perancis pula Daoed banyak menulis artikel tentang pembangunan Indonesia dan mendikusikan tentang arahnya yang benar.
Dari diskusi dan artikel inilah yang menyebabkan Soedjono dan Ali Moertopo, yang ketika itu menjadi tokoh di ring satu Pak Harto membawanya pulang ke Indonesia untuk dijadikan pimpinan di CSIS sekaligus memberi masukan berdasarkan kajian think tank itu tentang kebijakan pemerintah sekaligus untuk penyeimbang para teknokrat asal Berkeley di bawah sang suhu Widjojo Nitisastro.
Gagasan-gagasan CSIS di bawah kepemimpinan Daoed Joesoef dianggap paling cemerlang, ketika itu, dan ia mampu menjalin jaringan dengan lembaga penelitian prestisius di banyak negara seperti Jepang, Amerika Serikat maupun Singapura lewat road discussion yang berotasi dari satu tema ke tema lain. Dan dari satu negara ke negara lain.
Kajian-kajian CSIS ini pula yang menyebabkan pemerintahan Soeharto bisa kokoh karena mendapat masukan tentang kelemahan yang harus diperbaiki dalam stiap kebijakannya. Kita tahu, setelah Pak Harto “meninggalkan” CSIS akibat kepercayaan dirinya membesar pemerintahannya mulai goyah dan koordinasinya terabaikan. “Ini pula yang banyak ditulis CSIS dan tak dihiraukan oleh Soeharto,” tulis Daoed Joesoef dalam sebuah artikel di Kompas beberapa tahun lalu.
Selain terus menulis hingga usia sepuhnya, Daoed Joesoef masih tetap memelihara nalarnya dengan membaca. Semangat membacanya tak pernah padam. Tiga puluh tahun lalu ia pernah mengatakan kepada kami bahwa, “Membaca baginya tidaklah sebagai hobi, tapi kebutuhan.” Hal ini selalu ia ulang kepada siapa pun sebagai kebanggannya hingga sekarang.
Hal lain yang sering diulang pula adalah pengalamannya ketika diundang Bung Hatta dalam sebuah perjalanan ke Cirebon. Kepada kami, ketika mewawancarainya di CSIS puluhan tahun lalu, dengan bangga ia menyerahkan copy tulisannya di Harian Mimbar menanggapi wawancara Harian Pedoman dengan Bung Hatta yang bertanggal 25 Februari 1955, yang kala itu dia masih sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi UI.
Walau pun ia sering mengkritik pemikiran Bung Hatta, Daoed adalah pemuja gagasan ekonominya. Ia bisa memuji Hatta dan bisa mengkritiknya dengan keras. Tapi penghormatannya kepada Hatta tak pernah luntur.
Daoed Joesoef, adalah khazanah tokoh tanah air adalah sebuah tempat pembelajaran bagaimana keteguhan prinsip tetap dianutnya hingga sepuh. Ia tercatat sebagai tokoh paling sederhana. Kesederhanaan ini tercermin dari kelusuhan pakaian safarinya, ketika itu pejabat harus berbaju potongan safari, yang dilipatan kerahnya telah mengelupas. Ia pernah memarahi stafnya ketika memberikan safari baru sebagai pengganti safari lusuh dan mengembalikannya. Dia juga menghindari jamuan ketika berkunjung ke daerah yang hidangan makanannya berlebihan. Kesederhanaan itu pula yang menyertai usianya yang kini memasuki 86 tahun. []