Louis van Gaal menjungkirbalikkan semua prediksi dengan membuat laga “Derby of England,” ketika Manchester United melumat Liverpool tiga gol tanpa balas pada pekan keenam belas Premier League , Minggu malam WIB, 14 Desember 2014, di Old Tarfford, begitu mudah dan santai.
Semula, hampir semua prediksi pengamat bernada menakutkan. Semuanya sepakat mengatakan laga “dua” Merah itu akan berlangsung “payah” dan bakal diakhiri dengan skor akhir seri.
Tapi, bagi van Gaal, pelatih Manchester United, semuanya terasa sangat mudah ketika tiga gol dari Wayne Rooney, Juan Mata dan Robin van Persie menyelesaikan semua kerumitan yang dibuat oleh pengamat maupun analis sepakbola Premier League.
Tiga gol ini pula yang menghentikan syair lagu yang digemakan dari tribun timur Stadion Old Trafford oleh “Anfield Gank” terasa hambar dan tak memiliki bunyi.
Cuplikan lagu tersebut selalu menyertai Liverpool, kala klub legenda dari “kota pelabuhan” di barat daya Inggris itu bertanding. Lagu yang sudah berusia 122 tahun, atau sama dengan usia tim “burung besi itu.
“When you walk through a storm
Hold your head up high
And don’t be afraid of the dark
At the end of the storm
Is a golden sky.”
Lagu itu, seperti ditulis dengan kalimat satire oleh “The Mirror,” tak mampu menggerakkan berpihaknya kemenangan bagi Liverpool seperti yang terjadi delapan bulan lalu ketika mereka menghantam “The Red Devils” di “Teater Impian” Old Trafford juga dengan angka tiga gol tanpa balas.
“Impas,” tulis “Mirror” dengan sendu atas kekalahan Liverpool ini. Bahkan “Daily Mail,” surat kabar paling prestise terbitan London menulis di “headline”nya dengan kepala berita, “Liverpool Lost at Old Trafford.”
Laga kedua tim, yang selama sepekan terakhir, selalu mengisi “breaking news” media Inggris, ternyata usai dengan begitu mudah bagi van Gaal. Dan Manchester United memancangkan kakinya dengan kokoh di posisi tiga untuk memulai balapan mengejar trofi Premier League bersama Chelsea dan City.
Berlainan dengan United yang mengemas enam kemenangan di laga Liga Primer, Liverpool justru menuai badai, setelah kekalahan tim Anfield ini di Old Trafford.
Kekalahan telak tiga gol tanpa balas dari Manchester United, menjadi pukulan terakhir yang diterima oleh Liverpool, setelah sebelumnya tersingkirkan di Liga Champions, setelah gagal bersaing dengan wakil Swiss, FC Basel.
Kepanikan di lini belakang, kreativitas yang hilang di lini tengah, serta para penyerang yang tampak lupa bagaimana caranya mencetak gol ke gawang, merupakan potret perjalanan ‘The Reds’ pada musim ini.
Jauh berbeda dengan wujud mereka pada musim lalu, saat bercokol di peringkat kedua Liga Primer Inggris.
Hingga pekan ke-enam belas, pencetak gol terbanyak bagi Liverpool adalah gol bunuh diri pemain lain, dan pertahanan klub kota pelabuhan ini juga terpuruk di peringkat kesembilan, tertinggal delapan belas poin dari pemuncak klasemen sementara dan hanya berbeda sebelas poin dari peringkat terbawah liga saat ini, Leicester City.
Merosotnya penampilan Liverpool setelah mereka nyaris menjuarai Liga Primer satu musim sebelumnya, mengingatkan era kepelatihan Rafael Benitez pada enam tahun lalu.
Dengan bermaterikan pemain-pemain seperti Xabi Alonso, Javier Mascherano, Dirk Kuyt, hingga Fernando Torres di masa keemasannya, pelatih asal Spanyol tersebut berhasil membawa Liverpool pada peringkat kedua, sebelum terjun bebas ke peringkat ketujuh satu musim berikutnya.
Banyak pihak berkomentar kejatuhan Liverpool yang begitu mematikan pada musim lalu disebabkan oleh kegagalan mereka menemukan pengganti yang sepadan dengan sosok Luis Suarez yang begitu fenomenal di Anfield pada musim lalu.
