Menjelang dhuha, di pagi Jumat, 10 Januari 2014, sebuah pesan pendek masuk ke “hand phone” kam.i Seperti biasanya, saya enggan meng”klik”nya, karena keseringan disambangi “es-em-es” iseng penawaran produk, tipuan pemenang kuis, hingga permintaan transfer dana dengan alasan anak sakit, ketiadaan pulsa dan entah apalagi.
Namun di pagi Jumat benderang untuk Banda Aceh itu, saya terpaksa mengulum senyum duka ketika menelusuri kalimat pesan pendek di fitur “hand phone” kami ketika membaca kata pembukanya, “haaii… di plomat peureulak kita telah berpulang.”
Saya tahu benar tentang sapaan ,” haaii…” itu. Sapaan, yang walaupun telah dua puluh tujuh tahun menguap, ia masih hinggap dengan akrab di memori kami. Saya tak perlu mendiskusikan lewat tanya, tentang “haaii…” itu karena si pengirim pesan itu adalah seorang sohib, yang dulu pernah “mendekat” ke tokoh “haaii…” yang berpulang itu.
Dan sang sohib pernah secara bersama menjalani ritual hidup sebagai jurnalis dan mengikuti arah pembangunan Aceh di tangan si tokoh. Bahkan kami, saya dan sang sohib, bersahabat dengan ponakan sang “haaii…., “ Teuku Maynaka, anak dari abangnya Teuku Thahir Thayeb, ketika di sebuah majalah berita terkenal, “TEMPO.”
Ya, “haaii… yang dimaksudkan adalah Teuku Haji Muhammad Hadi Thayeb. Ia seorang diplomat kawakan. Pernah jadi menteri tiga periode di kabinet Dwikora. Pernah jadi duta besar di lima negara berbeda, Polandia, Swiss, Arab Saudi, Inggris dan Swiss. Pernah menjabat wakil gubernur Lemhanas untuk kemudian di”tugas”i Pak Harto ke Aceh sebagai gubernur periode 1981-1986.
Saya sengaja menyebut kata di”tugas”i karena memang begitulah kenyataannya, usai Aceh kehilangan gubernur “tekhnokrat” Prof drs. Madjid Ibrahim, yang pernah mencanangkan program pembangunan “simple” Jalan dan Air.
Kata di”tugas”i erat kaitannya dengan latar belakang Hadi Thayeb yang tak bersentuhan dengan dengan “birokrasi” loka dalam perjalanan karirnya. Hadi adalah diplomat tulen. Diplomat awak republik ini yang meletakkan dasar bagi sebuah eksistensi yang bernama kementerian luar negeri.
Hadi Thayeb-lah pilar yang mewujudkan Kemenlu bersana Achmad Subardjo, menteri luar negeri negeri kala itu, yang menyusun bagaimana bentuk institusi kementerian itu di awal kemerdekaan. Bersama lima rekannya yang lain, dari sebuah garasi rumah Mester in de Rechten Ahmad Subardjo , di Jalan Cikini 6-8, Hadi menyiapkan wujud dari sebuah kementerian yang kini berlokasi di Pejambon.
Dalam kapasitas ini Hadi Thayeb memang bukan tokoh sembarangan. Kepada kami ketika bertamu ke rumah di Jalan HOS Cokroaminoto, sebelum ia di lantik sebagai Gubernur Aceh, usai menyelesaikan tugasnya di Lemhanas, tahun 1981, Hadi Thayeb, yang sapaannya di mulai dengan kata “haai….” untuk kemudian mengembang tangan, memeluk dan cipika cipiki, dengan kikuk tak mampu merumuskan pola kebijakan utamanya di Aceh ketika kami mengajukan pertanyaan “depth” di pembukaan wawancara
Sebagai wartawan kami sadar, tak layak untuk mencecar pertanyaan itu kepadanya. Ia pun dengan sadar pula tak mampu untuk memberi kepuasanan jawaban kepada kami sehingga ia mengunci ujung pertemuan itu dengan menghaluskan kalimatnya, khas gaya diplomatnya, “Saya datang bukan dari birokrat regional. Saya diplomat tulen.”
Saya menyimpan ucapannya “saya diplomat tulen” itu untuk sebuah masa yang panjang. Lebih dari tiga puluh tahun, untuk kemudian, di hari saya tahu ia berpulang, juntaian memori itu tersungkit kembali.
