Kuala Namu di awal delapan puluhan, ketika kami datang meng”investigasi” sebuah kasus pembunuhan adalah sebuah desa kecil yang terpuruk di tumit kabupaten Deli Serdang, sebelum kabupaten “paling kaya,” di Sumut saat itu, membelah jadi dua kabupaten. Satunya Deli Serdang, lainnya Serdang Bedagai.
Kuala Namu, ketika itu, hanya “noktah” kecil yang tak ada pentingnya untuk diintip. Kecuali ketika kami datang untuk sebuah rekonstruksi pembunuhan setelah dua mayat ditemukan di muara sebuah sungai kecil, yang kemudiannya menjadi berita besar karena salah satunya adalah pengusaha kaya keturunan di Jalan Asia Medan.
Kasus ini, setelah terungkap di pengadilan, adalah pembunuhan berencana dari sebuah keluarga Tionghoa menyangkut perebutan harta warisan.Dan itulah, mungkin, sepanjang ingatan kami Kuala Namu pernah menjadi “trending topic” di lintasan media.
Usai kasus ini, Kuala Namu terpuruk lagi. Tak ada yang pernah tahu dimana letak tanah kampong antah berantah itu berada. Ia kembali ditelan bumi dan mengendap hingga puluhan tahun, untuk kemudian menebar pesona ketika menjadi berita sebagai bandara paling modern dan terbaik di negeri ini.
Hari pekan kedua April lalu, setelah lebih dari tiga puluh tahun dipisahkan oleh jarak waktu, kami tersesat lagi ke Kuala Namu ketika ia sudah bersalin rupa dari sebuah tanah kosong dengan rawa-rawa kecil tempat penduduk me”bubu” ikan di air payau, menjadi landskap berarsitektur modern dengan penataan ruang dan bangunan, ya Masya Allah padannya.
Kuala Namu hari kami takziah, bukan lagi berada di noktah kecil peta Deli Serdang. Ia menjelma menjadi sebuah “kota” dengan sentra sebuah bangunan induk yang menjadi “ikon” keberadaannya sebagai sebuah bandara.
Hari kami datang, tak ada lagi bau amis dan kebun-kebun kecil yang dilingkar oleh tanaman sawit. Kuala Namu telah jadi “metropole” yang mengentutkan kota kabupatennya, Lubuk Pakam yang tak jadi-jadi sebagai kota “benaran.”
Hari itu pula, kami terpaksa menghitung fasiltas yang ia miliki untuk menjadikannya sebuah “metropole” sesungguhnya. Ia akan menjadi bandara, pertama, mungkin, yang terhubung akses kereta api. Akses yang kini secara riil telah “jadi.” Ketika Jakarta-Cengkareng masih menggantang “mimpi,” dan memerlukan waktu perjalanan Medan-Kuala Namu, “cuma” 30 menit dengan jarak tempuh, persisnya 29 kilometer.
Tak bisa dipungkiri Kuala Namu adalah bandara pertama, catat itu, di Indonesia dengan yang memiliki kereta bandara yang mengalahkan Bandara Soekarno-Hatta untuk urusan fasilitas prasarana layanan kereta ke bandara.
Kereta Bandara Kuala Namu saat ini memang belum bisa beroperasi karena bandara baru tersebut belum selesai dibangun seratus persen. Walaupun sejatinya sarana dan prasarana kereta bandara yang disiapkan PT Railink sudah siap beroperasi.
Transportasi ini akan melayani penumpang dari Stasiun Medan, di depan Lapangan Merdeka, hingga ke kawasan komplek Bandara Kuala Namu dengan melewati beberapa titik stasiun tanpa berhenti. Di Stasiun Medan pun ada jalur khusus yang melayani penumpang dengan tujuan Kuala Namu.
Ada jalur khusus untuk ke Kuala Namu. Ada city check in. Jadi yang ke Kuala Namu itu ada terminal kedatangan dan keberangkatan. Waktu tempuh ?
Ketika kami diperkenankan mengikuti tour ke bandara baru ini untuk uji coba idibutuhkan waktu 30-35 menit. Dan, kedepan, bila bandara ini resmi oparasi September mendatang kereta akan menjadi pilihan pertama para penumpang yang melakukan perjalanan menuju bandara atau sebaliknya. Sebab, waktu yang ditempuh lebih cepat satu jam bila harus lewat akses jalan. Entah kalau jalan tol nanti selesai dibangun.
Selain dimanjakan dengan kenyamanan kereta seperti full AC. Waktu tempu yang ringkas tentu menjadi suatu kebanggaan dari kereta bandara ini. Dan tahap awal PT Railink akan menyediakan 26 perjalanan kereta api, yaitu 13 perjalanan dari Kuala Namu-Medan dan 13 perjalanan kereta Medan-Kuala Namu. Sehingga dengan volume layanan per hari tersebut maka interval kedatangan kereta setiap 1 jam sekali.
Sebagai gerbang masuk turis, untuk menggantikan Polonia ,kelak, bandara Kuala Namu akan disiapkan menjadi “hub” untuk perjalanan lanjutan ke destinasi yang ada di Sumatera bagian Utara. Entah itu Nias, Toba, Sabang, Mentawai atau pun Batam. Untuk misi ini Kuala Namu akan menjadi bandara pengubung yang terbesar di Asia Tenggara.
Untuk mendukung perannya sebagai sumbu penerbangan di Sumatera, Kuala Namu memiliki i area parkir pesawat atau apron yang bisa menampung 33 pesawat. Bandingkan dengan Polonia hanya 11 pesawat. Bahkan pesawat A-380, yang kini menjadi “jumbo” terbesar di dunia bisa parkir di sini dengan leluasa.
Mau tahu daya tamping penumpangnya pertahun? Kapasitas tampungnya 8 juta penumpang setiap tahunnya. Bandingkan lagi dengan Polonia yang 900 ribu penumpang dan sekarang sudah overload ke pergerakann 7,9 juta.
Mau bandingkan lagi luas arealnya di banding Polonia? Kuala Namu menempati lahan seluas 1.365 hektar yang berarti sepuluh kali lipat dari Polonia yang 144 hektar. Dari sisi kapasitas terminal kargo, Bandara Kuala Namu mampu menampung hingga 65.000 ton, sedangkan Bandara Polonia hanya mampu menampung 50.000 ton.
Bila nanti Kuala Namu berfungsi, September mendatang, ia akan mengalahkan Banda Seokarno-Hatta, dalam kondisi sekarang, maupun Ngurai Rai di Bali. Ia akan lebih hebat dari Juanda di Surabaya, apalagi dengan Hasanuddin di Makassar dan Sepinggan di Balikpapan.