Penyerang Uruguay tersebut berulang-kali menjadi inspirator sekaligus penyelamat Liverpool di saat mereka mengalami kebuntuan.
Namun setelah kepergiannya ke Barcelona pada musim panas ini, Liverpool seakan kehilangan arah setelah Rickie Lambert, Mario Balotelli, maupun Daniel Sturridge — yang terus-menerus berkutat dengan cedera– gagal melakukan tugas mereka sebagai penyerang, mencetak gol.
Pemain-pemain yang didatangkan seperti Lazar Markovic, Emre Can, Adam Lallana, Dejan Lovren, hingga Alberto Moreno, juga tidak kunjung menampilkan performa yang diharapkan oleh publik Anfield.
Selain itu Lovren yang diharapkan menjadi pemimpin di lini belakang, tidak kunjung menunjukkan performa yang membuatnya pantas dilabeli sebagai pemain bertahan dengan banderol harga 20 juta poundsterling.
Pemain tim nasional Kroasia tersebut seringkali terlihat panik dan gol ketiga yang dicetak Robin van Persie saat Setan Merah melumat Liverpool, Minggu (14/12) adalah salah satu contohnya.
Dalam situasi tiga pemain Liverpool menghadapi tiga pemain United, sebuah umpan –yang tidak terlalu berbahaya– yang dilepaskan dari sisi kanan pertahanan Liverpool oleh pemain Setan Merah justru membuat Lovren panik.
Pemain berusia 25 tahun dengan panik berusaha membuang bola yang justru mendarat tepat ke kaki Juan Mata, yang kemudian mengirim bola ke Van Persie sebelum penyerang Belanda tersebut dengan mudah menaklukkan Brad Jones di bawah mistar gawang Liverpool.
Namun ketika performa tim tidak kunjung membaik, selain pemain kritikan juga mengalir deras kepada manajer tim dan Rodgers beberapa pekan ini telah merasakan ‘kegerahan’ para suporter yang prihatin dengan prestasi tim kebanggan mereka.
Setelah empat tahun melewatkan ajang Liga Champions, Liverpool yang kembali berlaga di ajang tertinggi Eropa tersebut justru bermain layaknya tim debutan, setelah mereka hanya mampu meraih satu kemenangan –menghadapi juru kunci Ludogorets Razgrad.
Selain itu keputusan Rodgers untuk mencadangkan pemain-pemain mahal yang dibelinya pada musim panas ini saat pertandingan penentuan melawan FC Basel, juga membuat publik mempertanyakan keputusannya tersebut.
Ketika menghadapi Manchester United, Rodgers kembali melakukan ‘perjudian’ yang cukup berani. Rodgers memilih untuk memainkan kiper kedua, Brad Jones, yang pertandingan terakhirnya di Liga Primer terjadi Maret 2013 silam, saat Liverpool ditaklukkan Southampton.
Penampilan Jones sendiri tidak bisa dibilang buruk, meski kebobolan tiga gol, penjaga gawang Australia tersebut tidak dapat disalahkan atas tiga gol yang bersarang di gawangnya.
Jones bahkan melakukan sejumlah penyelamatan penting untuk menyelamatkan gawang Liverpool.
Namun, perjudian lain Rodgers saat menghadapi United dengan tidak memainkan penyerang murni sejak awal pertandingan, membuat lini depan Liverpool tampak kehilangan akal untuk menjebol gawang United yang dijaga David de Gea.
Kredit tersendiri memang pantas diberikan kepada penjaga gawang asal Spanyol tersebut, namun beberapa kali peluang –yang di musim lalu mungkin sudah menjadi gol– di depan gawang United membuktikan Liverpool telah kehilangan taji mereka, terlebih dalam pertandingan penuh gengsi menghadapi rival mereka tersebut.
Meski demikian, para suporter Liverpool tetap menyanyikan lagu kebanggaan mereka tanpa lelah, meski hasil di lapangan sedang tidak memihak mereka.
Meski harapan dan mimpi gelar juara kini semakin menjauh dari Liverpool, para suporter mereka tetap setia mendampingi saudara muda Everton tersebut setiap kali mereka bertanding.
Terus mendukung tim karena para suporter tidak akan pernah membiarkan para pemain klub kesayangan mereka berjuang “sendirian” di lapangan.
Namun satu hal yang pasti, badai masih belum berlalu dari kubu Anfield.