“Kalau ke Tapaktuan jangan lupa singgah di kedai mie abuih Mak Ali.” Itu bunyi pesan pendek yang saya kirim ke kotak masuk handphone Arminsyah, anak Taluak atau Tapaktuan, yang lahir, besar, menikah dan bertanah tumpah ruah di Jakarta, dan hari-hari sekarang sedang menikmati usia senjanya bersama segepok cucu, ketika mengabarkan kepada kami ia telah punya jadwal pulang kampuang, sekitar tiga bulan lalu.
Armin, begitu lelaki itu disapa, tiga puluh tahun lalu menjadi karib dengan saya ketika sama-sama menjalani ritual kehidupan di Pasar Senen. Persis di pertigaan Jalan Gunung Sahari, Kramat Raya dan Yos Sudarso. Persisnya lagi berseberangan jalan dengan Atrium Mall.
Kala itu saya kuli berita di lantai 4, tempat Majalah Tempo berkantor, dan Armin menjadi pemilik dua pintu kios sebagai leveransir produk Unilever di lantai dasar. Kami jumpa di sebuah warung nasi kapau, semacam nasi gurih, milik orang Bukitinggi, sama-sama bersantap usai dhuha, dan ketika saya berdialog dengan pemiliknya dalam bahasa jamee, yang kalau istilah kerennya “Padang tengkak”, Armin langsung menangkap aroma Taluak di uap bicara saya “Mirip cara dialog ayah dan ibu saya,” katanya buka rahasia setelah sekian tahun.
Tak perlu waktu untuk berbasa-basi. Ia langsung mendekati saya dan “menikam” dengan pertanyaan, ”Anda asal Tapaktuan?” Saya mengangguk dan langsung nyambung.
Itulah awal kami menjadi sohib hingga 31 tahun kemudian ketika ia mengabarkan ingin pulang ke negeri indatunya, dan saya mengingatkan kuliner pusaka mie abuih jangan dilewatkan.
Lupakan saja gombal pertemuan yang lebay itu. Mari kita kembali ke kuliner mie abuih Mak Ali. Menemukan warung mie Mak Ali tak memerlukan sketsa rumit untuk kota seukuran Tapaktuan. Terletak persis di depan SPBU atau galon minyak, begitu orang sana menyebut, di pinggir jalan negara.
Kawasan itu bernama Genting atau Gantiang tak jauh dari Kantor Bupati Aceh Selatan, dan mie abuih atau rebus, yang orang Banda Aceh menyebut mie kocok, sudah menjadi heritage kuliner di Tapaktuan. Termasuk sajian yang dihidangkan di tempat Mak Ali.
Warung Mak Ali tidak semacam kafe. Sederhana saja. Ruko dua pintu dengan bangku kayu, seperti warung lainnya yang meu-gampong. Mudahkan. Kalau agak ragu tanyakan saja di kerumunan orang yang sedang mengisi minyak motor dan akan dijawab dengan dagu ditegakkan, “tuuu…” mengatakan di situ.
Mak Ali (75 tahun) nama pemilik warung itu, sudah “dipensiunkan” anak-anaknya sejak terserang stroke empat tahun lalu. Namun, ketika kami singgah dengan Armin, yang seusai kabar kepulangannya kami juga mengikat janji ketemu di kampuang sebulan lalu, Mak Ali masih bisa menyimpan kenangan 60 tahun lalu, ketika masih berusia belasan tahun dan bekerja di warung kopi Yung Pa, seorang Cina asal Kwangtung, tempat ia menimba ilmu mie abuih.
Selama bekerja di warung kopi Yung Pa, Mak Ali menimba mendapatkan semua ilmu tentang mie abuih. Dan ia tak pernah hijrah ke pekerjaan lain hingga Yung Pa, tokenya, terusir dari Tapaktuan usai heboh “kodon,” pembunuhan, pasca-G-30S/PKI dan Mak Ali terkena imbas traumanya.
Mie abuih tak terkecuali milik Mak Ali tak terlalu heboh resepnya. Untuk bahan mie, seperti biasanya, ada adukan terigu, siraman air panas, sedikit garam untuk kemudian diaduk dan digiling serta diiris dan cemplungkan ke rebusan air panas. “Tak ada pengawet.”
Untuk kuahnya, seperti bikin sup. Bumbunya bawang putih, bawah merah, daun sup, merica, garam dan yang sedapnya lagi potongan tulang yang dicemplungkan. Sedaappp……
Masih ada lagi daging ayam yang digiling untuk kemudian ditumis dan diletakkan di permukaan hidangan mie abuih dengan taburan bawang goreng. Rahasia lain? “Itu paten milik kami. Tak boleh dibuka cara memasaknya. itu kan teknik,” kata Mak Ali tergelak tentang rahasia kenikmatan mienya.
Mie abuih Tapaktuan bukan hanya Mak Ali. Masih ada warung Mak Acem di Kampung Serong, persis di punggung Pasar Inpres, warung Yasri dan A Won Nusa Indah di pusat kota.
Taluak atau Tapaktuan memang “surga” kuliner mie abuih. Makanan ini telah ada sejak satu abad yang lalu dan sudah menjadi heritage negeri Selatan itu. Sebut saja mie abuih Pak Dulah Jawi di Desa Padang, yang juga ayahnya Yasri, mie abuih Yung Pa, Ca Guak dan A Ciak di kawasan Kadai Pasa di awal tahun lima puluhan.
Khusus mie abuih Yung Pa dan A Ciak masih dilestarikan oleh anak cucunya. Yung Pa diteruskan oleh cucunya di kawasan Peunayong, Banda Aceh oleh si Alex. Tepatnya di Gang Mabuk, di belakang toko asesoris kendaraan.
Sedangkan mie A Ciak dilanjutkan anak bungsunya di Blangpidie, Aceh Barat Daya, persisnya di depan terminal minibus L-300. Warung mie ini sangat terkenal di Blangpidie. Sangat laris dan tempat bersantap para pejabat, dari bupati hingga kuli pasar, dan membatasi jam jualan hingga pukul 16.00 WIB.
Untuk memuaskan selera berburu mie abuih selama di Tapaktuan, Arminsyah saya bawa ke semua warung, bahkan sampai ke Blangpidie ke tempat anak si A Ciak. Bahkan ketika di Tapaktuan, ia mengunjungi warung Mak Ali berkali-kali.
“Wuuaaahhhhhh enaknya Man,” komentarnya ketika menelepon setiba di Jakarta. “Saya ziarah ke kuburan ayah dan ibu saya sembari membisik telah melihat negerinya dan menikmati mie abuih yang selalu ia ceritakan.” []