Sepagi itu, di ujung pekan kemarin, ada pesan memaksa di hape saya.
“Kami tunggu di Tower..Datang. Jangan berdalih”
Wuah…berani-beraninya.
Pesan itu mengiringi dua calling atau panggilan tak terjawab beberapa menit sebelumnya.
Baik pesan memaksa, maupun dua call tak terjawab itu, memang terlewatkan oleh saya karena suara dering hape non aktif.
Tak ingin ada yang berisik.
Biasalah.
Di pagi itu, seperti biasanya, usai berolahraga di blang padang bersama istri, saya menyediakan waktu untuk menulis apa saja yang sedang “cas.” di kepala.
Untuk memelihara memori. Sekaligus “meraih sehat” Dan menghindar dari membeli sehat. Ya… berpikir positif.
Nah, kembali ke pesan dan call wa tadi. Saya tahu persis siapa orang dibalik nomor dan nama itu .
Ia seorang konsultan hukum ngetrend. Domislinya di Jakarta. Pernah magang di firma Makarim and Law. Firma hukum yang juga tempat magangnya Hotman Paris.
Firma hukum miliknya ayah Nadiem Makarim yang menteri pendidikan dan iptek.
Makarim yang bernama Anwar Nono didepannya ini memang punya firma hukum. Ia bukan orang sembarang.
Dulu pemimpin redaksi harian “KAMI.” Media yang melahirkan anak emasnya jurnalistik negeri ini. Sekelas Gunawan Mohamad, Fikri Jufri atau pun Cristianto Wibisono.
Ia juga tokoh enam puluh enam yang menumbangkan rezim Soekarno. Anak keturunan Arab dari Pekalongan.
Kalau masalah identitas si pengirim pesan nggak masalah. Saya sudah tahu belangnya.
Dulunya kami sama-sama di fakultas hukum dan pengetahuan masyarakat universitas syiah kuala. Ia masih junior saya tapi bersobat kental.
Usai di unsyiah ia ke Yogya untuk mendapat master di gajah mada. Terus ke Australia, Melbourne. Disanalah ia magang dengan Makarim yang membuka law firm.
Yang jadi soal justru kata Tower di pesan itu. Tempat ia mangkal ketika mengirim pesan. Saya mencoba mencari tahu ke istri. Jawabannya ringkas bernada jutek. “Nggak tahu.”
Karena “panik” saya jalan kaki ke kedai kopi yang selemparan batu dari rumah.
Ke kasir kedai kopi saya bertanya tentang Tower. Ia tersenyum. Untung saja tidak mencibir sembari berkata “bloon”
“Tower itu kafe pak” Dengan cermat ia rinci lokasinya. Wu.. alah… Kok sedungu ini saya. Lima puluh tahun penghuni Banda Aceh Tower saja nggak tahu.
Tak perlu menunggu lama, saya kembali ke rumah memacu mobil dan dalam hitungan menit sudah sampai di Tower. Ketemu. Langsung say hello.
Ada kangen-kangenan plus cipika cipiki. Maklum udah hitungan tahun nggak ketemu.
Ngopi….ngopi… katanya bersama dua teman lainnya, yang,anda tak perlu tahu nama dan identitasnya. Soalnya, mantan pejabat eselon dua di provinsi.
Di pertemuan itu kami ngalor ngidul. Ngomong saenak wae. Tanpa basa basi. Tapi yang paling sentral tentang penyakit ngopi warga Banda Aceh yang tak ketulungan.
Tentang trade mark kota “seribu warung kopi” yang dilekatkan untuk Banda Aceh. Seperti juga nama yang disandang Singkawang, kota seribu klenteng. Begitu juga dengan Lombok sebagai kota “seribu masjid” dan Manado “kota seribu gereja.”
Ketika pembicaraan makin intens tentang kota “seribu warung kopi” saya seperti tersentak. Kok saya alpa menginvestigasinya
Dan hanya mbalelo pada jargon yang makin riuh didengungkan. “Banda Aceh kota seribu warung kopi.”
Pendengung kota seribu warung kopi ini sendiri datang dari pejabat puncak kota. Sang walikota Aminullah Usman. Ia, seperti rajin saya kulik di medsos. tak henyi-hentinya “meuhambo”kan jaron ini.
Setiap pejabat luar yang berkunjung, apakah untuk tingkat region, pusat atau asing, selalu diajaknya ke warkop. Ia memperagakan bagaimana meracik dan menyaring kopi secara tradisional. Juga membujuk sang pejabat untuk ikut kerja freelance membuat racikan.
Tidak terkecuali pejabat sekelas Sandiaga Uno, yang menteri pariwisata dan ekonomi kreatif. Aminullah membujuknya untuk ikut berpesta racik dan saring kopi.
Lupakan dengungan Aminullah.
Usai bertemu ria dengan sang teman di Tower Kafe, kala menyusuri jalan pulang, saya mulai menghitung jumlah warung kopi secara acak.
Wuih…Rupanya di kawasan saya tinggal, jalan teungku di blang, ada delapan warung kopi ecek-ecek, sederhana hingga gede. Ada Taufik Kopi. Sebuah nama beken untuk tempat mangkal penikmat kopi yang buka dari pagi hingga pagi dan…. pagi lagi alias nonstop.
Padahal jalan teungku di blang, kawasan rumah domisili saya panjangnya cuma lima ratus meter. Dari jalan teungku di blang saya bergeser ke jalan syiah kuala.
Di kawasan terakhir ini lebih gawat lagi. Ada dua puluh warung kopi, yang pengunjung tiap kafe-nya tak pernah sepi.
Usai investigasi di dua jalan itu saya bergumam,”gawat.”
Gawatnya bisa macam-macam. Gawat penyakitnya. Bisa juga gawat perilakunya.
Nah gawat perilaku ini yang bahaya. Sebab stadiumnya tinggi. Bisa pecah kapal. Gawat yang ini nggak usah saya tulis lebih “depth news” lagi. Udah te-es-te. Tau masa tahu.
Sakingnya kecanduannya sang suami ngopi bisa terjadi perang “meriam tomong.” Perang meriam ancam mengancam.
Udahlah nggak usah dilanjut endingnya. Kan tau sendiri. Malah ada diantara pembaca yang mengalaminya sendiri.
Dampak lain? Ketergantungan. Kan sudah pernah merasakannya kala pandemi di puncaknya. Warung kopi tutup. Ekonomi pemilik lumpuh. Tenaga kerjanya ngelayap. Dan parahnya, para penikmat bikin kopi sendiri di rumah.
Rasanya? Macam-macam. Kepahitan. Kemanisan. Yang disalahkan terus gulanya. Pahit kurang gula. Manis kelebihan gula. Yang nggak pernah salah kan tukang raciknya.