Hari itu November 2013. Sabtu, di tanggal sembilan pekan kedua. Blang Lancang, ketika kami datang lagi, untuk kesekian puluh kalinya, baru saja disiram gerimis kecil.
Ketika tetirah kami mencapai lokasi kilang, dengan sangat beken, nama Arun Ngl, tidak ada lagi deru segaduh ketika, dulu-dulunya, kami datang.
Tak ada lagi liuk api di pucuk menara “train” yang menarikan lenggok seudati ketika di tiup angin laut. Tak ada juga “bau” menyengat dari limbah kilang yang di bakar dan uap panas yang menyebar dari jilatan api yang mengusik langit.
Sebagai wartawan, yang memiliki jadwal tetirah ke sana juga telah lama raib “ritual rutin” kami untuk mengutip “rente” berita tentang pembangunan kilang baru, peresmian kilang atau pengapalan ke seratus sekian dari “harta karun” milik “indatu” aneuk aso lhok itu.
Sabtu itu, ketika fiesta” kecil dengan seremoni sangat sederhana, kalau dibanding dengan ukuran masa jayanya PT Arun, yang mengubah status kilang dari proses pencairan gas menjadi refagas, kami “heng” dan melayang ke sebuah sentimetl dan romatisme Arun mala lalu.
Arun yang Blang Lancang. Arun yang bekas “nehuen,” untuk kemudian diganti rugi dengan harga berlipat, yang kemudian selama lebih dari tiga dekade menjulang menjadi “pabrik” gas alam paling besar, paling bersih dan paling aman.
Ketika kami kembali “on” yang ada justru Arun yang sedang berada ditubir terakhir penurunannya sebagai “pioneer’ pencairan gas.
Hari itu, kami sepertinya “ekstase” di “fiesta” kecil, dari kerja setengah hati, untuk membalikkan peran PT Arun, dari sebuah kilang “legenda,” yang dulunya menjadi impian produk enerji yang mendunia, menjadi terminal penyimpanan dan regasifikasi.
Ya. Hari itu November, Sabtu kedua, ada “fiesta” kecil setengah hati, dengan alasan tunggal memanfaatkan kilang, tanki dan pelabuhan, serta infrastruktur lainnya, yang nilai bukunya mencapai enam triliun rupiah, diubah fungsinya sebagai kilang untuk menampung “impor” gas Tangguh, Papua, guna didistribusikan ke kawasan industri Medan lewat jalur pipa.
Ketika saya ikut dalam “fiesta” itu ada yang memilukan, yang membuat saya miris, hingga mendatangkan sentimental dan ironi pahit dari luka yang “nyilu” dari “lost” manfaatkan Arun untuk Aceh. Hari itu Arun di “baptis” posisinya secara terbalik dari jargon “eksportir” menjadi “importir,” dengan status “numpang lewat.”
Hari itu, pasti bukan kebetulan, November tiga puluh empat tahun lalu, di gerimis yang sama, saya, ketika itu masih bekerja di Majalah “Tempo,” bersama dua rekan wartawan Jakarta llainnya, yang bertugas di Aceh, Syarief Harris dari “Sinar Harapan,” dan Sjamsul Kahar, dari “Kompas,” di undang secara khusus untuk “menuliskan” proses akhir penyelesaian pembangunan kilang, atau kerennya “train” ke empat, dari PT Arun.
Di hari yang sama juga kami dipersilakan menyaksikan pengapalan ke 400 ekspor gas ke Osaka, Jepang, yang di bawa tanker raksana “Aquarius,” yang kalau tidak salah merupakan kapal paling modern yang membawa gas alam cair.
Ada kebuncahan dari kepeloporan Arun yang melambung bersama mimpi kami, pada waktu itu, ketika di “briefing” oleh J.A. Oekon, General Manajer pabrik gas itu, yang membentangkan “peta” jalan kemakmuran Aceh, terutama bagian utaranya, lewat kehadiran kilang-kilang gas alam cair di Blang Lancang.
Ia, lewat proyektor “slide,” menujunjukkan arah “peta” menuju “aceh berkemakmuran” lewat “orasi” kecilnya, berdurasi dua puluh menit, tentang lahirnya pabrik pupuk, pabrik kertas, pabrik olefin dan pabrik gas untuk kebutuhan rumah tangga.
