Penulis kami, Darmansyah, pekan kedua April lalu, menelusuri jejak peradaban petani nilam Aceh, terutama Kluet.
Dia bermalam di desa “udik” Manggamat, Aceh Selatan, untuk menggali penggelan cerita tentang “booming” ekonomi semusim para petani di sana.
Ia juga membuka tabir sejarah nilam Aceh dengan mencarinya di berbagai kepustakaan sejarah.
Inilah hasil tulisannya yang merupakan bagian ketiga dari lintasan sejarah “Mencari Jejak Minyak Atsiri di Tapak Naga.”
Manggamat di pagi yang sejuk, pekan kedua April lalu. Matahari timur, ketika kami menyusuri jalan utama yang masih berpasir batu dengan bercakan lubang kecil berair bekas sisa hujan malam tadi.
Langit di “kota” udik itu, masih ditabiri awan kelabu. Denyut kehidupan ketika kami bertandang seperti tersedak, ketika menjelang dhuha kedai-kedai di “kota” Kecamatan Kluet Timur
Pecahan Kecamatan Kluet Utara itu, masih tutup dan hanya membuka pintunya sebagai pertanda ia tidak mati suri.
Manggamat, hakekatnya, memang “gampong” udik yang dimarginalkan oleh isolasi kultural yang melilitkan kemiskinan di tapak negerinya
Sehingga”desa” ini pernah menghardikkan perasaan marahnya oleh ketimpangan pembangunan lewat cantelan sebagai sarang pejuang gam ketika Aceh bergolak atas nama slogan kemerdekaan.
Sebenarnya Manggamat tidak sepenuhnya gam “tulen.”. Secara kultural mereka adalah Kluet dengan polarisasi budaya pedalaman yang lebih dekat dengan Gayo mau pun Alas dari sisi tatabahasa dan tatakrama istiadat.
Hari takziah kami ke Manggamat ia sudah kembali damai. Dan kedatangan kami kali ini bukan untuk melukai koreng “pejuang” atau pun bertutur tentang budaya.
Kami datang untuk melongok dan mengingatkan kembali kebanyak orang bahwa di “udik” itu pernah terjadi “booming” ekonomi dengan loko utamanya tanaman nilam dan membawa kemakmuran semu bagi petaninya, sekaligus mencairkan cekat kemiskinan akut yang melilitnya.
Untuk kasus “booming” nilam inilah Manggamat, di pertengahan tahun enam puluhan menjelma tidak udik lagi. Manggamat, plus Kluet terbang menjadi negeri kaya seperti sentuhan “midas.”
Itu terjadi sejak awal tahun enampuluhan. Petani nilam digamit rezeki hingga menjadi sangat “kaya.”
Kala itu harga tanaman bernama asli “pogostemon cablin benth” tergerek ke puncak langit menggepokkan duit pecahan besar bernilai jutaan, sebelum devaluasi rupiah yang memotong inflasinya.
Dan dengan sangat bagus, Pak Hatta, mengilustrasikan harga satu kilo minyak nilam mencapai satu ton beras. Atau bisa lima belas mayam emas. Kalau didibandingkan dengan harga sekarang mencapai Rp 2,5 juta perkilogram. Bukan main.
Nilam memang sahabat humus tanah Manggamat, sampai kini, ketika harganya tidak lagi seperti “roller coaster,” yang bisa naik menyentuh langit dan bisa juga terjun bebas ke perut “donya” bak harga saham yang hanya menjadi kertas bekas dalam hitungan menit di New York..
“Masa itu telah punah. Seperti dikatakan Muslim, lelaki tua, yang pernah menikmati kehidupan “mewah” sebagai petani nilam.
“Harganya gila. Dari menjual daun saja saya bisa sampai ke Medan dan Jakarta. Bisa menyekolahkan anak ke sekolah tinggi dan itu tak mungkin dengan kondisi harga sekarang,” katanya mengenang sebuah masa kejayaan negeri udik yang baru saja beradaptasi dengan kehidupan modern.
Tidak hanya Hatta dan Muslim yang bisa bercerita tentang “booming” nilan Kluet. Usman Batak, seorang kakek 81 tahun, yang kini menjalani hari tua di sebuah rumah panggung di pinggir Manggamat mengatakan, cerita nilam bukan thok kisah sukses petani.
Banyak orang yang gila ketika harga terjerembab. Ia menyebut sebuah nama pendatang yang datang dari Tapaktuan dan mempertaruhkan uang tabungannya dengan membuka lading nilam seluas dua puluh hektar.
Ketika panen, harga nilam terjun bebas. Nyaris tak punya harga. Sang petani “jadi-jadian” itu, seperti ditirukan Usman Batak “senewen,” sembari mengangkat telunjuknya kekening dengan memiringkannya.
“Olig,” katanya menegaskan sebutan gila dalam bahasa “jamee.”
Nilam memang bagaikan produk yang berdiri di antara “midas” dan “kutukan.”
Tanaman yang aslinya berasal dari Srilanka dengan nama asli beraksen Tamil, di bawa avonturir Gujarat ke Malaka dan berkembang menjadi bagian dari tanaman rempah yang diperebutkan pedagang Portugis, Belanda dan Inggris.
