Sudah lama saya tak bersentuhan dengan media lokal. Baik cetak maupun online.
Alasannya? Sepele. Nggak greget.
Sebab, dari judulnya saja udah ketahuan isinya.
Itu sih masih lumayan. Parahnya lagi dari judul hingga isinya terus bertanya.
Lantas jawabannya?
“Soh”
Anda tahu kata “soh” kan. “Kick” gaya aceh. Nggak perlu diperpanjanglah
Tapi, entah kenapa. Kemarin. Kala berselancar di medsos, terkulik salah media lokal online. Lantas muncrat dua “news” sekaligus
Pertama tentang “news” yang bersumber dari Akmal Ibrahim. Lengkap dengan fotonya lagi menyilangkan kaki di sofa.
Dan saya terpana melihat face-nya.
Bukan judul dan isi beritanya.
Lantas memperbesar gambar.
Kedua. Berita Nasir Nurdin terpilih jadi ketua pwi aceh. Juga ada fotonya. Trio lagi. Bukan sekelas “trio libel” yang jingkrak-jingkrak itu
Yang satunya, di kiri Nasir, saya kenal amat. Tarmilin Usman. Rekan kerja juga. Anak “ketelatan” yang mengaku-ngaku sebagai Pidie. Tapi tak ada “prak”nya.
Saya nggak mau menyenggolnya. Kalau sekiranya ia membaca tulisan ini pasti ada perkataan itu…….
Sedangkan dikanan Nasir, wanita berhijab, saya nggak ngeh.
Kita kembali dulu ke Akmal Ibrahim.
Melihat wajahnya tak ada yang berubah. Masih dengan sorot mata Akmal yang dulu. Egaliter plus sinisme. Yang kalau dirangkum dalam satu kata “mbong”
Wah.. Anda bisa bahaya kalau pendukung Akmal meradang. Begitu peringatan dari otak kecil saya mengingatkan.
Di bully?
Jangan dululah mem”bully” saya”
Anda perlu membaca lanjutan tulisan ini.
“Mbong”nya Akmal bukan sembarang “sombong.” Sikap itu lahir dari kecerdasannya. Kecerdasan intelektual alaminya sebagai “aneuk aso lhok” yang berpadu dengan latar pendidikannya.
Tentu Anda akan bertanya, kok bisa-bisanya saya menguliti seorang Akmal.
Ahh… nggak usah nyinyirlah. Ala netizen. Akmal yang Ibrahim ini kan rekan kerja saya, dulunya Di sebuah media lokal terkenal. Saya pernah jadi “boss” kecilnya.
Tidak hanya Akmal. Istrinya, yang saya panggil si Ida, kalau kalian tentu memanggilnya buk Ida, juga bagian dari lingkar kerja yang saya gawangi.
Kok ge-er, begitu.
Ya udah. Saya berbisik ke memori untuk menyudahi bahasan tentang Akmal.
Bahasan yang ingin saya tulis, sebenarnya, tentang muatan berita lain. Berita yang juga ditulis media online tersebut.
Tentang keterpilihan Nasir Nurdin sebagai ketua pwi Aceh.
Inilah topik utama tulisan saya. Topik yang mempertanyakan kok masih berkibarnya eksistensi organisasi kewartawanan bernama pwi itu di tengah makin terbukanya informasi dan pilihan rumah bernaung mereka kaum jurnalistik
Sebagai seorang jurnalis yang tak pernah ngeh dengan naungan organisasi saya tak ingin membelah pilihan seorang wartawan terhadap “rumah”nya.
Biarlah mereka memilih dan dipilih.
Untuk Nasir Nurdin pun saya tak ingin mengusik jalan keterpilihannya. Jalan ia bernaung di bawah bendera pwi.
Memangnya!
Karena itulah jalannya.
Jalan yang ia tempuh usai mengarungi ritual panjang di sebuah media lokal hebat. Media lokal yang saya juga ikut besar dan membesarkannya.
Media lokal yang memberi Nasir ruang untuk menuliskan akhir perjalanannya sebagai “I’am a stringer.” Media lokal yang menyediakan waktu dua puluh tujuh tahun baginya untuk berkiprah. Sekaligus “pensiun”dalam tanda dua petik.
Pasnya purnakarya.
Saya sengaja menulis dalam tanda dua petik kata pensiun itu karena jurnalis itu sendiri tidak pernah mati. “Journalist never die!”
Karir Nasir sebagai jurnalis memang tidak purna karya. Secara samar-samar, kemudiannya, saya dengar ia telah jadi pemimpin redaksi sebuah media online
Syukurlah. Sesyukur saya membaca ia jadi ketua pwi aceh. Dan sesyukur saya ketika di sebuah pagi pertengahan Januari lalu saya kepergok dengannya di sebuah warung kopi kawasan Lampulo.
Ia berlari meninggalkan seruput kopinya. Menghampiri saya. Bersalaman. Dan minta saya menunggu sejenak. Ketika datang lagi ia menggenggam tangan saya menyerah sebuah buku tipis.
Sesampai di rumah saya baru tahu itu buku autobiografinya. Di lembaran pertama ada tulisan tangannya ” utk guruku Pak Darmansyah terima kasih utk semua bimbingn dan arahannya.”
Saya sempat nelangsa mengenang hari-hari kehadirannya di ruang kerja saya. Hari-hari ia datang dengan sedikit perasaan minder sebagai “stringer” berbayar untuk kemudian menjadi koresponden dan reporter.
Itu diakuinya dalam biografi ringkasnya. Saya salut. Ia bisa meninggalkan kenangan indah dengan “i’am a stringer.” Saya sendiri, walaupun menempuh perjalanan panjang sebagai jurnalis, lima puluh dua tahun, tak mampu menulis sebuah biografi untuk sendiri.
Sampai disini saya menghela nafas panjang. Menghembuskannya. Sebagai alaram untuk kembali ke trek. Trek menulis pwi-nasir nurdin.
Pwi yang saya tulis dengan huruf kecil untuk mengenang sejarah panjang organisasi kewartawan ini yang puncak kejayaannya diletakkan dibawah ketiak Harmoko.
Ketiak seorang ilustrator yang menjadi pemilik koran “Pos Kota” yang ritual karirnya amat mentereng. Menjadi ketua pwi pusat, menteri penerangan yang sangat lekat dengan puncak kekuasaan, ketua golkar dan menuntaskannya sebagai ketua dpr-ri.
Orang boleh mengolok-oloknya sebagai harmoko-hari-har-i o-mo-ng ko-song.” Para jurnalis egaliter yang menempatkan “investigation reporting” boleh memilih jalan berbeda dengan pwi-nya harmoko lewat organisasi aliansi jurnalistik indonesia.
Tapi pwi harmoko tetap berkibar.
Dan saya bertanya kepada Nasir Nurdin. Apakah pwi-mu akan berkibar?
Tak perlu jawaban. Ini organ pilihan Anda. Dan pilihan ini di Aceh telah dijalani oleh yang namanya Tia Huspia, Syamsul Kahar, Syarief Harris dan Tarmilin Usman.
Semua nama ini, non pak Tia, adalah orang kita. Mereka diasuh oleh rembulan bernama ………… media yang saya nggak mau sebut namanya.
Ingat Sir…. organisasi ini bukan untuk tempat kongko-kongko menjinakkan jurnalis egaliter yang mampu mengkemplak kebijakan salah arah. Kebijakan membancak anggaran sejak dari draft hingga proyek.
Organisasi ini adalah tempat mereka profesional yang mengatakan salah ya salah dan benar juga benar…..
Adios sang stringer….