Pekan lalu, air mineral merek aqua galon raib dari pasar Banda Aceh. Banyak pelanggan mengeluh, mengumpat dan akhirnya kecewa. Sebulan sebelumnya, kecap “nuga” eeee….. bukan, kecap cap bangau menghilang hampir dua bulan. Isu yang berkembang, produk tersebut akan berganti kemasan. Ternyata tidak, dan tak ada kemasan yang diupdate setelah ia masuk pasar lagi. Padahal seorang nyonya rumah, yang fanatiknya kelewatan dengan taste kecap cap bangau, terpaksa memesan setengah kardus kepada anaknya di Jakarta.
Sebelumnya juga, sampo sunsilk pernah langka, tapi tak menghilang, selama berminggu-minggu tanpa ada kejelasan kelangkaannya.
Kalau mau kita urut dalam rentang waktu yang panjang, kelangkaan ini akan berjejer di daftar listing pedagang. Apalagi kalau sayur mayur dan buah-buahan dimasukkan dalam daftar tersebut.
Sebut saja mulai dari kentang, wortel atau pun tomat. Tambahkan dengan jeruk brastagi, lengkeng, salak, untuk menyebut sekian dari banyak nama buah-buahan. Bahkan untuk jeruk seusai kelangkaannya, lalu kini harganya bertengger di Rp15.000 hingga Rp.20 ribu per kilogramnya di tingkat pengecer.
Di zaman konflik, ketika kondisi keamanan kacau dan arus barang dari luar tersendat, Aceh betul-betul papa. Tidak hanya keamanan fisik yang terganggu tapi kebutuhan makanan juga gonjang ganjing.
Ketergantungan bahan makanan di Aceh dari luar, terutama Medan di Sumatera Utara, selama tiga dekade ini, memang makin menjadi-jadi. Bahan kebutuhan pokok atau istilah kerennya sembako (sembilan bahan pokok -red) sudah tidak tertolong lagi dengan produk lokal. Sebutkan satu persatu jenis beras yang menjadi konsumsi masyarakat sini. Mulai dari ramos, piring nasi, pulen tanak sampai ke pulen Cianjur.
Kemana perginya beras Tangse, beras Meureudu, Blang Bintang ataupun kalau di Blangpidie sana beras sigupai. Semuanya sudah ditenggelamkan oleh merek impor yang didatangkan dengan truk tronton. Minyak makan? Selain sudah bermerk, yang sejenis minyak malinda saja kita tak punya.
“Ini sebenarnya sebuah tragedi. Ini ketergantungan yang luar biasa dan menyebabkan orientasi ekonomi dan pasar kita rawan dipermainkan tengkulak dan spekulan dari luar, terutama Medan,” kata Rustam Effendi, ekonom Universitas Syiah Kuala, ketika kami bertemu dan berdiskusi beberapa waktu lalu.
Kami juga mengungkit kondisi Aceh pasca tsnumai ketika proyek rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung dengan durasi dana mencapai Rp 60 triliun. “Apa yang tersisa di sini,” gugat Rustam. Yang terisa dari dana dalam jumlah raksasa itu hanya untuk membayar tanah uruk, pasir, batu gunung dan makan nasi gurih pagi.. Itu pun kalau tidak dibelanjakan lagi untuk bahan masakan atau membayar ongkos holiday ke Medan oleh pengusahanya.
Batu bata saja, pada waktu itu didatangkan dengan tronton dari Medan dan ponton dari Batam. Tukang dan keneknya berasal dari Brandan hingga Labuhan Batu dan bagian lainnya dari Kebumen, Sidoarjo maupun Situbondo di Jawa sana.
Diskusi itu belum lagi menggelontorkan angka komoditi Aceh yang diekspor lewat Belawan dan sebagainya menyelinap menjadi nilai ekspor provinsi tetangga itu. Katakan dengan jujur tentang ekspor kelapa sawit, karet, coklat, pinang, pala, nilam, kopi dan entah apa lagi yang manifesnya tak menyebut pelabuhan dan bank devisa di Aceh.
Untung saja zaman sekarang tidak ada lagi kebijakan dan peraturan alokasi devisa otomatis (ADO) khusus komoditi dan produksi non-migas, dimana daerah ekspor mendapat reward dalam bentuk proyek dengan anggaran khusus.
Kalau sistem ADO itu masih berlaku, pangsan kita dibuatnya. Dan akan sibuk pemerintah provinsi dan kabupaten mencocokkan angka produksi suatu komoditi dengan angka eskpor. Kita akan bertengkar setiap tahun dengan pemerintah pusat tentang kebenaran angka dan nilai devisa yang diperoleh.