Ya Hadi Thayeb, sepanjang catatan jurnalistik kami, memang tak memberikan sebuah pencerahan pembangunan untuk Aceh. Ia, sepanjang lima tahun ke”gubernur”annya, hanya berkutat pada seremoni tugas rutin pemimpin sebuah provinsi, tanpa menghasilkan greget dan terobosan pembangunan.
Terlepas tanpa greget, Hadi, mungkin, bisa dicatat sebagai gubernur yang global selama berada di di Aceh. Global lewat kerjasamanya dengan Gubernur Anterpen, Belgia, atau mendekatkan diri dengan Belanda lewat kerjsama peningkatan kualitas “gayo mountain coffee.”
Ada banyak kerjasama lain dari banyaknya tamu-tamu manca negara yang berkunjung dan membuat komitmen untuk pembangunan Aceh. Hanya itu saja. Lantas selesai. Yah selesai dengan “haaii….”
Hadi Thayeb, memang kembali ke Aceh pertengahan usianya yang panjang, tanpa sebuah konsep pambangunan yang utuh. Beda dengan pendahulunya Madjid Ibrahim yang sangat tahu tentang kebutuhan Aceh karena mengonsep pembangunan Aceh lewat “Atjeh development”nya yang kemudian menjadi cikap bakal Bappeda di Indonesia.
Beda juga dengan Ibrahim Hasan, yang dimasa “lari” ke Jakarta dan kemudian kembali menggantikannya dengan mencatatkan monumental pembangunan Aceh yang ia belah menjadi dua zona, industry dan pertanian.
Iya juga untuk Hadi Thayeb yang “melupakan” Aceh sejak ia pergi dari Aceh dalam usia muda. Bahkan sangat t muda, ketika bersekolah di Jakarta pada ujung koloni Belanda atas negeri ini. Hadi, bersama Syarief, abangnya, dan juga Thahir, kakak yang lain, ikut mengemas sejarah lewat perannya sebagai pemuda pejuang yang memaksa Soekarno memproklmasaikan Indonesia.
Ia ke Jakarta, semula, menyusul dua abangnya Teuku Thahir Thayeb dan Teuku Sjarief Thayeb, yang lebih dahulu “sekolah” di Jakarta. Ia berangkat bersama adiknya Teuku Ismail Thayeb dari Peureulak sebagai anak “ulee balang” Teuku Chik Teuku Thayeb Peureulak, yang menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya.
Untuk itu, saya bisa mengingat, ketika ia pulang ke Peureulak di awal kegubernurannya, dan saya ikut dalam rombongannya, ia memanggil saya menjelang makan siang dan membanggakan rumah masa kanak-kanaknya dengan mengatakan, “Inilah rumah pencerahan kami.”
Saya mengiyakan, ketika seorang karibnya, Teuku Djakfar, yang pernah memimpin Bank Kesejahteraan Rakyat Aceh, yang kemudian direinkarnasikan jadi BPD Aceh, dan kini Bank Aceh, mendekat dan menjelaskan tentang ruang-ruang di rumah itu yang membuat Hadi menyapa lagi dengan kata “haaii…,” mengembangkan tangan, dan untuk kali ini tidak memeluk kami.
Ya juga untuk keluarga Hadi Thayeb, yang pada sebuah kurun pernah pernah secara bersamaan menjabat duta besar di tiga negara berbeda. Hadi di Inggris, Syarief di Washington dan Ismail di Tunisia. Bahkan, kini, pun karir diplomat keluarga Teuku Chik Thayeb ini tak berhenti, dimana anak Hadi Thayeb, Hamzah Thayeb menjadi Duta Besar Indonsia di London, seperti ayahnya dulu.
Hadi Thayeb yang berpulang di usia sembilan puluh satu tahu, memang sepuh. Saya tak pernah lagi bertemu dengannya sejak ia melepaskan jabatan gubernur. Tapi saya selalu mengenangnya dengan sungguh-sungguh.
Mengenang keteladanannya sebagai pejuang yang sederhana tanpa ingin mengesankan sebagai yang paling tahu. Tanyakanlah kepada sobatnya ketika di Aceh Pak Syamsuddin Mahmud, mantan gubernur, bagaimana Hadi yang sebenarnya.
Dan tan yakan pula bagaimana “gentle” ia ketika dilatih oleh Meliala Sembiring dan mulia tarigan ketika memegang “stick golf” di Pantai Lhoknga. Dua jago golf Aceh itu, sampai kini, kalau bertemu kami selalu menyapa dengan gaya Hadi Thayeb. “Haaiii…., mengembangkan tangan dan mengirim sunggingan senyum.
Innalillah wa ina Illahi rojiun Pak Hadi