Laporan Perjalanan Amal Bakti untuk “nuga.co”
Andorra. Saya pernah bersentuhan dengan nama itu di tiga dekade lalu, ketika masih menjadi redaktur olahraga di sebuah surat kabar terbitan Jakarta. Andorra. Ya, ketika itu tim sepakbolanya satu grup dengan Belgia di fase grup Piala Eropa. Dan saya menuliskannya dengan penuh tanya.
Apa ada negara di Eropa sana yang bernama Andorra?
Oleh reporter saya, ketika itu, menegaskan Andorra sebuah negara. Ia membawa atlas Eropa dan menunjukkan peta negeri kecil yang terjepit di antara Spanyol dan Perancis itu.
Andorra, saya bergumam menyebut nama “aneh” tapi nyata itu.
Itu sudah lama sekali. Tiga puluh tahun lalu.
Dan ketika di akhir di Januari lalu saya ke Belanda, dalam sebuah kunjungan sejarah, saya dikejutkan lagi lagi dengan nama itu oleh seorang teman, yang bermukim di Roterdam. Sang teman sudah menjadi “orang” dan “pensiun” dalam suasana lebih dari cukup. Katakanlah “kaya.”
Ia seorang memiliki sebuah grup bisnis besar dan telah mengalihkan kepemimpinan kepada generasi keduanya dengan mulus. Sang teman betul-betul “pensiunan” sejati dengan “trayek” travel global.
Di Agustus tahun lalu ia pula ke Jakarta dan khusus mencari saya untuk kemudian kami berburu kuliner dan heritage di pelosok Jawa.
Di sebuah senja, ketika kami mencari “nasi goreng” di sebuah sudut “ little china,” ia membisikkan kepada saya, sebuah kalimat sebagai “hadiah” yang sangat “surprise,” dan amat mengejutkan. “Kita ke Andorra, bung,” ujarnya sembari memandang ke wajah saya yang bengong sembari menanti sebuah anggukan.
Saya nanar. Tak tahu bagaimana meresponnya. Ia ikut nanar, untuk kemudian, menuntun saya untuk mengangguk. Setelah “heng” memori saya pulih dan ia merayap ke tiga dekade lalu di sebuah ruang redaksi surat kabar Jakarta. “Andorra,” saya mengucapkan kata itu dengan lirih.
Sang teman, saya tidak akan menyebut nama dan asalnya, kerana itu janji saya untuknya sebagai menjaga privacy, membelalak dan memeluk saya sembari membisikkan,”Kita kesana akhir pekan ini,”
Andorra, negara kecil yang diapit oleh dua negara Perancis dan Spanyol, seperti dikisahkan oleh sang sohib, di waktu kami makan nasi goreng dengan udang panggang, menyimpan kesahajaan yang membuatnya beda dari Eropa lainnya.
“Kita ke Andorra la Vella,” ujarnya ketika kami berpisah malam itu, usai mengantarkan saya ke penginapan, ke Hilton Hotel. Andorra la Vella guman saya mengeja ucapannya.
Esoknya, ketika saya sedang berada di sebuah ruang diskusi di sebuah mumseum di Den Hag, sang sohib mengirim pesan pendek. Ia mengabarkan telah membeli tiket perjalanan, memesan hotel dan menyiapkan semuanya lewat sebuah biro perjalanan kelas “mewah.”
Dan ketika saya membalasnya dengan kata “thank’s,” ia member kabar balasan, “Kita naik kereta api klas bisnis.”
Andorra, kemudian saya lewat brosur travel yang membimbing kami, berada di ketinggian 1.000-1.200 di atas permukaan laut. Di musim dingin tempat ini ramai dikunjungi para turis, terutama dari Spanyol dan Prancis. Di sini mereka bisa menikmati salju dan bermain ski sepuasnya. Bila berkunjung di musim panas, kita tidak akan bertemu salju di Andorra.
Kami datang ke Andorra tepat di musim panas. Turis tidak seramai ketika musim dingin. Tapi suasananya membuat saya lebih adem karena terbiasa dengan udara satu musim dengan matahari bersinar sepanjang tahun.
Di sepanjang perjalanan, saya dan sohib banyak bercerita tentang “tanah air.” Ia juga bercerita tentang hari-harinya di Roterdam, yang kadang membosankan. “Bukan seperti di Jakarta yang kekeluargaannya sangat kental.
Di kereta api itu juga, yang suasananya mewah dengan restoran menyediakan “steak” dan berbagai menu klas tinggi, sang teman mengatakan, bahwa ia sering ke Andorra karena bisa membeli souvenir dan voucher untuk taman dan cucu. “Saya sering datang di musim dingin, katanya dengan serius.
Di musim panas ini, katanya, harga penginapan Andorra lebih murah. Kamar hotel bintang kami menginap misalnya, harganya sekitar 150 euro per malam. Mata di Andorra adalah euro.
Andorra de Vella, setelah saya datang, dan menyisir pusat kotanya ternyata adalah surge bagi tukang belanja. Barang-barang yang dijual sangat variatif.
