Saya menelepon seorang teman di sebuah sore dari kawasan Cipinang ketika sedang menyantap uduk Mat Lengket yang terkenal itu. Nasi
Nuga Travel
Nuga Travel
Ulee Lheue 1884. Tahun kesepuluh penaklukan berdarah di “kuta dalam." Hotel de l’Europa, swalayan kugelmann, japanse bordeel, marine soceiteit, de
Kelebat gelap disubuh itu menjalar bersama azan dari masjid besar Stabat ketika mobil kami menginjak tapak jembatan Sungei Wampu. Hentakan
Rumah kopel memanjang di gang melingkar itu telah lama berganti pemilik. Juga berganti rupa. Gang kecil, yang dulunya sangat terkenal sebagai hunian elite
Renyai gerimis belum lagi usai ketika angin liar menerpa kami dibelokan “Peukan” Indrapuri, Minggu, pekan ketiga Februari lalu. Lamat pengajian,
Rex direvitalisasi. Diremajakan Saya senang dengan kabar ini. Berita ini. Kabar yang di posting ke whatsapp saya oleh seorang kawan
Sebelas hari sudah berlalu usai saya menulis "gemilang"nya kuliner penayong aminullah." Sebuah tulisan "mehambo" yang sempat di "bully" oleh seorang
Asik juga ngalor ngidul kami di siang Minggu itu. Ngalor ngidul yang terkadang "out focus." Tapi alirannya nggak keluar
Hari itu, Sabtu. Kemarin. Di ujung pekan kedua Januari,. Keinginan saya terkabul. Ingin ke Puncak. Puncak-nya "mindset" Jakarta tentang wisata.
Pulang... pulang... dan pulang... Itulah satu kata, yang sepertinya abadi, tergeletak di sudut kecil memori saya. Kata yang tak pernah