Mira Lesmanawati.
Pop-nya disapa Mira Lesmana.
Anda mengenalnya?
Nggak gaul kalau tak mengenal perempuan ikonik ini.
Perempuan yang menjingkrakkan dawai kehidupan perfileman negeri ini. Dawai jingkrak kreatifitas yang pernah mati suri karena kehilangan idealisme. Kehilangan cita-cita dari cetak birunya.
Dawai perfileman yang dijingkrakkannya kembali seperti permainan gitar akusitik sang ayah, Jack Lesmana.
Jingkrak jazz bergelombang seperti gelombang rambut keritingnya dan rambut keriting sang ayah.
Mira Lesmana memang seorang sejatiwan perfilman negeri ini. Perfilman yang diwariskan oleh Usmar Ismail. Bapak perfilman kita.
Lantas dimana posisi pasnya seorang Mira Lesmana dalam perjalanan perfilman di era popnya media telapak tangan ini.
Mira berdiri kukuh sebagai sineas. yang “menghidupkan kembali” perfilman Indonesia pada tahun dua ribuan. Ia juga seorang produser.
Kekukuhan Mira terhadap perfilman adalah sekukuh pilihan sang ayah Jack Lesmana untuk ritual musik jazz. Sekukuh sang abang Indra Lesmana mewarisi tradisi musik ayahnya.
Mira tidak sendirian dijalannya ini. Ia memiliki seorang pejuang bernama Mathias Muchus. Sang suami.
Mathias yang seorang aktor, penulis skenario dan sutradara turunan Minangkabau ikut menghamparkan jalan bagi Mira.
Mathias sendiri telah melewati jalan panjang selama lebih dari empat dekade di film, televisi, dan panggung.
Mira sendiri?
Ia telah berjalan selama tiga dekade di dunia perfilman. Sederet film ikonis Indonesia tercipta ditangan perjuangan sineas perempuan ini. Bertahan dengan idealismenya dalam menghadapi belukar realitas industri.
Catat saja film Petualangan Sherina, Ada Apa dengan Cinta, hingga Laskar Pelangi untuk menyebut sedikit dari banyak karyanya
Mira terbilang unik. Ia adalah perempuan. Duduk di bangku produser. Memproduksi film-film yang berciri khas. Namun namanya tetap dikenal oleh publik.
Mira membangun reputasi bukan karena keistimewaan sebagai anak dari pasangan musisi terkenal Indonesia, Nien dan Jack Lesmana. Mira, mengaku memulai semuanya dengan “modal dengkul”.
Ia berani berdiri untuk dirinya sendiri dengan memilih jalur film ketika ayahnya sudah mencekoki dirinya dengan piano sebagai ‘pewaris’ musik Lesmana.
Star Wars dan Tjoet Nja Dhien adalah sejumlah film yang membuat Mira Lesmana yakin menutup fallboard piano dan mengangkat kamera serta menulis naskah.
Keberanian Mira Lesmana untuk bereksperimen akan kehidupannya juga muncul ketika ia memilih profesi sebagai produser. Ketika seluruh guru juga teman-temannya menilai ia memiliki bakat gemilang sebagai sutradara.
Posisi produser tidaklah mudah dalam sebuah proyek film.
Ia bukan hanya sebagai pihak yang bertanggung jawab atas ketersediaan dana produksi, namun juga penentu juga penjaga spirit film yang dihasilkan bersama sutradara, hingga otak di balik taktik menarik penonton.
Seorang produser pula yang mesti bertanggung jawab atas keberhasilan dan kegagalan proyek film kepada investor.
Jelas, sebuah proyeksi film panjang untuk skala industri tidak bisa dihasilkan modal receh.
Segala beban itu berani ditanggung Mira Lesmana, di tengah perannya sebagai seorang istri juga ibu dari dua anak.
Hasilnya?
Mira Lesmana berhasil menghasilkan sejumlah film ikonis dalam sejarah film Indonesia.
Bukan hanya itu, keberadaan Mira Lesmana sebagai bagian dari gelombang baru film negeri ini. Ia menarik penonton kembali ke bioskop usai perfilman ‘mati suri.’ Itu adalah sejarah tersendiri.
Adakah kehebatan Mira yang lain.
Jawabnya ada. Mira Lesmana merupakan bintang dari perjuangan membebaskan film dari belenggu sensor sewenang-wenang.
Meski ia kalah karena permohonan judicial review soal penyensoran dalam undang-undang film ditolak, toh suara-suara menolak penyunatan film atas nama kebebasan berpendapat juga berekspresi masih tetap ada hingga kini.
Mira memang bukan superhero. Film-filmnya juga lebih banyak yang tak dikenal dan minim penonton dibanding yang sukses besar. Mira mengakui ini
Namun Mira Lesmana tak menyerah. Ia tetap menghasilkan film-film dengan ciri khasnya, dengan idealismenya, melawan arus, dan sisanya ia serahkan kepada semesta.
Terbaru, Mira membuat film thriller bertajuk Paranoia yang tak ada keterkaitannya dengan hantu-hantuan. Sebuah keputusan berani ketika penonton negeri identik sebagai penggemar film setan dan dirilis di masa pandemi.
Masih ada banyak cerita tentang Mira Lesmana
Seperti diceritakan Nicholas Saputra
Mereka memang dekat. Bukan hanya sebagai produser dan aktor dalam sejumlah proyek film, tetapi juga teman di luar lokasi syuting.
Nicholas Saputra yang mengakui dirinya dan Mira Lesmana memiliki kesamaan minat pada film dan musik.
Perkenalan Mira dan Nicholas dimulai saat syuting film Ada Apa dengan Cinta?
Film pertama sekaligus yang melambungkan nama Nicholas Saputra.
Nico tak heran dengan bakat besar keseniman Mira. Mira kata Nico, memiliki darah seni dari kedua orang tuanya Jack Lesmana yang merupakan musisi jazz ternama dan Nien Lesmana, penyanyi senior.
Nicholas Saputra mengulik lebih banyak momen-momen kebersamaan dirinya dengan Mira Lesmana
Selain film Mira juga seorang pecinta tanaman hias
Aglonema, sanseviera, sirih gading, bambu air, hingga cukup banyak tanaman monstera alias janda bolong mengisi pojok-pojok paviliun dan petak tanah di tepi kolam renang Mira Lesmana.
Belum lagi sejumlah tanaman perdu lainnya mengisi sisi lain kolam.
“Saya orang rumahan banget sebenarnya, dalam arti kata selalu ingin merasa nyaman,” kata Mira sambil merapikan rambutnya yang tertiup angin.
Bagi Mira, suasana yang nyaman seperti saat di rumah menjadi kebutuhan
Kebutuhan berkebun. Juga kebutuhan memasak Semua itu dibuat demi bisa menjadi wadah kegemaran Miranya
Dan ketika inspirasi memasak itu datang, Mira harus bisa mewujudkannya.