Toko-toko kecil mendominasi, mengingatkan saya pada kios-kios di Tanah Abang. Paling banyak toko-toko yang menjual alat-alat elektronik kecil. Mulai smartphone, pc tablet, gadget mainan, kipas angin, blender, dan kamera.
Baju, tas-tas bermerek, jam tangan, perhiasan emas, sepatu, dan parfum, juga menjadi sasaran pembeli. Di Andorra, barang bermerek memang dijual lebih murah. Dijual di toko-toko resmi dan department store, sehingga pembeli yakin akan keasliannya. Barang elektroniknya pun punya garansi internasional.
Sebagai ibukota negara, penduduk Andorra la Vella tak sampai 23 ribu jiwa. Mungkin, hanya sebanyak penghuni kelurahan tempat tinggal saya di sebuah pelosok Jakarta.
Luasnya pun, setelah sya telisik di peta, Cuma tiga puluh kilometer persegi. Selain pusat belanja, tak banyak destinasi wisata di ibukota. Maka itu kami pun berjalan ke arah kota tua. Bangunan paling terkenal di kota tua adalah gereja Sant Esteve dan Casa de la Vall. Esglesia de Sant Esteve berlokasi tepat di dekat tempat masuk kota tua di Placa Princep Benlloch.
Gereja tua itu, setelah say abaca di sudut pintu masuknya, sudah berdiri sejak abad kesebelas masehi dan bergaya romanik di satu sisinya. Menara batunya terlihat dari dasar lembah Andorra la Vella. Gereja ini bisa dimasuki gratis di jam bukanya.
Bangunan batu Casa de la Vall yang terlihat kuno sebenarnya adalah gedung parlemen Andorra. Gedung ini tak terlalu besar, berlantai tiga dan berjendela kayu. Di luarnya punya relief dan patung.
Dari halamannya yang luas kita bisa memandang ke dasar lembah dan hijau pegunungan di sekitarnya. Masuk di bagian depan, saya melihat kursi dan meja kuno. Sebuah spanduk kecil menerangkan sejarah singkat parlemen Andorra dalam bahasa Inggris dan Spanyol. Ada tur khusus agar bisa melihat bagian dalam gedung.
Lewat sang teman saya diajak menyusri “Hiking de Rec del Sola. Tempat wisata yang cukup terkenal di sini adalah Rec del Sola dan Rec de l’Obac, keduanya adalah kanal yang mengalirkan air dari mata air di atas Andorra la Vella. Sisi kanal itu kemudian dijadikan trotoar dan berpagar kayu. Jadilah tempat asyik untuk hiking singkat bagi siapa saja. Panjang masing-masing jalan sekitar 2,5 km.
Gunung berselimut hijaunya pohon menjulang dari segala penjuru. Vila-vila kayu muncul di sela pepohonan lebat. Tebing batu menghiasi permukaan gunung. Di bawah sana, ibu kota belum menampakkan geliat aktivitas berarti. Matahari mulai muncul di antara gunung.
Kebun-kebun kecil milik penduduk kelihatan subur ditanami aneka sayuran. Saluran air di tepi jalan ternyata saluran terbuka selebar kira-kira setengah meter. Airnya bening dan dingin. Di beberapa tempat ada peringatan dalam bahasa Spanyol. Sepertinya pemberitahuan bahwa itu adalah air minum.
Sesekali saya berpapasan dengan penduduk lokal yang berjalan-jalan pagi.
Karena kotanya tidak terlalu besar, kami lebih banyak berjalan kaki mengitari tempat ersejarah. Kami mendatangi Jembatan La Margineda, jembatan tua di Margineda. Menurut satu situs, ini jembatan paling besar di abad pertengahan Andorra. Setibanya saya di sini, saya tidak menemukan apa-apa selain kesunyian. Hanya ada satu perempuan muda berhenti sejenak untuk memotret.
Selain jembatan batu yang sudah direnovasi, tak ada apa-apa lagi. Kokoh sekali terlihat jembatan tua ini. Sebagian jalannya ditumbuhi rumput. Ada jalan setapak di seberang sana. Jalur hiking. Sebuah papan informasi menjelaskan bahwa di seberang terdapat beberapa spesies tanaman yang bisa tumbuh di bebetuan kapur dingin dan lembap.
Destinasi berikutnya yang saya kunjungi adalah desa Encamp dan La Massana. Anda bisa naik bus atau taksi untuk menuju ke dua desa tersebut. Yang menarik dari desa ini adalah suasananya yang sepi sekali. Jarang ada kendaraan lewat. Rumah-rumah dan bangunan terbuat dari bebatuan, mungil, dihiasi bunga-bunga di dekat jendela. Di tempat makan beberapa orang sedang duduk santai di bangku-bangku luar.
Atraksi menarik di kedua desa ini adalah dua gondola gantung untuk mengangkut pemain ski. Meski tidak musim ski, pada musim panas, gondola masih berfungsi karena di atas gunung, terdapat restoran yang masih buka. Dari atas sana kita bisa menyaksikan pemandangan yang sungguh spektakuler.