Laporan Mohamad Fikri, “nuga.co’
========
Kota Lama Semarang. Ketika saya datang untuk kali pertama ada daya tarik yang mengembalikan saya ke ke abad silam. Kala itu, akhir April 2014. Ketika terik matahari siang melelehkan ubun-ubun.
Magnet itu dimulai bentangan bangunan tua yang menumbukkan pandangan saya. Ke setiap arah. Asik.
Bangunan yang tersebar itu tampak relatif masih terawatt. Masih berbentuk bangunan, meskipun ada di antaranya sudah setengah roboh.
Tapi secara keseluruhan, kawasan lama berjuluk “Little Holland” ini jauh lebih menarik daripada kawasan yang berlabel Little Amsterdam – Kota Tua Jakarta.
Perwujudan seni dalam bentuk arsitektur bangunan mewarnai kawasan bekas kota bandar internasional yang terletak di pinggir pantai dengan muara Kali Garang yang bisa dilayari.
Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menggambarkan bahwa Semarang sejak dulu adalah daerah genangan Kali Garang.
Pram menulis, setelah jatuh ke tangan VOC pada 15 Januari 1678 maka mulai 1743 Semarang menjadi tempat kedudukan Gubernur Pantai Utara-Timur Jawa. Semasa kekuasaan Daendels Semarang menjadi kedudukan kepala Landrostambt dan semasa Raffles menjadi kedudukan Residen.
Arsitektur bangunan di kawasan Kota Lama Semarang beragam. Ada Gereja Blenduk yang dulunya disapa dengan “Nederlandsch Indische Kerk” bertahun 1750 dengan atap kubah yang dipugar pada 1894.
Di hadapan gereja ini berdiri gedung karya Thomas Karsten yang kini menjadi gedung Asuransi Jiwasraya. Jalanan di kawasan ini kini ber-paving karena terlalu sering diterjang banjir.
Tak lupa bangunan Stasiun Tawang yang mencoba tetep bertahan dari terjangan rob. Belum lagi Pasar Semawis yang menghidupkan Pecinan tak jauh dari Kota Lama.
Meski bagi warga Semarang, kawasan Kota Lama menjadi kawasan buangan yang kurang perhatian dari pemerintah setempat, namun bagi warga lain, seperti Jakarta, pastinya kawasan ini jauh lebih hidup.
Barangkali, dipadankan dengan Kota Tua Jakarta, kawasan Kota Lama Semarang punya bangunan hidup yang relatif lebih banyak, pun lebih banyak bangunan utuh lantas dipadu jalanan ber-paving tadi. Apalagi ketika melihat atap si Blenduk menyembul di antara bangunan tua lain, bernaung di bawah langit sore. Sempurna cantiknya.
Memang, jika dilihat seksama, kawasan ini belum tertata baik, semisal, begitu semrawutnya lalulintas kabel yang menghalangi pemandangan pada gedung-gedung tua di seluruh kawasan. Jadi mereka yang akan mengambil gambar harus berputar-putar mencari cara agar jalinan kabel yang berseliweran di atas tak menghalangi panorama yang akan diambil.
Keberadaan Semarang, menurut bacaan sejarah saya, diawali tahun 1476 dengan kedatangan utusan Kerajaan Demak untuk mengislamkan semenanjung Pulau Tirang, kini daerah Murgas dan Bergota, Semarang.
Kawasan yang subur ini, konon, pohon asem masih jarang, dalam bahasa Jawa menjadi arang, sehingga nama asem arang itu berubah menjadi Samarang kemudian Semarang.
Dalam buku “Kota Lama Kota Baru: Sejarah Kota-kota di Indonesia,” ada satu makalah berjudul Pemukiman Rakyat di Semarang Abad XX: Ada Kampung Ramah Anak, Radjimo Sastro Wijono menulis sejarah Semarang.
Radjimo juga menuliskan tentang orang China pertama yang ada di kawasan Pulau Tirang yaitu Sam Po Tay Djin yang sudah ada sebelum Ki Pandan Arang tiba di sana. Sam Po Khong, klenteng, menjadi tengara keberadaan Sam Po tay Djin.
Sejak abad 18 Semarang mengalami tiga kali perubahan batas kota dan di abad 19 kota ini disebut sebagai Kota Batavia kedua.
Di abad 19, pusat strategis kota dihuni oleh kelompok ras Eropa. Disebutkan oleh Radjimo, ras tersebut menghuni Zeestraat (kini Jalan Kebon Laut): Poncol, Pendrikan, kawasan Kota Lama. sebelah timur Jembatan Berok.
Sampai-sampai Domine Baron van Hoevell, seorang pendeta yang berkunjung ke Semarang tahun 1847 menyatakan, permukiman orang Eropa di timur Jembatan Berok itu seperti kota kecil di Eropa.
Kota Lama semula ada di dalam benteng yang konon dibangun 1705 dan dihancurkan pada 1824. Kota Lama terus berkembang hingga setelah 1945 Belanda angkat kaki. Kota Lama yang pernah jadi pusat politik dan ekonomi ini makin hari makin merana, ditinggalkan.
Sementara itu Jakarta dimulai pada 1527 yaitu ketika Fatahillah berhasil mengenyahkan Pajajaran dan Portugis dan mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Di tahun 1619 VOC yang dipimpin oleh JP Coen menaklukkan Jayakarta dan membakar kota itu untuk kemudian mendirikan Batavia. Kota ini terus berkembang ke arah selatan hingga awal abad 20 di mana Kalibesar menjadi etalase bangunan dan jadi pusat perekonomian.
Kawasan seluas 846 hektar itu kemudian juga ditinggalkan karena pusat ekonomi dan politik makin berkembang ke arah lebih selatan lagi ke arah pusat.
Jika revitalisasi kawasan Kota Lama Semarang sudah dimulai tahun 2003, maka revitalisasi Kota Tua Jakarta baru menyusul tiga tahun kemudian. Yang jadi soal barangkali luas wilayah.
Jika di Jakarta mencapai lahan 846 hektar maka di Semarang sekitar 30 hektar. Jakarta sudah memoles Jalan Pintu Besar Utara dan lantai Taman Fatahillah. Kini penggantian jalan aspal menjadi batu andesit juga sedang dikerjakan di Jalan Poskota hingga ke Jalan Lada.
Kondisi tanah, tampaknya tak jauh berbeda. Muka tanah di kawasan Kota Tua Jakarta makin turun karena kondisi air tanah Jakarta yang makin susut serta kondisi lingkungan yang memang buruk. Kota Lama makin porak poranda karena menjadi langganan banjir rob.
Jika memandang Kota Lama Semarang lebih baik dari Kota Tua Jakarta, bisa jadi karena memang jumlah bangunan tua tak sebanyak di Jakarta, selain itu dari sedikit bangunan kini beberapa pengusaha bertahan dan sudah masuk ke kawasan itu.
Yang pasti, tanpa kemauan yang sungguh kuat dari pemerintah dan dukungan stakeholder, rasanya revitalisasi akan berjalan bak siput merayap.