Rumah kopel memanjang di gang melingkar itu telah lama berganti pemilik.
Juga berganti rupa.
Gang kecil, yang dulunya sangat terkenal sebagai hunian elite birokrat. Bernama ke”belanda-belanda”an, spoordex. Diucapkan spordex. Spordex yang telah bersalin nama. Jalan linggar waru.
Ketika saya datang beberapa waktu lalu sempat nanar mengenangnya sembari berbisik.
“Kok berganti nama ya,”
Sebuah nama, entah dari reinkarnasi mana datangnya, sehingga mengubah pula bentuk bangunan kopel memanjangnya dengan ruko dan rumah-rumah gaya minimalis.
Spoodex.
Spoor dan dex.
Dua kata bahasa Belanda.
Kereta api dan tanggul.
Spordex, memang tanggul rel kereta api, dulunya
Dex yang dibangun Belanda di awal penaklukan Aceh.
Lebih dari dua abad setengah lalu. Untuk memudahkan mobilitas logistik dan pasukan dari Uleue Lheue ke Koetaradja sepanjang lima kilometer.
Melintasi Pekan Aceh, Lampaseh, Deah Baro maupun Deah Geuleumpang.
Spordex, tanah tanggul kereta api itu, entah bagiamana awalnya, diadopsi untuk sebuah nama “cluster” hunian di tengah kota oleh seorang Yunani muda, Petros Franxiscus Handziris.
Kluster sangat terkenal bagi warga Banda Aceh kala itu. Hunian elite birokrat berstatus rumah sewa. Hunian yang dicatat sebagai properti pertama di Koetaradja
Handziris memang “tuan” rumah sewa di Koetaradja.
“Tuan” dengan status sosial tinggi di lingkungan pergaulan elite kota dengan menabur kepemilikan kluster rumah sewa. Kepemilikan rumah sewa yang tidak hanya di gang melingkar Spordex
Tapi juga merambah ke jalan Cut Meutia, samping Java Bank. Kini gedung bank indonesia dan telah jadi barisan pertokoanhingga ke Merduati.
Di Merduati jejak properti Handziris masih bisa dilacak lewat ingatan banyak penduduk Banda Aceh.
Letaknya, ketika itu, agak terperosok di pantat jalan “tusuk sate,’ Muhammad Jam – Merduati. Persisnya di barisan toko buku Zikra, sekarang,
Sebelum dibangun jalan tembus, ujung Muhammad Jam.
Gangnya berkelok dari arah sebuah jembatan kecil di samping rumah panggung, kantor legiun veteran, dan tembus ke depan kantor majelis ulama sekarang.
Lokasinya agak tersembunyi di belakang kerumunan bangunan.
Rumah kopel Merduati hanya satu baris, sebanyak enam unit. Bangunannya dari kayu berjendela tinggi dari kaca. Dan sebagai rumah sewa, seperti Spordex maupun samping bank indonesia, penghuninya selalu gonta ganti.
Spordex, rumah kopel Cut Meutia dan kopel ujung jalan Muhammad Jam, memang tidak bisa dipisahkan dari Petros F Handziris.
“Tuan Muda,” sebagaimana tertulis di nisannya, yang datang ke Koetaradja dari sebuah kota kecil berteluk indah, Tinos di Yunani, yang juga tercatat sebagai kota kelahiran Tina, istri raja kapal Onasis
Ia datang ke Koetaradja dalam usia sangat remaja. Tujuh belas tahun.
Sebelum ke Koetaradja, menurut berbagai informasi, tuan muda Ziris, sempat singgah dan menetap sementara di Medan. Ia punya paman dari garis ibu yang telah lama menetap di sana dan juga menekuni bisnia rumah sewa.
Sang pamanlah yang “mengundang” Ziris ke Hindia Belanda dan membekalinya dengan modal untuk membangun rumah sewa di Koetaradja.
Saya pernah mendatangi Ziris kala ia sudah sepuh. Ziris bertongkat balutan gading, berbaju putih. dan mengiyakan sejarah kepemilikan rumah sewanya,
Sebagai wartawan muda kala itu, saya ingin meluruskan lewat crosscheck sejarah properti itu ke sumbernya.
Ia membenarkan hunian itu dibangun di tahun-tahun pertama abad lalu. Dalam dua type
Type pertama, sebanyak lima belas unit. Berbentuk kopel dua. Bergaya semi art deco, permanen, di sisi utara.
Sedangkan di sisi selatan juga bangunan berbentuk kopel memanjang sebanyak sepuluh unit bangunan kayu.
Satu dari lima belas bangunan permanennya, di sisi utara, ditempati oleh lelaki kelahiran itu, hingga akhir usianya
“Saya masih ingat rumah yang ditempati Handziris. Ada pahatan namanya di atas pintu utama disertai gambar bendera Yunani sedang berkibar.”
“Sekarang saya tidak tahu apa masih ada pahatan itu,” ujar Teuku Bahrum kala pemilik Hotel Rajawali masih menjadi teman saya di tahun tujuh puluhan.
Bahrum yang sudah berjirat itu dipenghujung tahun limapuluhan pernah tinggal di Spordex dan beristrikan anak salah seorang penghuni disana.
Bahrum memang bisa dengan pas mengingat rumah tinggal Handziris karena ia pernah menjadi penghuni salah satu rumah sewa di situ.
“Saya lama tinggal di Spordex dan tahu penghuninya, kala itu. Mereka para pejabat penting. Ada Pak Binsar, kepala kantor statistik, jaksa Darwis, bupati Tengku Sulaiman, Cut Rahmah dan banyak lainnya,” kenang Bahrum yang bisa saya salin hingga hari ini
Komunitas Spordex, waktu itu, menurut Bahrum, sangat beragam. Plural. Baik dari suku, agama maupun status sosial.
“Tapi harmoni. Kami seperti keluarga besar. Mungkin pengaruh romantisme pasca perang,” ujarnya.
Yang saya ingat ia sempat melayangkan ingatannya ketahun limapuluhan ketika ia menjadi salah seorang penghuni gang melingkar di pangkal jalan Diponegoro itu.
Bahkan, menurut Bahrum, hingga kini, ia masih rajin berkomunikasi sesama mantan penghuni. Ia menyebut anak-anak Pak Binsar atau anak-anak Pak Sitompul yang telah jadi “orang.”
Bahkan anak Pak Darwis, asal Minang, beberapa orang diantaranya menjadi tentara dan berpangkat jenderal. Begitu juga dengan anak Pak Sitompul yang pernah jadi jenderal dalam posisi penting di TNI-AD
“Mereka rata-rata sukses karena mendapat pendidikan yang baik,” katanya serius..
Linggar Waru, atau Spordex, kini tak lagi dengan wajah maupun suasana semasa Handziris masih datang mengutip uang sewa.
Dan tidak juga seperti yang bisa dikenang Teuku Bahrum ketika masih berdomisili di sana. Handziris telah berpulang, dan dikebumikan di pekuburan Kherkof.
Rumah-rumah Handziris, baik yang permanen maupun bangunan kayu, di Spordex telah beralih kepemilikan.Ada diantara rumah itu yang alih kepemilikannya berlangsung lebih dari sepuluh kali.
“Tak ada lagi pemilik lama di sini,” kata salah seorang penghuni di barisan rumah permanen tanpa ingin disebut namanya. Ia sendiri mengaku menjadi pemilik kedelapan.