Saya punya pengalaman ketika diajak Mustafa Sulaiman yang di kalangan kerabat dan teman dekatnya disapa dengan Van Mook, karena posturnya tinggi besar, mirip dengan Gubernur Jenderal Belanda di ujung tahun empat puluhan, menghitung angka produksi kopi arabika dikurangi konsumsi lokal dan regional untuk mendapat angka yang bisa didekatkan dengan jumlah ekspor dan nilainya.
Bang Mus, begitu saya membasakan dia, waktu itu salah seorang Ketua DPP AEKI (Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia) yang kerjaannya menyepakati kouta diantara anggota, telah lama geram melihat ekspor kopi arabika menjadi milik Sumatera Utara. “Mereka tak punya arabika. Mereka hanya punya produksi robusta di Sidikalang, Dairi. Kita harus rebut kembali hak kita,” begitu Bang Mus bersemangat. Hasil kerja Bang Mus asal Desa Lambhuk berhasil, walau tidak seratus persen.
Masih untung Aceh, usai konflik, mendapat alokasi dana otonomi khusus dan sistem ADO sudah dihapus pasca reformasi. Alokasi dana otonomi khusus yang berdurasi hingga tahun 2030 dengan nilai yang disepakati sebesar Rp 60 triliun, setelah lima tahun berlalu dan dibelanjakan secara uroe raya klieng dengan program meulanget.
***
Ketika air mineral galon merek aqua, pekan lalu, benar-benar hilang bak di telan bumi, di sebuah toko serba ada (toserba) milik turunan cina, seorang wanita paruh baya yang sudah keliling untuk mendapatkannya mulai dari Lamteumeun hingga Darussalam dan dari Lambaro terus ke Lampulo, tapi tak menemukannya, menghamburkan umpatannya, “apa sih hebatnya negeri……… , air aqua saja tidak punya.”
Umpatan kekesalan itu tak perlu dipersalahkan. Yang perlu diluruskan, air mineral aqua galon itu memang bukan produksi negeri ini. Ia datangkan dari negeri tetangga sana dengan harga yang dilipatkan. “Harganya cuma Rp 10 ribu hingga Rp 11 ribu per galon di pasar eceran di Medan” bisik A Pong, pemilik toko tempat wanita itu mengumpat. “Di Banda Aceh tahu harganya? Rp 18 ribu sampai Rp 20 ribu per galon.”
Umpatan sang wanita tidak tidak seluruhnya benar. Dulu Aceh pernah punya pabrik destilasi air mineral dengan label mount aqua. Perusahaan yang dimiliki sahamnya oleh sekumpulan pengusaha asal Aceh dan PT Pupuk Iskandar Muda itu, kini, tak ketahuan lagi keberadaannya. Ia datang di masa jaya Zona Industri Lhokseumawe (ZIS) dan raib semasa konflik.
Menurut desas desus yang menyelinap ada friksi di antara pemiliknya yang tak bisa diselesaikan secara duek meupakat. Malah ada cerita lain lagi yang kesahehannya sulit dicerna, dan tak perlu harus diungkapkan untuk dijadikan gosip di ranah publik negeri ini.
Yang kami tahu, air mineral berlabel mount aqua secara kualitas, menurut hasil Balai POM Aceh, kala itu, setingkat berada di atas merk aqua yang terkenal itu. Galonnya saja, bukan airnya, sering ditawar untuk ditukar dengan lain. Galon plastiknya diminati karena tangguh dan tidak mudah pecah.
Cerita mount aqua memang cerita sedih ketika air mineral jenis galon label aqua raib dari pasar dan kita tidak memiliki pilihan lain yang setara kualitasnya. Memang ada air bersih isi ulang, tapi tidak seluruh rumah produksinya pakai standar higienis layak kunsumsi.
Sama sedihnya kita ketika beras Tangse dan beras sigupai tinggal hikayatnya, serta beras Blang Bintang mulai mengelupas dari ingatan penduduk. Yang kini terkenal di kampung-kampung adalah beras raskin (beras untuk penduduk miskin) berlabel Bulog dengan logo kembang.
Kita setuju ucapan wanita yang geram tak mendapat air mineral aqua galon yang bernada garang, “apa hebatnya negeri….” Tapi kita juga setuju bila pemerintah negeri ini membangun industri hilir agar minyak malinda tidak lagi datang dari Medan sana. Membangkitkan pabrik air mineral semacam mount aqua dan ladang-ladang sayur di Jagong Jeget, merawat jeruk Pante Buaya atau Jeruk Patek serta mengembalikan kebun di Trumon pasca hengkangnya saudara transmigrasi kita. Pertanyaannya, apa kita mau? []