Penulis “nuga.co” Darmansyah, yang juga wartawan senior, mereview kembali tentang kejayaan dan kehancuran tanaman pala di Aceh Selatan dengan mengungkit sejarah penyebaran dan produksinya. Ia mendatangi sentral produksi tanaman ini di pelosok desa dan berdialog dengan petani, pedagang dan penduduk. Inilah laporan investigasinya yang merupakan bagian dari tulisan di “nuga tama” tentang jejak rempah-rempah di bumi Tapak Naga.
Kutabuloh, Minggu siang yang senyap. Pusat kota Meukek ini seperti mati gairah ketika kami singgah di sebuah “kedai” agen pala Cut Ichwan. Tak ada lagi gemerincing harga dan antrian penjual yang menukarkan sukatan “aree” buah “kehidupan” itu dengan beras dan rupiah kumuh bergepok.
Seharian itu, Cut Ichwan baru mengumpulkan sepuluh “aree,” untuk takaran bambu, atau pun ukuran sukatan dua liter. “Ini pun sudah terbilang banyak. Kan hari ini Minggu. Banyak orang ke kebun. Tapi beginilah kondisi nasib dagangan kami,” kata pengumpul pada tingkat agen terendah itu tentang produksi pala di daerahnya.
Cut Ichwan tak bisa menyembunyikan kegelisahannya ketika kami menyongkel memorinya untuk kembali ke tiga puluh tahun, ketika Meukek menggamit kemakmuran lewat ekonomi pala. Lelaki sepuh yang berdagang di “toko” tua hasil renovasi puluhan tahun lalu itu, bertiang kayu dan berdinding papan, dan kelihatan di”makan” zaman hanya bisa menggeleng dan menerbangkan ingatannya kala pala berbuah rezeki.
“Wah, makmur sekali. Inilah buktinya,” katanya menunjuk pada tokonya, yang ketika merupakan bangunan “mewah” menurut ukuran kota kecamatan. Cut Ichwan memang makmur. Selain berdagang sebagai agen pengumpul dengan kemampuan hingga 300 bambu perhari ia juga memiliki kebun dengan jumlah batang 100. “Kala itu punya 20 pohon saja sudah bisa menghidupi keluarga. Apalagi macam saya punya seratus pohon yang menghasilkan dua puluh bambu sehari. Harga per bambu ketika itu sama dengan dua bambu beras. Sehari kalau berter dengan beras saya bisa menghasilkan sekarung besar beras,” katanya terbahak.
Ichwan memang tidak bisa menjelaskan harga pala dengan nilai rupiah. Kebiasaan masyarakat petani pala memang membandingkannya dengan beras. Dan itu sering dipertukarkan oleh petani untuk kehidupan sehari-hari.
Kini, hari kami berkunjung ke Meukek, pala yang nama latinnya disebut dengan “myristica fragan haitt,” nyaris punah dari kebun-kebun petani. Selama tiga puluh tahun terakhir, tanaman yang berpohon rimbun, tinggi dan sangat kuat tegakannya di bawa Marcopolo dari avanturirnya di nusantara, sudah lama didera penyakit ulat yang menggerek batangnya untuk kemudian tamat riwayatnya.
Tanam asli Banda di Maluku, yang menurut catatan sejarah menyebar ke Sumatera pada abad ke-12 dan ternyata cocok dengan struktur tanah di Aceh Selatan, setelah penanamannya di pesisir Pariaman,Sumatera Barat, tak pernah berproduksi.
Sebagai tanaman untuk rempah-rempah yang diburu oleh petualang dari Europa, Tongkok dan India, biji pala dan fulinya juga menghasilkan minyak atsiri lewat penyulingan dan sangat diperlukan bagi pengawet makanan kaleng, minum-minuman, obat-obatan dan salah satu bahan penting di industri kosmetika.
Aceh Selatan pernah tercatat sebagai lintasan perdagangan rempah-rempah, terutama pala dan lada, dari pedagang dari Europa dan Amerika. Mereka membuka hubungan dengan dengan “kerajaan-kerajaan” kecil di pesisir barat ini dan menukarkan Kapal-kapal dagang negara-negara itu biasa memasuki bandar-bandar kecil untuk mengumpulkan rempah-rempah itu.
