Amazon Web Services, atau dikenal dengan sebutan AWS, Sabtu, 08 Oktober 2015, mengklaim akan mampu menumbang kejayaan Google setelah mengungkapkan tingkat pertumbuhannya, sebesar sebelas persen selama setahun terakhir.
Dengan memiliki lebih dari satu juta pelanggan di seluruh dunia pertumbuhan bisnis AWS, yang, terpisah dari Amazon, meningkat delapan puluh satu persen jika dibandingkan tahun lalu.
Angka itu mengalahkan beberapa kompetitor utamanya, antara lain Google yang pertumbuhan bisnis enterprise-nya hanya sebelas persen, serta Microsoft yang pertumbuhannya di bawah angka dua persen.
“Kami adalah perusahaan IT untuk enterprise dengan pertumbuhan paling signifikan. Perusahaan lain rata-rata tumbuh dengan angka sangat kecil pada tahun ini,” rilis AWS.
Selama ini, Amazon dan Google memang bersaing sengit.
Walau keduanya bermula sebagai perusahaan teknologi dengan pasar berbeda, lambat laun kedua raksasa tersebut mulai menyasar konsumen yang sama.
Amazon memulai layanannya sebagai marketplace, sedangkan Google sebagai mesin pencari.
Kini, Google pun berharap bisa jadi marketplace raksasa dengan meluncurkan tombol “buy” pada Search.
Di sisi lain, keduanya sama-sama punya layanan cloud dan sama-sama mengembangkan bisnis iklan digital.
Pertumbuhan bisnis cloud Amazon yang telak mengalahkan Google, menurut petingginya, Jassy, tak lepas dari semakin maraknya pemanfaatan cloud oleh berbagai sektor industri. Dari mulai skala kecil, menengah, hingga yang besar.
Dibandingkan Google, AWS memang lebih lengkap mengakomodir fitur layanan cloud. Karenanya, kategori konsumennya pun beragam.
Mulai dari perusahaan minyak dan gas, kesehatan, teknologi, media, startup, lembaga pemerintah hingga lembaga non-profit.
Dengan agresifnya AWS menambah kategori layanan cloud-nya tiap tahun, kebutuhan dana infrastruktur yang dibutuhkan tentu tak sedikit pula.
Perkembangan teknologi menuntut perusahaan dan pengembang layanan internet untuk terus berinovasi. Konsekuensinya, semakin banyak data maya yang harus disimpan dan diolah.
Untuk menambah kapasitas penyimpanan data, perusahaan perlu menambah server. Secara konvensional, server diletakkan pada sebuah data center khusus yang dibangun sendiri oleh perusahaan.
Komponen server itu terdiri dari beberapa komponen hardware. Singkatnya, untuk menambah server, perusahaan perlu menambah hardware, menambah ruang pada bangunan kantor dan menambah biaya pengeluaran.
Tak hanya biaya pengiriman komponen hardware, namun juga biaya operasional hardware. Belum lagi waktu yang harus terbuang untuk menyusun hardware dan memfungsikannya secara efektif.
“Dengan cara tradisional, perusahaan harus mengeluarkan jutaan dollar hanya untuk menambah kapasitas server. Penyusunannya juga butuh waktu hingga benar-benar bekerja,” kata Principal Technology Evangelist Amazon Web, Markku Lepisto, dalam sebuah pertemuan
Keruwetan tersebut bisa tereduksi dengan inovasi penyimpanan yang dinamai “cloud platform”. Beberapa perusahaan teknologi kawakan seperti Microsoft, Google dan Amazon telah mengadopsi konsep tersebut selama beberapa tahun terakhir.
Secara sederhana, perusahaan atau pengembang cukup mempercayakan data mayanya pada penyedia cloud yang sudah ada. Selanjutnya, semua data cukup dikontrol lewat software khusus.
Perusahaan tak perlu menyediakan ruangan pada bangunan kantor untuk menempatkan data center fisik.
Efisiensi ini disebut dapat memangkas pengeluaran, menghemat ruang dan menambah produktivitas kerja.
“Saat perusahaan ingin menambah kapasitas penyimpanan, cukup perintahkan layanan cloud lewat komputer sederhana. Dalam beberapa detik kapasitas akan bertambah,” Lepisto menjelaskan.
Biaya yang harus dikeluarkan pun lebih sesuai dengan pemakaian kapasitas. Mekanisme komputasi ini disebut “Elastic Compute Cloud”.
Jika terjadi kerusakan server, layanan cloud sudah memiliki sistem yang disebut “self-healing”.
Maksudnya, server bisa memperbaiki kerusakan secara otomatis. Dalam waktu perbaikan tersebut, situs atau layanan maya perusahaan akan dialihkan ke server lain untuk sementara.
Pada sistem cloud AWS misalnya. Anggaplah sebuah perusahaan memilih dua server di Singapura sebagai penyokong utama dan dua server di Tokyo sebagai penyokong cadangan.
Saat server di Singapura down, situs perusahaan akan langsung beralih ke server di Tokyo. Pada saat bersamaan server di Singapura akan memperbaiki dirinya sendiri dan mendatangkan “bala bantuan” dari server lain yang sama-sama berbasis Singapura.
Hanya dalam hitungan detik, situs perusahaan akan kembali menggunakan server utamanya. Semua sistem otomatis ini diatur melalui konfigurasi cloud yang canggih. Maka, saat ada server yang rusak atau overload, pengunjung situs tak akan “ngeh”.