Lasikin di pangkal zuhur yang terik ketika jilatan matahari tropis hinggap di landas pacunya. Pulau-pulau fatamorgana menjalar bagaikan genangan air di permukaannya dan mengicuh sorot penglihatan. Satu jam sepuluh menit lalu kami take off dari Polonia, Medan, menumpang pesawat komuter jenis cessna sembilan seat dengan harga tiket 600.000 per orang.
Pesawat tua dengan pilot bule itu sering mendegupkan jantung setiap ia melompati udara kosong hingga mengaumkan suara Allahu Akbar. Saat ia landing dan berjingkrak ditampar keplak angin laut di ketiaknya, kami berteriak aauuuu… Itu merupakan pengalaman kedua kami bersuara koor, aauuuu….setelah 40 menit lalu sang pilot berzig zag menghindari awan hujan dan terperosok udara hampa berpuluh meter usai melewati langit Karo hingga Dairi yang membuat badan sang capung itu berderak.
Lasikin, bandara kecil yang dibangun sebagai lapangan terbang perintis, berjarak tujuh kilometer dari Sinabang, hanya bisa didarati pesawat komuter jenis cessna dan foker. Dan kami memilih cessna sebagai angkutan ke Negeri Simelur hari itu selain tak ada penerbangan foker, juga untuk mencari sensasi menumpang pesawat kecil, sekaligus bisa menghemat hari.
Simelur atawa Simeulue adalah pulau di tiang tumbukan lempeng bumi euronesia dan australia di tengah samudera hindia. Irisan patahannya datang dari Turki, Iran Afghanistan hingga mencemplung ke Samudera Hindia. Persisnya di patahan semangka yang menyebabkan pulau ini bersahabat dengan gempa dan tsunami yang oleh anak negerinya disimak secara takzim untuk disalin dalam local wisdom bernama smong.
Smong, sebuah kearifan lokal, inilah yang menyelamatkan anak negerinya dari gigi gergasi laut pemakan tanah daratan dan menguburkan mereka di telapak samudera..
Masih ada pilihan lain untuk sampai ke pulau medium di Lautan Hindia ini. Lewat darat dari Medan atau Banda Aceh yang waktu tempuhnya bisa mencapai 16-20 jam dengan berganti transportasi penyebarangan feri di Labuhan Haji, 40 kilometer dari Tapaktuan, dengan ongkos Rp 60.000 per penumpang untuk ke ibukota pulau itu, Sinabang, yang berjarak 76 mil.
“Melelahkan,” cetus seorang teman ketika kami mewacanakan jalan darat sebagai salah satu alternatif untuk sampai ke Simuelue. “Delapan jam dengan mobil ditambah 8 jam penyeberangan feri. Itu kondisi normal. Tidak efesien,” begitu suara bulat kami untuk meluruskan lewat udara.
Kami ke Simeulue, kali ini, dengan acara tunggal, berburu ombak ke Nancala, sebuah desa pantai di Teupah Barat. Desa yang di musim barat, kala kami menjenguknya, memang sedang digelitik gelombang dengan ketinggian mencapai enam meter dan meninggalkan jejak buih yang berlarian menjilat pantainya sepanjang 60-100 meter.
Laut Nancala adalah sebuah destinasi yang tidak hanya menantang bagi penggila surfing. Tetapi juga sebagai mainan laut yang mengasyikkan dengan jingkrak ombak, angin laut, pasir putih dan degradasi biru dari uap asin yang ditampar cahaya matahari.
Perjalanan travelenge kami ke Nancala bukan sebuah kebetulan. Di ujung sore, tiga bulan sebelumnya, seorang kawan yang bekerja sebagai general manager biro iklan asing di Singapura menelepon untuk minta klarifikasi tentang Aceh, Simeulue, Nancala dan bagaimana cara untuk bisa bersua dengannya.
“Jangan alpa rincian anggaran yang harus diplot untuk waktu enam hari,” ingatnya sang teman. Dan di ujung percakapan ia menitipkan kalimat pendek yang sangat misterius, ”jangan tanya untuk apa.”
Kami memang tak bertanya untuk apa sang sohib datang ke Nancala. Dalam hitungan hari project proposal Nancala clear. Lengkap dengan peta wilayah, peta perjalanan dan alternatifnya, standar akomodasi, jenis konsumsi dan ongkos sewa mobil atau motor yang kemudiannya kami kirim lewat surat elektronik. Belum sampai hitungan minggu sang teman menjawab dengan sebuah pesan bernada perintah, ”kita ketemu di Medan.”
Ketika menginap di JW Marriot sang sohib beserta empat guide-nya menyingkapkan misteri Nancala lewat penggal kalimat, “anda jadi pemandu!” Saya menjawab, “sih oke,” ketika ia memperkenalkan anak, istri dan seorang rekan bisnisnya, Andrew Chang, Cina asal Taiwan, dan tersenyum untuk kemudian merendahkan nada bicaranya, “Kita berburu ombak ke Nancala.”
