Status vrij haven setengah hati telah “wafat” di Sabang.
Kini Sabang memasuki jilid tiga dengan sepinya sorak sorai persoalan.
Persoalan saling ganjal, sikut menyikut dan sandera menyanderanya para pemilik otoritas atas nama undang-undang yang mereka jepit di ketiak masing-masing telah lewat.
Otoritas tumpang tindihnya kala di zaman free port jilid dua hanya bisa menghasilkan jengek atau jenggo ekonomi , sebutan lain dari penyeludup kecil-kecilan, dengan dagangan sarung palekat, rokok Dunhill, pecah belah ataupun elektronik rongsokan telah raib.
Dagangan yang pernah difitnah sebagai sumber penyelundupan ketika kapal MV Acress bermuatan tekstil hingga pecah belah dari Singapura diciduk di lepas pantai laut Jambo Aye sebelum tiba di Sabang, lalu dibulan-bulani dengan pemberitaan koran nasional sebagai kasus penyeludupan terbesar hingga mendegradasikan kehidupan Sabang ke tubir kebangkrutan.
Padahal, siapun tahu, seperti tahunya Madjid Ibrahim, gubernur Aceh ketika itu, sebagai tuduhan nol besar.
Tuduhan rekayasa karena hasutan para cukong Medan bersama toke Singapura karena takut tersainginya kepentingan besar mereka membesarkan Batam dan bisa membuat pelabuhan tikus di seputar Tanjung Balai maupun Bengkalis menjadi kuburan.
Sabang juga pernah mengalami fase bancakan para politisi untuk mengerek jualan popularitasnya hingga menghasilkan status free port jilid tiga .
Vrij haven jilid tiga yang mengganti mainan Sabang dari rokok Dunhill dan sarung palekat, menjadi impor mobil bekas eks Singapura yang dijatah kuotanya oleh departemen perdagangan untuk masuk ke daratan dengan status kepabeanan yang sangat diskriminatif.
Mobil buangan Singapura yang dijadikan ajang sogokan pejabat daratan lewat nota dinas dengan membagikan jatah kuota dan diharuskan mencantumkan huruf NA dan AQ di ujung platnya begitu berseliweran di kota-kota di Aceh.
Mainan ini hingga kini masih menyisakan ratusan mobil rongsok jenis matic di celah-celah kebun kelapa di Sabang karena kuotanya sudah ludes.
Tukak Sabang tidak hanya membuat koreng di infrastruktur dan kebijakan pelabuhan bebas dan perdagangan bebasnya, tapi ia juga menjalar menjadi penyakit akut di lingkungan otoritas birokrasi berupa tumpah tindihnya kewenangan antara walikota dengan pengelola free port.
Tumpah tindihnya sistem dan prosedur administrasi pemerintahan tentang siapa di antara para pemegang otoritas yang berwenang mengeksekusi berbagai keputusan, termasuk tata ruang, yang sering diplesetkan sebagai “tujuh kalinya zuhur dalam sehari.”
Plesetan untuk mengatakan tidak adanya keputusan final disatu tangan terhadap satu persoalan yang sama..
Untuk itu perlulah dicamkan, sejak awal, Sabang bukan hanya hill dengan jualan vrij haven, free port, kollen station ataupun pelabuhan bebasnya yang tak pernah laku sebagai jualan birokrasi di barat nusantara itu.
Tapi, ia, sebenarnya, adalah pesona seluruh bukit dari gumam keindahan sepanjang lekuk bibir pantainya. Bibir pantai dari garis melengkung teluknya yang bak kuali yang menarikan gelegak gerakan saman dengan ombak menderu atau mengibaskan riak ombak kecil yang melenggokkan cengkok nyanyian bungong jeumpa ketika angin laut mengibas permukaan airnya di awal pagi.
Ombak kecil dari angin Weh yang diapungkan oleh teriknya matahari Andaman dan uap laut Phuket hingga bertemu di pulau batu Rondo yang kemudian menerbangkan awan air ke langit Iboih dan bergumam di bukit Sabang untuk menyiramkan sebersit hujan pirang yang datang dan pergi tanpa bisa di forecast secara akurat.
Sabang memang sebuah pesona yang melintas zaman.
Tak pelak, ia juga adalah sebuah zamrud, ketika van de Vaar, bekas controleur Belanda, dalam bukunya “Surat-surat dari Sumatera,” yang tetirah ke sana di permulaan abad lalu, dan menuliskan catatan keindahan gugusan pulau-pulaunya dengan sangat sentimentil.
“Teluknya, bukit-bukitnya dan pantainya bagaikan gambar naturalis,” tulis Vaar.