Awalnya, tanaman ini menjadi primadona di Malaka ketika Belanda masih mengangkangi kota pelabuhan itu. Waktu itu sudah ada penyulingan di kawasan itu yang dimonopoli oleh para kongsi dagang Portugis.
Bersamaan dengan penaklukan Sumatera Timur dan Aceh, Belanda membawanya bersamaan dengan pembukaan ondernemingnya di Deli.
Ternyata, kesuburan tanaman itu di Deli tidak menghasilkan rendemen minyak yang tinggi. Sehingga para tuan kebun di sana patah arang untuk membudidayakannya.
Usai perang penaklukan Belanda di Aceh, kolonial itu membawanya ke Aceh, dan ternyata di pesisir barat dan selatan negeri taklukan ini, terutama Krueng Sabe-Teunom dan Kluet Raya, nilam sangat menguntungkan karena rendemennya mencapai tujuh persen.
Memang ada nilam Dairi dan Nias yang juga berproduksi tinggi. Tapi rendemennya rendah dan kualitas nomor tiga di pasaran global.
Dan dalam urutan yang dikeluarkan oleh “Indosetta” sebuah asosiasi eksportir atsiri, nilam Kluet adalah yang paling moncer.
Bahkan, menurut catatan Belanda, seperti yang bisa diakses ke KITLV, pusat dokemntasi Belanda untuk Asia Tenggara dan Bahama, selain rendemennya paling tinggi juga kualitasnya mencapai “grade A-plus” dan mengalahkan produksi Brasil dan Cina pada posisi “grade B.”
Belanda juga pernah mencoba penanaman nilam ini di Cirebon, yang mereka namakan sebagai daun “dilem wangi.” Tumbuhannya subur luar biasa dengan daun lebar dan batang tinggi.
Tapi rendemennya Cuma dua persen dan wewangiannya tidak menyengat.
Nilam, yang diambil dari akronim sebuah perusahaan Belanda , Netherlands Indische Landook Acheh Maatschapij, atau NILAM, kala sang penjajah itu menjadikan Aceh sebagai koloninya memang dipercaya sebagai pemegang lisensi tunggal yang mengatur tata niaga rempah-rempah, termasuk nilam, untuk kebutuhan ekspor.
Dari akronim itulah nilam kemudiannya menjadi penamaan pupuler untuk tanaman hijau yang termasuk jenis rumput-rumputan itu.
Sebagai produk yang pemakaiannya terbatas untuk senyawa wangi-wangian dan obat-obatan, nilam sangat tergantung dengan pasang naik dan pasang surut perekonomian global.
Ia sangat riskan dengan “overstock.” Makanya, pada masa penjajahan produksi tanaman dan minyak hasil penyulingannya di control secara ketat oleh NILAM.
Menurut catatan yang ada di Indosetta, gabungan eksportir minyak atsiri, nilam sudah puluhan kali melambungkan petani dan sudah puluhan kali pula menjerembabkan mereka.
Terkahir “booming” nilam terjadi ditahun seribu sembilan ratus sembilan puluh delapan ketika terjadi krisis moneter yang mengerek harganya ke atas oleh selisih nilai tukar rupiah dan dollar.
Sesudah itu, hingga sekarang sengap. Dan hanya bergejolak semacam riak gelombang.
Pada masa penjajahan kasus yag sama pernah terjadi ditahun 1895 dan 1919 ketika Singapura dan Malaka masih menjadi pengendali harga daun keringnya.
Berdasarkan catatan KITLV, usai dipermainkan oleh Malaka dan Singapura inilah Belanda membangun pabrik penyulingan atsiri di Teunom dalam skala kecil, dan di Tapaktuan, Aethersche Olien Fabric dengan skala besar dan sangat modern di zamannya.
Hingga kini nilam masih di tanam oleh petani di Krueng Sabe-Teunom dan Kluet Raya-Pasie Raja. Tapi gairah petani dan penyuling tidak sehebat seperti di masa lalu ketika banyak petani musiman mempertaruhkan simpanannya untuk membuka lahan besar-besaran.
Kini tanaman nilam juga sering diserang penyakit keriting daun, yang oleh oleh petani di Manggamat disebut dengan penyakit “buduk” atau lepra yang memupuskan rendemennya hingga ke titik nol.
Seperti dikatakan oleh, Asmi, petani di Paya Dapur, Kluet Selatan, tanaman nilam itu bagaikan gadis “rancak” yang harus diperhatikan terus menerus dan tidak boleh di “puga” atau ditanam berturut-turut di lahan yang sama.
“Tanaman ini kalau harus ada interval di lahan yang sama. Usai panen biarkan lahan itu menjadi semak belukar selama setahun dan baru diulang penanamannya. Nilam sangat boros lahan dan menggoda orang untuk membabat hutan,” katanya.
Nilam juga, seperti diamati dan dipelajari oleh Asmi tidak pernah member kemakmuran panjang bagi petani. Ia hanya menjadi tanaman “penggembira” untuk semusim.
“Itu terjadi sejak ia didatangkan Belanda dulu. Coba tunjukkan dengan saya mana petani yang betul-betul bisa hidup sepanjang hayatnya dengan bertanam nilam,” tantangnya.
Ia menganjurkan kepada para petani untuk menghindarkan penanaman nilan secara “monokultur.” Jadikan ia sebagai tanaman tumpang sari yang kalau harga baik akan mendatangkan rezeki.