Temuan fosil dan penelitian terhadap manusia purba, yang diyakini ilmuwan menjadi moyang manusia, terus berlangsung sepanjang kehidupan bumi serta tak pernah menghasilkan kata final untuk memberi pengesahan asal muasalnya.. Perdebatan di antara para ilmuwan dan peneliti terus berlangsung, dan menurut seorang ilmuwan dari Oxford tidak akan perhenti atau dengan lain, “tuntas.”
Pergeseran dari satu penelitian ke studi lainnya, semakin sering merancukan tentang asal muasal moyang manusia ini, yang oleh para peneliti di sebut dengan manusia purba. Baru-baru ini para peneliti menemukan rahang bawah yang berusia antara 30.000-40.000 tahun di Riparo di Mezzena, Monti Lessini, Italia.
Para ilmuwan dengan cepat memercayai fosil tersebut adalah makhluk hibrida antara manusia dan Neanderthal, alias makhluk setengah manusia. Para ilmuwan itu mengonfirmasikannya dalam sebuah publikasi jurnal, bahwa temuan ini memperkuat teori tentang pernah terjadinya perkawinan antara manusia dan Neanderthal pada masa lalu. Sejauh ini, bukti genetik menunjukkan bahwa manusia Eropa dan Asia memiliki 1-4 persen DNA Neanderthal.
Seorang antroplog dari University of Ai Marseille dan juga peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis, Silvana Condemi, , mengatakan, rahang bawah fosil yang baru saja ditemukan mengindikasikan adanya perpaduan kemiripan antara manusia dan Neanderthal.
“Dari morfologi rahang bawah, wajah individu Mezzena tampak seperti makhkuk antara Neanderthal yang mengalami reduksi rahang bawah (tak punya dagu) dan manusia modern yang punya rahang bawah menonjol dan dagu yang berkembang,” kata Condemi seperti dikutip Discovery.
Ilmuwan Perancis itu menggunakan analisis DNA dan pencitraan 3D untuk mengungkap kemiripan tersebut. DNA pada organ sel yang bertugas untuk memproduksi energi, mitokondria, diteliti. Analisis DNA mitokondria individu Mezzena mengungkap, DNA pada bagian tersebut sesuai dengan Neanderthal. Karena DNA mitokondria diturunkan lewat ibu, ilmuwan menduga individu Mezzena adalah Neanderthal perempuan yang kawin dengan Homo sapiens laki-laki.
Menurutnya, Neanderthal telah tinggal di Mezzena selama 200.000 tahun. Mereka telah berjaya dengan kebudayaannya, disebut Mousterian. Beberapa artefak menunjukkan bukti kebudayaan mereka, antara lain alat batu berupa kapak.
Manusia sendiri diduga mulai hidup di gua-gua Italia sekitar 45.000 tahun lalu. Selama beberapa ribu tahun, manusia dan Neanderthal berbagi wilayah, saling berkompetisi, tetapi sekaligus juga berhubungan seksual.
Pertemuan dan reproduksi seksual antara Neanderthal dan manusia modern bukanlah hal yang mudah.Hubungan seksual antara keduanya juga bukan sesuatu yang dikehendaki kedua belah pihak. Fosil di Mezzena diduga adalah korban perkosaan manusia modern pada masa lalu.
Temuan ini juga menarik pakar fosil manusia dan Neanderthal, Ian Tattersall, dari American Museum of Natural History. Ia mengungkapkan bahwa temuan baru ini menarik dan perlu dipelajari lebih lanjut. Kebudayaan Neanderthal dan makhluk pure Neanderthal akhirnya punah 35.000-30.000 tahun lalu.
Salah satu spesies manusia purba, Neanderthals, pernah hidup di wilayah Eropa, Asia Tengah, dan Timur Tengah selama 300.000 tahun. Namun, spesies itu menghilang dalam rekaman fosil sejak 30.000-40.000 tahun lalu. Mereka dianggap punah disebabakan tak sanggup mengatasi dampak perubahan iklim. Ada pula anggapan bahwa spesies itu punah gara-gara kalah berkompetisi dengan manusia.
Pakar dari University of Oxford dan Natural History Museum di London punya hipotesis baru. Menurut mereka, Neanderthals punah karena kemampuan sosial yang rendah. Neanderthals terlalu banyak berinvestasi pada kemampuan melihat.
Membandingkan 32 tengkorak Homo sapiens atau manusia modern dan 13 tengkorak Neanderthals, ilmuwan mendapati bahwa spesies manusia purba itu punya rongga mata yang besar. Ini menjadi indikasi bahwa sebagian besar otak spesies ini bertanggung jawab dalam kontrol pengelihatan.
Proporsi otak Neanderthals berbeda dengan proporsi otak primata dan manusia saat ini. Bagian yang bertanggung jawab dalam membangun hubungan sosial lebih besar. Semakin besar bagian itu, maka semakin cerdas spesies membangun jejaring.
Riset arkeologis menunjukkan bahwa Neanderthals cuma punya kemampuan membangun jejaring dalam ukuran kecil. Spesies ini cuma mampu memindahkan sumber daya dalam jarak dekat. Kemampuan bertukar alias berdagang spesies ini juga diragukan.
Dalam kondisi ideal, keterbatasan Neanderthals mungkin tak masalah. Namun dalam kondisi sulit, seperti zaman es, keterbatasan meminimalkan peluang untuk tetap eksis. Inilah yang menjadi sebab kepunahan Neanderthals. “Grup kecil juga sangat bergantung pada fluktuasi demografi yang berarti ada peluang lebih besar grup tertentu punah. Grup kecil sulit mempertahankan pengetahuan sehingga inovasi akan cenderung hilang,” sambungnya.
Neanderthals diduga punya mata tajam karena terbiasa tinggal di lintang tinggi dengan cahaya minim. Sementara itu, manusia modern yang berevolusi di Afrika terbiasa dengan lingkungan yang cukup terang. Kemampuan pengelihatan Neanderthals mungkin awalnya cukup membantu. Namun, dalam kondisi tak stabil, kemampuan sosial lebih dibutuhkan. Karena hal inilah manusia modern “memenangkan” lingkungan Bumi dan mendominasi hingga saat ini.