Ia juga mencatatkan tentang vrij haven yang memaksa kapal api singgah mengisi air yang dialirkan dari perut danau lembah vulkanik, Aneuk Laot.
Ia juga mencatat tentang tatahan bukit dengan jalan menanjak yang menghubungkan enclave perkampungan opsir dan amtenaar birokrasi di atas dengan kegiatan pelabuhan dan pertokoan cina di bawah hingga sampai ke Pasiran, hunian komunitas marginal, koeli pelabuhan. Koeli yang mendorong lori dari gudang hingga ke ujung dermaga.
Vaar secara khusus menuliskan tentang oleh-oleh malaria dari cuaca ekstrim yang dibawa pulang pekerja musiman dan sebuah rumah sakit gila yang dibanguan otoritas Sabang Maatschaappij, kini menjadi rumah sakit dr Lilipory, milik angkatan laut yang mengimpor orang pasungan dari daratan.
Rumah sakit gila yang dibenarkan secara klinis oleh governor di Kutaradja dengan mengatakan, “alamnya memang cocok untuk penyembuhan penyakit jiwa.” Vaar menulis dengan sentimental alasan ini sebagai pembodohan.
Vaar memang tidak menyebut rumah sakit gila sebagaimana orang daratan Aceh memperolok-olok kawasan itu sebagai tempat perawatan “ureung pungo.”
Orang gila yang dipungut atas perintah gubernur kepada para controleur” dari Singkil hingga ke Tamiang, ataupun didatangkan dari Gayo Lues maupun Tanah Alas.
Pasien udik ini disembuhkan dengan gratis untuk mengikis trauma atjeh moorden bagi pejabat Belanda yang ditugaskan ke pelosok Aceh.
Tentu Sabang vrij haven bukan hanya rumah sakit gila atau keindahan pesona alamnya, ketika itu. Sabang vrij haven adalah, benar-benar bandar free port tempat mengunggah barang impor atau ekspor ke palka-palka kapal api milik konijklike paketvaart maatschaappij atau KPM yang datang dari Roterdaam atau Batavia.
Mau tahu bagaimana Sabang tempo lalu sebagai free port?
Pelototilah gelantungan foto di ruang reception penginapan Sabang Hill.
Ia bisa menjadi saksi dari secuil sejarah panjang yang pernah menghampiri vrij haven Sabang. Vrij haven foto tua di dinding penginapan itu yang menjawab sebuah realita bagaimana Sabang menjadi bandar di pucuk barat Nederland Indies.
Bandar dengan teluk bak belangong gulee kala itu, masih dilabuhi empat lima kapal api, berbahan bakar batubara, dengan asap hitam mengepul dari cerobongnya. Dermaga yang kokoh disangga beton tebal diselangkangnya.
Juga ada gudang-gudang yang tertata rapi dipenuhi kuli memunggah barang dagangan. Jangan lewatkan foto kota di atas dengan rumah model Roterdaam bergaya art deco campuran et-spanyola.
Dan ada sebaris toko di pasar bawah bergaya hokian khas Kwangtung bertiang besar, jendela susun sirih kecil di lotengnya dan kaki lima yang lapang dengan usaha konveksi milik toke berdialek hongfu. Jangan pernah lupa dengan pantai
Pasiran yang masih perawan tempat docking kapal antar pulau yang dibengkelkan.
Itulah Sabang, kota heterogen, dengan para administrator pendatang yang berbaur dengan klerek anak negeri dan koeli Jawa beranak turunan dengan nama Poniman ataupun Mas Bejo.
Sabang kota plural dengan majemuknya baur keturunan suku, yang mengidentikkan penghuninya sebagai anak Weh, adalah potret komunitas kesetaraan hidup.
Kesetaraan yang mengharamkan cekcok hegemonitas tentang klaim anak asal. Anak Weh yang menurunkan status koeli ke anak cucunya.
Anak koeli yang tidak pernah mengejar cita-cita menjadi amtenar di matschaappij, dan bangga dengan kultur gado-gado yang acuh terhadap tanah asal ayahnya.
Kenapa otoritas Sabang harus repot menjual proposal cet langet dan membuat usulan anggaran berbiaya ratusan miliar serta sibuk berproyek ria melahirkan banyak satker dan meneken MoU dengan uang jajan atas nama biaya perjalanan hingga ke Dublin di Iralndia yang mencapai angka bermiliar atau beratus juta.
Padahal, Sabang adalah belangong gulee dengan karang atol yang membentuk coral tuf marina bertaman laut terindah seputar donya.
Kenapa tidak menjadikannya sebagai jualan? Pasti laku!! |