Saya mafhum kenapa pilihan harus ke Nancala. Mereka memang keluarga surfingaholic penikmat selancar. Dan saya juga tahu Nancala memang sebuah start pointer untuk destinasi surfing di Simeulue Bagian Selatan karena ada jepitan arus yang membuat ketinggian ombak, terutama di musim barat. Di sabuk laut dalamnya, nun jauh di tepian langit samudera sana, terjadi arus permukaan yang saling bertabrakan dan membuat gelombangnya terjungkat hingga ketinggian tujuh meter dengan alur hempasan yang panjang.
Nancala, Alus-alus, Salur, La’ayon, Batu Berlayar, Mincau dan Teupah adalah destinasi yang ketinggian dan gulungan ombaknya sangat menggoda komunitas peselancar dari kelas amatir hingga profesional. Dan seperti dikatakan seorang teman alumni geologi sebuah institusi pendidikan prestiseus, alun besar yang membentuk gelombang dan menjalar kala musim barat ke Nias, Pulau Banyak dan Simeulue berasal berasal dari alur palung laut yang menyembul dari patahan lempeng bumi di barat laut.
Sang sohib, yang saya panggil Mas Jenie, alumnus akuntansi sebuah perguruan di Los Angeles, amat paham dengan pembentukan ombak dan mempraktekkannya dalam tika tiki surfing. Ia pernah berburu ombak di Lombok mau pun Bali. “Tak asyik. Terlalu ribet dan nyaris jadi keroyokan,” katanya tentang Nusa Dua dan Senggigi atau Pulau Moya. Ia pernah merencanakan untuk datang ke Nias, tahun lalu, tapi gagal.
Mas Jenie menemukan Nancala secara berantai lewat pertemanannya dengan seorang manajer eksekutif area perusahaan perminyakan off shore asal New Zealand, Roger Stewart, yang pernah bekerja di Texas, ketika mereka bertemu di sebuah pub di Bangkok, dan kemudiannya saling chatting tentang magnet ombak laut Nancala yang berujung klarifikasinya kepada kami yang ia katakan dengan sedikit mengejek, “sebagai salah seorang pemilik negeri.”
Nancala. Saya sendiri semula mengira nama itu sebuah negeri di awan, seperti halnya negeri di naca yang selama ini sering menjadi olok-olok kami tentang negeri di pucok donya dan tak pernah berpijak di bumi. Nancala ternyata memang sebuah kampung udik di pinggir samudera, berpasir putih dan memiliki nama aneh, khas Simeulue.
Dan di Nancala pula papan selancar bisa meluncur di bawah lidah ombak yang meliukkan tabir ombaknya ke kiri dan kekanan mengikuti tekanan angin untuk memperpanjang waktu permainan sebelum ia pecah dan menaburkan buih sampai berkilometer sepanjang garis pantai.
Nancala memang pointer untuk berburu ombak karena jaraknya yang sangat dekat dengan Aura Surf Resort, sebuah akomodasi mewah bertarif sampai dengan Rp 500 per kamar untuk standar suite, tempat kami menginap. Aura Surf Resort juga menjadi pilihan kami karena dekat pula dengan Pulau Mincau dan Pulau Teupah, dua lokasi surfing yang tak kalah hebohnya dan bisa menjadi alternatif bila ombak terkulai di Nancala.
Memang ada dua akomodasi lainnya di Matanurung Busung. setingkat losmen, yang menurut Amrizal tempat kami menyewa satu mobil seharga Rp 350 ribu perhari dan dua motor dengan seharga Rp 100 ribu per unit per hari, biasa diinapi oleh turis lusuh yang duit dolarnya lebih banyak recehan ketimbang dolar kertasnya. “Mereka sangat culiki,” kata Amrizal untuk menyatakan kepelitan dalam istilah pulau. “Mereka lebih senang membonceng motor anak muda sini yang bangga berteman dengan bule tanpa pernah ada bayaran.”
Kami memilih tambahan sewa motor karena pergerakannya yang mudah dari satu lokasi ke lokasi lain. Mas Jenie sendiri sejak dari Medan telah berbisik kepada kami ingin mencoba seluruh destinasi surfing, yang hari-hari kami datang tidak semuanya sedang berombak tinggi.
Dua unit akomodasi di Matanurung Busung itu masing-masing bernama Raimond Losmen dan Baneng Island dengan bayaran per malam Rp.150 ribu- Rp.200 ribu satu kamar. Matanurung Busung, selain memiliki penginapan klas melati juga salah satu destinasi surfing.
Dari desa itu pula kita bisa menjangkau destinasi snorkeling dan diving yang keindahannya sulit ditandangi dan masih perawan ke Pulau Si Umat dengan menumpang jaloe atau sampan kecil yang bayaran maupun sewanya bisa di natura dengan pepsi atau mie lobster.
Nancala berjarak 30 kilometer dari Sinabang, kota kabupaten di Pulau Simeulue, yang sedang bergulat dengan keterasingan. Angkutan kesana lancar, walau pun ukuran lebar jalannya kecil dan ketika berpapasan harus saling menepi.
Negeri di tepian samudera dengan infrastruktur terbatas ini, seperti dikatakan seorang pemerhati wisata, hanya bisa didatangi oleh petualang karena memiliki transportasi terbatas, akomodasi yang minim dan pejabatnya tidak pernah tahu teknik menjual anugerah alam untuk menjadi lahan rezeki anak negerinya. []