Lima belas menit sebelum debat calon wakil presiden putaran kedua, tadi malam, saya di telepon oleh anak. Ia bertanya. “ Nonton debat Yah?”
Saya spontan jawab,”ngang..nging..ngong..”
Biasa. Jawaban khas. Berarti gak ngah. Lebih baik nonton “stand up” khas komika. Bisa ketawa ngakak, cekikan atawa senggukan. Asik. Ketimbang nonton yang nambah pesong.
Soalnya, sebagai seorang “old journalism” saya gak mau di bikin pesong.
Saya sudah tahu isi debat. Sudah ada paket dan pakemnya. Sudah diplot oleh informasi awal. Informasi yang sering saya sebut dengan obesitas.
Info tentang obesitas ini banyak saya tularkan ke teman agar gak ke-ge-er-an. Anda so pasti tahu apa arti kosakata informasi plus obesitas.
Saya sering juga mengatakan dengan informasi semok. Berlebihan. Bisa bikin muntah.Terutama dii musim pemilihan presiden seperti sekarang ini.
Informasi obesitas ini juga bisa membuat keluhan “sakit hati.” Mengakibat saling silang pendapat. Ada pro vs kontra. Hater versus lovers. Ujungnya blokir-memblokir akun media sosial.
Cilaka lima belasnya bisa memutus silaturrahim.
Saya tidak omong kosong. Ya begitulah. Ujug-ujugnya temperatur pertemanan berada di suhu yang mendidih.
Masing-masing berpegang pada informasi yang didapat. Baik lewat mainstream media, sosial media maupun dari situs abal-abal yang tidak menerapkan standar jurnalisme.
Alhasil, situasinya jadi “ngeri-ngeri sedap,”
Anda dan saya sering dibuat bingung dengan banjirnya informasi. Hiperealitas informasi.
Dari bangun tidur sampai tidur lagi, pun banyak teman masih iseng membagi-bagi berita. Di whatsapp grup, facebook, Instagram atau x.
Yang satu media memberitakan begini, sedangkan lainnya mengabarkan begana.
Pemukanya juga bicara begini, sedangkan lainnya ngomong begitu. Kebenaran seperti punya dua versi
Kalaulah kita mau sadari, sebenarnya keberpihakanini adalah hasil konstruksi sistem itu sendiri plus bujuk rayu pemenangan dari para kontestan.
Kita disekat dengan kebenaran yang selektif atau pilihan sesuai keinginan “si pengendali” opini.
Makanya, fenomena ini saya sebut “operasi pengendalian opini publik”. Ada semacam pemintalan fakta maupun isu yang dibentuk menjadi beberapa versi
Atau isu baru untuk mengendalikan opini publik/pemilih.
Perlu kita ketahui bahwa opini publik itu sendiri merupakan pendapat dan respons publik atas suatu peristiwa atau pandangan yang diinterpretasikan
Lalu, mengapa pengendalian opini publik itu penting?
Maaf, saya pinjam pendapat James Bryce. Opini publik itu digunakan untuk mengontrol kekuatan suatu sistem pemerintahan dan dapat pula sebagai sumber daya kekuatan itu sendiri.
Lantas, apa teknik yang dilakukan untuk mengendalikan opini publik?
Bagi kami kaum jurnalis ia sering dinamai dengan news speak. Sebuah konsep yang dikembangkan oleh George Orwell tentang kontruksi dan manipulasi realitas politik melalui pemberitaan media
Kegunaannya untuk mendapatkan respons publik yang mengarah pada pandangan tertentu.
Untuk itu, Anda mesti melek berita. Sebab informasi yang disisipkan lewat mekanisme jurnalisme, sejatinya hanya realitas pilihan.
Tentu saja, realitas pilihan itu adalah cacahan dari keutuhan realitas yang sebenarnya di lapangan.
Bisa lewat kamera, pena, kertas. Terutama gadget. Saya tahu para jurnalis di lapangan hanya membidik penggalan-penggalan peristiwa, bukan keseluruhan.
Itupun dipilah-pilih sesuai jobdesk dari redaksi. Saat berita itu masuk ruang redaksi, maka pengemasan pun dimulai. Mengarah ke manakah berita ini, atau berpihak pada siapakah berita itu.
Pengendalian opini publik lewat Teknik news speak dalam kajian media, seperti pakem yang saya tahu didisebut dengan media framing.
Media framing ini mempunyai memiliki tiga cara. Sebut saja salah satunya. Language of politics. Sebuah peristiwa akan dikemas secara bahasa sesuai opini yang hendak dibentuk..
Bisa juga dengan framing strategies. Pada bagian ini, kita harus pandai membaca berita di balik berita.
Tidak mudah membaca hal ini, tapi percayalah bahwa media akan menyisipkan suatu pesan di balik barisan bahasa jurnalisme mereka.
Lainnya agenda setting. Lewat cara ini, media ingin menanamkan suatu peristiwa secara hipodermik agar publik menganggap peristiwa tersebut penting.
Artinya, masyarakat akan menganggap penting suatu peristiwa yang dianggap penting oleh media.
Apakah ini dibolehkan? Ya boleh saja.
Artinya, para kandidat atau kelompok kepentingan bisa saja membuat media melirik mereka untuk diberitakan.
Kalau kandidat dalam pilpres baik yang punya modal besar maupun gak punya modal strategi inilah yang digunakan.
Masih banyak lagi a..b..c..d..nya. Kalau saya tulis panjang Anda bisa makin ruwet. Keruwetan yang malam tadi saja belum selesai.
Ya lebih baik saya sudahi saja . Wassalam… selamat tiduran…