Anda “kecanduan” dan termasuk paling rajin me-retweet sebuah kicauan?
Wah, bahaya.
Lantas?
Sebuah penelitian terbaru menemukan akibat buruk dari kebiasaan me-retweet unggahan orang lain.
Sekelompok peneliti dari Cornell University College menemukan bahwa kebiasaan me-retweet ternyata berdampak pada kemampuan berpikir manusia.
Penurunan daya ingat dan masalah dalam proses belajar menjadi dampak buruk dari kegiatan itu.
Seperti ditulis laman situs Tech Times, Selasa, 03 Mei 2016, kebiasaan me-retweet ternyata menyebabkan otak mengalami kelebihan beban kognitif yang berpengaruh pada kemampuan penyimpanan dan proses pembelajaran.
Menurut Qi Wang kepala penelitian ini, kegiatan sekadar me-retweet kicauan sebelumnya mengurangi kemampuan individu untuk menghadirkan ide-ide segar.
Keadaan itu kemudian secara tak langsung berpengaruh pada kinerja yang buruk.
Bersama rekannya, Wang melakukan penelitian pada sejumlah mahasiswa di Tiongkok.
Para responden itu kemudian dibagi dua kelompok dengan tugas berbeda untuk bereaksi dalam media sosial serupa Twitter di Tiongkok, yakni Weibo.
Kelompok pertama diberi pilihan untuk me-retweet atau sekadar membaca unggahan, sementara kelompok lain hanya diperbolehkan membaca tiap unggahan.
Lalu, masing-masing responden diminta untuk menjawab tes online untuk mengetahui kemampuan mereka dalam mengingat konten yang dibaca atau dibagi.
Hasilnya, kelompok yang diperbolehkan me-retweet unggahan lain ternyata memiliki kemampuan yang lebih buruk dalam hal mengingat konten.
Para peneliti beranggapan buruknya kemampuan ini disebabkan oleh kelebihan muatan kognitif.
Kelebihan itu diakibatkan proses pemilihan antara sekadar membaca atau me-retweet sebuah konten ternyata berdampak pada olah otak manusia.
Untuk mencegah kesalahan, Wang juga melakukan uji coba lanjutan berupa tes tulisan.
Para mahasiswa diminta menjawab pertanyaan untuk mengukur kadar stres kognitif dari masing-masing peserta.
Dan, hasil penelitian itu menunjukkan mahasiwa yang memilih untuk me-retweet sebuah konten memiliki ketegangan kognitif yang lebih tinggi.
Media sosial yang penggunaanya terlalu ekstrem, dapat menyebabkan gangguan tidur di malam hari.
Demikian menurut studi terbaru dari University of Pittsburgh dan didukung oleh National Institutes of Health.
Penelitian ini didasarkan pada kuesioner.
Pertanyaan difokuskan pada gangguan tidur dan kebiasaan di media sosial sepertii Facebook, Twitter, Youtube, Instagram, dan Snapchat.
Sekitar tiga puluh persen dari peserta mengatakan mereka memiliki gangguan tidur tingkat tinggi.
Mereka merupakan kelompok yang paling obsesif memeriksa akun sosial media.
Sebagian besar peserta bahkan menyatakan mereka mengecek akun mereka lebih dari satu jam sehari.
Dilansir dari nydailynews, Jessica Levenson, penulis utama studi tersebut mengatakan, hasil menunjukkan bahwa sering memeriksa sosial media adalah indikator terbaik penyebab kesulitan tidur.
Dia juga mengatakan bahwa dokter mungkin akan meminta pasien menceritakan kebiasaan sosial media mereka jika pasien melaporkan mengalami masalah tidur, sama seperti pertanyaan kebiasaan merokok, alkohol, dan seks pasien.
Para peneliti mengatakan mereka masih perlu melakukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan sebab dan akibat.
Mereka masih belum terlalu yakin bahwa penggunaan media sosial mengganggu tidur atau kurang tidur meningkatkan penggunaan media sosial.
Beberapa perusahaan teknologi mulai mengembangkan fitur yang dapat membantu seseorang untuk tidur.
F.luz merupakan perangkat lunak yang menyesuaikan warna dari ponsel atau layar komputer tergantung pada waktu penggunaan.
Hal ini terutama membantu di malam hari karena aplikasi tersebut menciptakan warna-warna hangat yang akan membantu pengguna untuk tidur lebih baik