Semuanya, kata Oekon, akan menjadi jalan lurus bagi Aceh mendapatkan “harga diri”nya sebagai “bangsa merdeka.” Oekon betul dengan jalan pintas Aceh berkemakmuran lewat Arun NGL. Tapi kebijakan Jakarta tidak. Aceh tidak memiliki otoritas untuk mendapatkan “jatah” gas bagi mengelola negerinya.
Aceh, tidak seperti kata Oekon. Aceh, ternyata, hanya menyaksikan “fiesta” Jakarta yang membancak negerinya dengan membawa “semua”nya untuk sebuah kebijakan yang bernama “sentralisasi.” Dan Aceh, dengan Arun-nya, setelah tiga puluh empat tahun berlalu, hanya bisa mengenang “dongeng” tentang kekayaan gas dan himpunan kisah “The Lost of Arun.”
Oekon, lelaki Sunda yang santun, yang kemudian mengakhiri karirnya sebagai salah seorang direktur PT Pertamina di era Faisal Abdaoe, sepertinya, kami tahu, ingin Aceh makmur. Ia tulus. Setulus perangainya yang sering menyambangi “rangkang” dan “bale-bale” petani di pucuk-pucuk Samalanga atau pun Mbang untuk membagikan zakat penghasilannya.
Arun memang belum mati. Paling tidak ia akan memasuki dekade “pencerahan” lewat “refungsionalisasi” perannya sebagai terminal dan regasifikasi dengan iming-iming “pabrik” pertama yang ada di dunia.
Percaya? Saya kok nggak percaya. Dan ketika hujan renyai senyap dan angka dolar yang mencapai 570 juta dolar yang dibenamkan untuk proyek ini di retorika oleh seorang petinggi Pertamina, saya mencibir.
Pertamina jugalah yang mencelakakan Aceh dulunya lewat “kontrak karya” pembagian hasil dengan “mobil oil,” yang kini bersalin nama menjadi “Exxon,” yang membiarkan negeri ini menjadi paria. Terlunta-lunta dengan janji “zona indtri” yang tak pernah jadi.
Ditengah pesimis saya tentang refagas dan terminal gas Arun, ada sebuah antusias dari “kengiluan” yang pernah kami perdebatkan dulu bersama Azhari Ali dan almarhum Sayed Mudhahar Ahmad, teman yang pernah menjadi orang penting di PT Arun GNL.
Arun, Kak Azhari. tidak jadi kerangka yang dihuni oleh hantu. Batu Phat, properti di bukit batu cadas, tak beralih fungsi jadi asrama tentara, seperti perumahaan Pertamina di Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, yang menjadi hunian Marinir.
Memang regasifikasi dan terminal gas bukan reingkarnasi Arun. Paling tidak ada opitimisme petak tanah Blang Lancang, Batu Phat, Rancung hingga ke Kruenggeukeuh bisa hidup dari denyut buruh pabrik.
Mereka tentu tidak semakmur karyawan Arun tempo dulu. Tidak juga seperti “abang Bechtel” yang menunggang mobil “double cabin” dan memakai tempelan merek di dindingnya dan berhilir mudik selama duapuluh empat jam tanpa henti mengikuti jadwal shift.
Arun memang tak jadi mati di 2014. Pengalihan statusnya menjadi refagas dan terminal yang kemudian disambungkan dengan pipa ke Belawan untuk menyuplai kebutuhan industr Medan dan pembangkit listrik di Belawan merupakan alternative minimal yang bisa menyelamatkan asset senilai Rp 6 triliun yang kalau tidak dikelola akan jadi besi tua dan rumah hantu.
PT Arun NGL memang tutup buku sebagai sebuah “corporat” besar. Tutup buku setelah janji “zona industry berakhir dengan munculnya pabrik kertas kraft, pabrik pupuk dan pabrik olefin yang tidak pernah jadi.
Janji lahirnya “peta jalan kemakmuran” seperti digagas oleh JA Oekon hanya sebuah pepesan kosong. Pepesan kosong setelah bedil menyalak dan cap separatis di pakaikan sebagai baju para pejuang.
Dan juga setelah “pejuang” menggenggam negeri ini “peta jalan kemakmuran Aceh,” seperti dipaparkan Oekon, malah terbang bersama retorika semu tentang kemakmuran kelompok dan pernyataan keras dari hak “war’eh” mereka dengan “privilege” baru bisa membancak uang rente “hadiah” Jakarta bernama fiskal “otonomi khusus” dan “dana bagi hasil migas.”