Tercatat dalam sejarah pelabuhan Kuala Batee, kini masuk kabupaten Aceh Barat Daya, pernah diporak-porandakan oleh mariner Amerika karena menyandera kapal dagang beserta awaknya selama tahunan karena dianggap curang dalam berdagang.
Bukti dari pengiriman mariner ini masih ada di Museum Boston, Negara Bagian Massachuset, dalam bentuk benda-benda yang dirampas mariner. Catatan pengiriman mariner pertama selama keberadaan Negara USA itu masih utuh di Perpustakaan Kongres di ruang Asia Tenggara.
Sebaran tanaman pala di nusantara di mulai dari Maluku, Papua Kepala Burung, Sanghie Talaud, Bengkulu dan Aceh pesisir barat bagian Selatan. Di Aceh Selatan, pala pernah menjadi komoditi utama. Petani di daerah itu terjebak dalam pola tanaman monokultur, seperti di Meukek. Dan begitu pala tidak berbunga lagi, ekonominya pun terkubur ke dasar kemiskinan.
Selain Meukek sebagai penghasil utama, Tapaktuan, Labuhan Haji, Samadua, Manggeng dan Kuala Batee juga merupakan area perkebunan pala rakyat. Semua kawasan itu, kini mengalami pasang surut kehidupan karena hancurnya tanaman mereka oleh serangan hama penggerek batang.
Upaya untuk melawan penyebaran hama itu sudah dilakukan bertahun-tahun dengan mengundang ahli tanaman dan hama dari IPB Bogor. Hasilnya tak pernah tuntas. Bermacam upaya dilakukan dengan memasukkan obat-obatan dan racun ke lobak yang digerek oleh ulat. Tapi tak berhasil. Para ahli dari IPB juga sudah menyerah mencarikan upaya pemusnahan hama tanaman itu.
Petani juga sudah kehilangan akal sehat melawan hama ganas ini. Mereka pernah manutup lobang yang digerek dengan air tembakau, aspal atau racun tikus. Semuanya gagal. Bahkan dengan pengasapan sekali pun, juga tak berhasil.
Kini dari areal seluas 80 ribu hektar tanaman pala dengan ribuan ton buah dan fully yang pernah dihasilkan oleh Aceh Selatan, yang tersisa Cuma sekitar 20 ribuan. Itu pun tidak pernah menghasilkan produksi minimal.
Memang ada upaya peremajaan tanaman yang dilakukan petani dengan menebang pohon-pohon yang layu dengan bibit baru yang diyakini tahan hama. Tapi tak sedikit pula yang layu sebelum berbunga.
Ketika kami berkunjung ke Jambo Papeun, tempat areal peremajaan di pedalaman Meukek, pohon pala memang mulai tegak dan menaburkan wangi fuly dari rekahan buah awalnya. Para petani mengatakan, perawatan tanaman yang mereka lakukan memang sangat intensif terutama mencegah tanaman dari sebaran hama lewat sterilisasi areal.
Para petani membagi sekecil apa pun informasi untuk mencegah datangnya ulat penggerek. “Kami memang kerja ekstra keras untuk melindungi tanaman ini,” kata Mawardi kepada “nuga.co” yang berkunjung ke kebunnya..
Di Lhok Rukam, bukit terjal di pinggiran Tapaktuan, petani juga telah meremajakan tanamanya. Mereka telah mengadopsi bibit yang diperkenalkan oleh tim ahli tanaman dari IPB. “Hasilnya bagus. Tanaman yang berumur delapan tahun sudah mulai berbuah. Kami merawatnya ekstra hati-hati,” kata Muthalib yang dulu memiliki 120 batang pala yang menyelimuti bukit kecil di ujung perkampungannya.
Kini, kata Muthalib, lebih dari 150 pohon yang sudah ia tanam secara berjenjang. “Insya Allah, semuanya bisa selamat dan kami bisa menggantungkan hidup dari hasil tanaman ini,” katanya dengan hati berbunga.
Mengenai kondisi harga dan tata niaganya, baik Ichwan, Muthalib maupun Mawardi tak pernah khawatir. Mereka menamakan tanaman ini sebagai investasi jangka panjang. “Ya sering gonjang ganjing juga. Tapi kan tak perlu khawatir. Produksinya bisa disimpan. Kalau harga anjlok nggak usah di jual. Begitu harga bagus kita lepas,” kata Muthalib yang kakek, ayah dan dirinya merupakan “keluarga” pala.